Pendahuluan
Ekspresi Budaya Tradisional adalah segala bentuk ekspresi karya cipta, baik berupa benda maupun tak benda, atau kombinasi keduanya yang menunjukan keberadaan suatu budaya tradisional yang dipegang secara komunal dan lintas generasi.
Sebagaimana yang telah dituliskan dalam PERMENKUMHAM RI No.13 Tahun 2017 Pasal 1 Ayat 7 Tentang Kustodian adalah komunitas atau masyarakat tradisional yang memelihara dan mengembangkan Pengetahuan Tradisional dan/atau Ekspresi Budaya Traditional tersebut secara tradisional dan komunal. Kustodian yang dimaksudkan ini adalah orang/individu yang mengajukan produk budaya setempat (Pengetahuan Tradisional dan/atau Ekspresi Budaya Tradisional) yang mana merupakan perwakilan dari masyarakat komunal daerah tersebut.
Kemudian, dalam Pasal 4 ayat 1, dipaparkan apa saja yang termasuk dalam Ekspresi Budaya Tradisional yaitu: mencakup bentuk ekspresi: a. verbal tekstual; b. musik; c. gerak; d. teater; e. seni rupa; f. upacara adat; g. arsitektur; h. lanskap; dan/atau i. bentuk ekspresi lainnya sesuai perkembangan. Serta dalam Pasal 9 mengenai data apa saja yang dapat diinventarisasikan dari Ekspresi Budaya Tradisional ini, diantaranya: a. nama Ekspresi Budaya Tradisional; b. kustodian; c. bentuk Ekspresi Budaya Tradisional; d. klasifikasi; e. wilayah/lokasi; dan f. deskripsi.
Budaya tradisional merupakan suatu karya intelektual yang perlu mendapatkan perlindungan. Budaya tradisional adalah identitas dan jatidiri bangsa Indonesia yang dapat dimanfaatkan secara ekonomi demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
Budaya tradisional merupakan suatu karya intelektual yang harus dilindungi. Salah satu bentuk karya intelektual dari budaya tradisional adalah ekspresi budaya tradisional atau expression of folklore.
Pembahasan dan Permasalahan
Melihat penjelasan terkait Ekspresi Budaya Tradisional yang telah dipaparkan diatas, instrumen hukum nasional maupun internasional telah berusaha mengatur tentang perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional.
Ditinjau dari perspektif hak kekayaan intelektual, rezim hak kekayaan intelektual yang digunakan di Indonesia sebagai instrumen perlindungan ekspresi budaya tradisional adalah berda dibawah pengawasan/rezim hak cipta. Sebagaimana yang telah dituliskan dalam Undang-Undang Hak Cipta memberikan perlindungan kekayaan intelektual bagi seni dan budaya tradisional Indonesia.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa: “negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.”
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta mengatur bahwa ciptaan yang dilindungi meliputi ciptaan: Buku, program computer, pamphlet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; Lagu atau musik dengan atau tanpa teks; Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime; Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patunng, kolase, dan seni terapan; Arsitektur; Peta; Seni batik; Fotografi; Sinematografi; Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalih wujudan.
Perlindungan HKI ini ternyata tidak mampu melindungi EBT secara utuh. Ketidak mampuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap EBT melalui sistem hukum kekayaan intelektual, karena perbedaan karakteristik antara HKI dan EBT, sebagaimana terlihat dalam dialektika pada konsep dan karakteristik antara HKI dan EBT.
Walaupun sama-sama bersumber pada kreativitas intelektual manusia tetapi antara HKI dan EBT selebihnya terdapat perbedaan dalam karakternya. Bentuk gagasan HKI harus diwujudkan dalam bentuk ekspresi yang nyata (in material form) bisa dilihat dan di dengar, tapi kalau dalam EBT bentuk gagasan tidak selalu dalam ekspresi nyata, bisa dalam bentuk ekspresi verbal/oral, ekspresi gerak ataupun ekspresi bunyi (tidak berwujud).
Gagasan dalam HKI berbentuk karya cipta (works) dalam seni dan ilmu pengetahuan, disain, merek, temuan teknologi dan species sebagai karya atau temuan yang baru (novelty) dan tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya (originality), kalau dalam EBT hasil gagasan dalam bentuk karya cipta seni dan pengetahuan serta teknik tertentu yang berakar dari tradisi turun temurun.
Sehingga, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta belum dapat memberikan perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional secara maksimal.
Selain itu, jangka waktu perlindungan hak cipta (dalam hal hak ekonomi) itu terbatas, yakni selama hidup pencipta plus 70 tahun. Tanpa mengetahui identitas pencipta, sulit untuk menghitungkapan karya itu dimulai. Karya-karya yang jangka perlindungannya telah berakhir menjadi milik publik, sehingga bisa bebas digunakan.
Dari sudut pandang hak cipta model Barat, EBT yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya selama berabad-abad, pasti diposisikan ke dalam wilayah publik.
Peran Pemerintah dan Birokrasi
Peran pemerintah Indonesia dalam melakukan inventarisasi pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional didalam masyarakat, pembahasan berawal dari Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu (SPKT) yang diatur dalam undang-undang pemajuan kebudayaan, hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah wadah yang dapat berfungsi sebagai Defensive Protection.
Pendataan SPKT ini hanya akan dilakukan oleh KEMENDIKBUD bersama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Kemudian, data-data terkait pemajuan kebudayaan, inventarisasi warisan budaya baik benda dan tak benda apabila memiliki suatu nilai ekonomi dari suatu EBT itu harus dibagi berdasarkan transaksi kontraktual antara pemilik atau negara mewakili pemilik atau karya cipta budaya dimaksud tidak terkategorikan sebagai HKI dan masuk dalam kategori karya peninggalan itu dapat dipandang sah berdasarkan hukum, dengan penerapan teori keadilan dari John Rawls yang menyebut justice as a fairness, maka masih dapat dikategorikan sebagai memenuhi prinsip keadilan berdasarkan kesetaraan.
Namun dalam faktanya pihak luar negeri lebih banyak memperoleh keuntungan finansial dari penggunaan kampanye wisata dengan disertai klaim kepemilikan, maka negara dapat dipandang tidak mendorong terpenuhinya prinsip dari teori keadilan pada kasus klaim-klaim tersebut.
Apabila Inventarisasi yang cepat menjamin hak warga masyarakat untuk memperoleh hasil kerja badan dan tangannya diperankan oleh negara secara maksimal dalam fungsi sebagai regulator dan entrepreneurship yang akan memberikan keuntungan finansial bagi individu, masyarakat dan negara. Inventarisasi yang akurat dan sistematis menjamin perlindungan hukum bagi produk EBT tersebut.
Peran pemerintah itu merencanakan, menyiapkan dan melaksanakan proses dokumentasi serta kemudian hasilnya dikelola sedemikian rupa sehingga membawa manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan.
Proses inventarisasi atau dokumentasi ini idealnya dilakukan oleh lembaga yang secara implisit disebutkan sebagai lembaga representasi Negara, langkah riil yang bisa dilakukan dalam rangka mendukung inventarisasi ini adalah dengan mengoptimalkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Upaya konkrit yang dapat dilakukan adalah berkoordinasi juga dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual yang juga bersinergi dalam melakukan tindakan inventarisasi atau dokumentasi yang komprehensif, berupa database berisi karya-karya ekspresi budaya tradisional. Yang berpegang pada PERMENKUMHAM No.13 Tahun 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H