Mohon tunggu...
Ardina Astary
Ardina Astary Mohon Tunggu... Wiraswasta - Full time mom

#belajar, berkarya, berdoa# Mulai belajar untuk menulis. Have interest in self development, woman empower, accounting, auditing, entrepreneurship.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kuliah Tidak Wajib, Seharusnya Benar-Benar karena Pilihan Bukan Akibat Mahalnya UKT

28 Mei 2024   12:13 Diperbarui: 28 Mei 2024   12:26 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: https://www.pexels.com/

Akhir-akhir ini sedang hangat diperbincangkan mengenai kuliah sebagai pendidikan tersier, dimana kuliah itu pilihan dan sifatnya tidak wajib. Sebenarnya pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah. Namun dalam pandangan saya alangkah lebih baik jika pilihan tersebut didasarkan pada pertimbangan yang matang dari individu, bukan akibat dari mahalnya UKT.
Ada banyak cara untuk mencapai kesuksesan, baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Pilihan tersebut tergantung pada masing-masing individu, tidak kuliah tidak berarti tidak akan sukses. Selama kita bisa memaksimalkan potensi diri, maka kesuksesan akan dapat diraih. Namun penting digarisbawahi bahwa pendidikan itu merupakan hak warga negara sehingga pemerintah perlu memikirkan strateginya agar semua warga negara dapat memiliki akses yang sama atas pendidikan.

Fenomena yang Terjadi, Tidak Mampu Kuliah Akibat Biaya Kuliah Mahal

Beberapa hari terakhir bermunculan berita bahwa mahasiswa cemas akan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang signifikan. Ada juga pemberitaan mengenai calon mahasiswa yang batalkuliah karena orang tua tidak sanggup membayar UKT. Dari pengalaman pribadi, saya juga banyak menyaksikan teman-teman saya saat SMA yang ingin kuliah namun keinginannya harus terhenti karena tidak sanggup membiayai kuliah, mereka lebih memilih langsung bekerja membantu ekonomi keluarga.
Bila melihat fenomena ini keputusan untuk tidak melanjutkan kuliah nampaknya banyak dipengaruhi juga oleh faktor ekonomi bukan semata-mata karena pilihan untuk mengambil alternatif jalur pendidikan yang lain.
Kecemasan akan kenaikan UKT yang signifikan membuat mahasiswa turun menggelar demonstrasi.  Dengan banyaknya aksi protes dari mahasiswa akhirnya kenaikan UKT dikaji ulang dan pada 27 Mei 2024, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) resmi mengumumkan pembatalan kenaikan UKT 2024. Harapannya bukan hanya tahun ini, tapi justru akan ada solusi yang lebih baik untuk persoalan biaya kuliah di tahun-tahun selanjutnya.

Ekosistem di Indonesia Belum Mendukung, Kesenjangan Akibat Perbedaan Jenjang Pendidikan Masih Terasa

Kuliah memang pilihan, tapi faktanya untuk lowongan pekerjaan dengan posisi dan pendapatan yang cukup, sebagian besar mensyaratkan ijazah Sarjana (S1). Lowongan untuk lulusan SMA/SMK rata-rata terbatas pada level buruh dengan pendapatan yang minim.

Setelah bekerja, perbedaan jenjang pendidikan formal juga menciptakan kesenjangan dalam kesempatan berkarir. Lulusan SMA/SMK yang berada pada posisi sebagai buruh sulit untuk mendapatkan kesempatan berkarir di level yang lebih tinggi dan terjebak hanya di low level management dalam perusahaan. Sedangkan lulusan perguruan tinggi lebih berkesempatan mendapat gaji tinggi dan jenjang karir yang menjanjikan. Lambat laun seseorang dengan pendidikan tinggi dapat berkarir di middle level management bahkan top level management dengan berbekal pengalaman bekerjanya.

Adakah Alternatif Selain Pendidikan di Perguruan Tinggi?

Untuk mengembangkan keterampilan, pelatihan keahlian dan sertifikasi bisa menjadi pilihan. Namun pilihan ini masih sangat terbatas diakses oleh masyarakat. Pertama, jika dilihat kembali, rata-rata pelatihan keahlian atau kursus sama-sama membutuhkan biaya yang cukup mahal sehingga bagi masyarakat di level ekonomi menengah kebawah mengikuti kursus bukan merupakan pilihan. Kedua, akses informasi masih terbatas. Sebenarnya terdapat pilihan pelatihan gratis yang ditawarkan pemerintah maupun swasta. Misalnya pelatihan gratis dari Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Koperasi dan UKM, dan lainnya. Namun banyak masyarakat juga yang tidak terinformasi mengenai hal tersebut. Selain itu kebanyakan pelatihan gratis berbentuk pelatihan singkat sehingga bagi yang mengikutinya dirasa belum menerima ilmu yang menyeluruh dan bisa dikategorikan mahir dalam bidang tersebut.

 

Lantas, apa yang bisa dilakukan ditengah-tengah situasi seperti ini?

Masalah Pendidikan memang tidak bisa hanya dipikirkan oleh satu pihak, perlu dukungan dari bebagai pihak untuk mencapai kualitas yang lebih baik. Sebagai orang tua, minimal saya ingin bisa berperan dalam tercapainya pendidikan anak. Di level mikro (rumah tangga) dalam hal ini orang tua, beberapa hal yang dapat kita lakukan diantaranya:

  • Berperan sebagai pendidik pertama dan menanamkan mindset pada anak bahwa pendidikan itu penting.
  • Memahami karakter, minat, dan bakat anak sejak dini sehingga orang tua dapat mengarahkan anak dalam mengambil jalur yang sesuai dengan minat bakatnya.
  • Menyiapkan dana Pendidikan. Menilik rata-rata biaya pendidikan dari jenjang TK hingga perguruan tinggi, dibutuhkan sekitar Rp3 - 5 juta untuk jenjang TK, Rp15 - 25 juta untuk SD, Rp20 - 30 juta untuk SMP, Rp25 - 35 juta untuk SMA, dan Rp40 - 200 juta untuk kuliah, tergantung pada jurusan yang dipilih. Biaya tersebut belum memperhitungkan iuran bulanan yang harus dibayarkan, uang saku, dan transportasi. Artinya diperlukan perencanaan keuangan yang matang untuk mencapai kebutuhan dana tersebut. Dari angka di atas, orang tua sudah harus memikirkan biaya kuliah anak sejak anak masih TK. Terdengar berat ya, tapi itulah kenyataannya saat ini.
  • Aktif mencari informasi mengenai program beasiswa, pelatihan yang mendukung potensi anak.

Selain dari sisi mikro, tentunya masalah pendidikan menjadi PR besar bagi pemerintah untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang sehat dan berkualitas. Harapannya pemerintah mulai bisa memikirkan strategi untuk hal berikut:

  • Evaluasi atas kurikulum, memulai program penguatan karakter, minat dan bakat. Masalah kurikulum terkadang menjadi persoalan bidang pendidikan di Indonesia. Kurikulum yang masih menyamaratakan kemampuan anak dinilai kurang mendukung penguatan karakter, minat dan bakat dari sejak dini.
  • Memprioritaskan anggaran untuk pendidikan dan mengawal penggunaannya. Sesuai amanat undang-undang minimal alokasi anggaran pendidikan adalah sebesar 20% dari APBN. Jika porsi anggaran pendidikan bisa ditingkatkan, tentunya hal tersebut menjadi angin segar bagi masyarakat. Selain itu, alokasi dana pendidikan juga perlu dikawal agar tepat sararan dan tepat guna, dan jangan sampai terdengar berita bahwa dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.
  • Dibukanaya akses pelatihan dan kesempatan magang yang lebih banyak dan disosialisasikan secara lebih masif kepada masyarakat.

Kesimpulannya apakah kuliah itu wajib? Tentu saja keputusan kembali kepada individu. Namun sekali lagi, harapannya keputusan tersebut benar-benar diambil karena pilihan dimana setiap individu sudah memahami apa yang akan ditujunya dan tetap bisa meraih kesuksesan dengan jalur yang dipilihnya, bukan lagi karena ketidakmampuan membayar biaya pendidikan. Semoga kedepannya pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun