Perlindungan HKI ini ternyata tidak mampu melindungi EBT secara utuh. Ketidak mampuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap EBT melalui sistem hukum kekayaan intelektual, karena perbedaan karakteristik antara HKI dan EBT, sebagaimana terlihat dalam dialektika pada konsep dan karakteristik antara HKI dan EBT.Â
Walaupun sama-sama bersumber pada kreativitas intelektual manusia tetapi antara HKI dan EBT selebihnya terdapat perbedaan dalam karakternya. Bentuk gagasan HKI harus diwujudkan dalam bentuk ekspresi yang nyata (in material form) bisa dilihat dan di dengar, tapi kalau dalam EBT bentuk gagasan tidak selalu dalam ekspresi nyata, bisa dalam bentuk ekspresi verbal/oral, ekspresi gerak ataupun ekspresi bunyi (tidak berwujud).Â
Gagasan dalam HKI berbentuk karya cipta (works) dalam seni dan ilmu pengetahuan, disain, merek, temuan teknologi dan species sebagai karya atau temuan yang baru (novelty) dan tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya (originality), kalau dalam EBT hasil gagasan dalam bentuk karya cipta seni dan pengetahuan serta teknik tertentu yang berakar dari tradisi turun temurun.Â
Sehingga, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta belum dapat memberikan perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional secara maksimal.
Selain itu, jangka waktu perlindungan hak cipta (dalam hal hak ekonomi) itu terbatas, yakni selama hidup pencipta plus 70 tahun. Tanpa mengetahui identitas pencipta, sulit untuk menghitungkapan karya itu dimulai. Karya-karya yang jangka perlindungannya telah berakhir menjadi milik publik, sehingga bisa bebas digunakan.Â
Dari sudut pandang hak cipta model Barat, EBT yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya selama berabad-abad, pasti diposisikan ke dalam wilayah publik.
Peran Pemerintah dan BirokrasiÂ
Peran pemerintah Indonesia dalam melakukan inventarisasi pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional didalam masyarakat, pembahasan berawal dari Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu (SPKT) yang diatur dalam undang-undang pemajuan kebudayaan, hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah wadah yang dapat berfungsi sebagai Defensive Protection.Â
Pendataan SPKT ini hanya akan dilakukan oleh KEMENDIKBUD bersama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Kemudian, data-data terkait pemajuan kebudayaan, inventarisasi warisan budaya baik benda dan tak benda apabila memiliki suatu nilai ekonomi dari suatu EBT itu harus dibagi berdasarkan transaksi kontraktual antara pemilik atau negara mewakili pemilik atau karya cipta budaya dimaksud tidak terkategorikan sebagai HKI dan masuk dalam kategori karya peninggalan itu dapat dipandang sah berdasarkan hukum, dengan penerapan teori keadilan dari John Rawls yang menyebut justice as a fairness, maka masih dapat dikategorikan sebagai memenuhi prinsip keadilan berdasarkan kesetaraan.Â
Namun dalam faktanya pihak luar negeri lebih banyak memperoleh keuntungan finansial dari penggunaan kampanye wisata dengan disertai klaim kepemilikan, maka negara dapat dipandang tidak mendorong terpenuhinya prinsip dari teori keadilan pada kasus klaim-klaim tersebut.
Apabila Inventarisasi yang cepat menjamin hak warga masyarakat untuk memperoleh hasil kerja badan dan tangannya diperankan oleh negara secara maksimal dalam fungsi sebagai regulator dan entrepreneurship yang akan memberikan keuntungan finansial bagi individu, masyarakat dan negara. Inventarisasi yang akurat dan sistematis menjamin perlindungan hukum bagi produk EBT tersebut.Â