A. Biografi
Anaximander, juga dikenal sebagai Anaximandros, adalah seorang filsuf pada zaman Yunani kuno yang lahir sekitar tahun 610 SM dan meninggal sekitar tahun 546 SM. Ia berasal dari kota Miletus, dekat Soke, Turki, tempat yang sama dengan Thales, seorang filsuf terkenal lainnya. Menurut Apollodorus, Anaximander mencapai usia 63 tahun pada saat Olimpiade ke-58 (Aliyah;, 2023).
Anaximander merupakan seorang filsafat Yunani kuno yang terkenal dengan teori-teorinya tentang kosmologi. Ia dianggap sebagai murid Thales dan merupakan tokoh penting dalam Mazhab Miletos. Anaximandros berpendapat mengenai arche (asas alam semesta) ia menjelaskan bahwa hal itu merupakan sesuatu yang tidak dapat diamati indra, yaitu apeiron (to apeiron = yang tak terbatas) tetapi tidak menunjuk pada salah satu unsur yang dapat di amati oleh indra. Akan tetapi, sebagai suatu unsur yang tak terbatas, abad sifatnya, ada pada segala-galanya, tidak berubah-ubah, sesuatu yang paling dalam. Alasannya apabila ia menunjuk pada salah satu unsur arche, maka hal tersebut akan memiliki karakter yang dapat bergerak sesuai dengan sifatnya, sehingga tidak akan ada tempat bagi unsur yang berlawanan (Sondarika, 2021).
Anaximander hidup sekitar tahun 610-546 SM dan mengajarkan filsafat tentang ruang, waktu, dan alam semesta. Konsep apeiron yang diajukan menjadi asal, pengatur, dan akhir dari alam semesta, dan juga memainkan peran yang signifikan dalam pembentukan kosmos. Selain itu, Dodi (2021) mengatakan bahwa Anaximander berhasil memecahkan pemikiran matematika dari Thales ke Pythagoras dan memperkenalkan penggunaan gnomon untuk menghitung waktu (Khairil Anwar, 2013).
Anaximander diakui sebagai orang pertama yang membuat peta bumi dan memimpin ekspedisi dari Miletos untuk mendirikan kota perantauan baru. Selain itu, ia dikenal karena menemukan atau mengadaptasi jam matahari sederhana yang disebut gnomon. Anaximander juga mampu memprediksi gempa bumi dan menyelidiki fenomena alam seperti gerhana dan petir (Couprie & Kocandrle, 2013).
B. Pandangan tentang logika
Anaximander, seorang filsuf pra-Socrates dari Miletus, tidak secara eksplisit mengembangkan konsep logika seperti yang dikenal dalam filsafat Aristotelian modern atau tradisi filsafat formal. Pandangan Anaximander lebih terfokus pada kosmologi dan ontologi, yaitu memahami asal usul dan prinsip dasar alam semesta. Namun pemikirannya tetap menunjukkan pola rasional yang mendekati metode logis dalam memahami alam. Anaximander memperkenalkan istilah "apeiron" yang berarti "tak terbatas" atau "tak terbatas". Menurutnya, Apeiron adalah prinsip fundamental dari segala sesuatu, akar dari segala sesuatu yang ada, dan segala sesuatu pada akhirnya kembali ke Apeiron di akhir masa pakainya. Cara berpikir seperti ini merupakan upaya untuk memahami asal usul dan tatanan alam secara sistematis dan rasional. Dalam hal ini, Anaximander tidak menulis atau berbicara secara eksplisit tentang logika, namun pendekatannya dalam menjelaskan dunia menunjukkan penggunaan prinsip-prinsip rasional dan pemikiran sistematis. Ia mencoba membangun argumen yang koheren untuk menjelaskan fenomena alam seperti penciptaan, kehancuran, dan keseimbangan alam semesta. Oleh karena itu, meskipun Anaximander mungkin tidak mengajukan teori logika formal, karyanya menunjukkan penggunaan pemikiran logis dalam cara dia memahami dunia, tatanan alam, dan mengemukakan gagasan penting tentang hukum universal (Suwarna & Pd, 2018)
Prinsip dasar segala sesuatu yang tidak dapat ditentukan, tidak memiliki batas, dan tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori-kategori yang ada adalah tujuan dari konsep apeiron dalam konsep infinity dan keadilan kosmik sebagai karya Anaximander. Apeiron adalah prinsip yang abadi, dan universal yang meliputi segala sesuatu.
Menurut konsep infinity dan kedamaian kosmik yang dikembangkan oleh Anaximander, tujuan dari konsep Apeiron adalah untuk menggambarkan realitas alam semesta yang tidak memiliki batas dan tidak dapat ditentukan secara internal, eksternal, atau temporal (Jarkasih Hrp et al., 2024)
Anaximander juga menjelaskan bagaimana proses ini berkaitan dengan terbentuknya makhluk hidup di bumi. Pada awalnya, bumi ini dibalut oleh uap yang basah, dan karena berputar terus-menerus, uap tersebut secara perlahan menjadi kering. Akhirnya, hanya sisa uap yang basah yang tersisa sebagai lautan di permukaan bumi. Anaximander meyakini bahwa pengaruh dari yang panas adalah yang mendorong terbentuknya makhluk hidup. Dari uap yang basah di bumi ini, ia berpendapat, makhluk hidup pertama muncul (M. Fathin Shafly Marzuki, 2023).
Menurut pandangan ini, pada awalnya, bumi ini seluruhnya dibanjiri oleh air, sehingga makhluk pertama yang muncul adalah yang hidup di dalam air, seperti ikan. Namun, akibat perubahan kondisi bumi yang semakin kering, daratan mulai muncul dan makhluk lain berkembang di atasnya. Pemikiran Anaximandros mencerminkan pandangan kuno tentang asal muasal alam semesta dan evolusi makhluk hidup. Meskipun konsep ini tidak sesuai dengan pemahaman ilmiah modern, ia mencerminkan upaya awal untuk menjelaskan asal usul alam semesta dan kehidupan di bumi.
Dalam pandangan Anaximandros, to apeiron adalah asal dari segala hal, dan pada akhirnya, segala sesuatu akan kembali kepadanya. Konsep ini mirip dengan pemikiran tentang sumber dan tujuan dalam tradisi agama seperti dalam Yahudi-Nasrani yang menyatakan bahwa manusia berasal dari debu dan akan kembali ke debu. Ini adalah pertanda awal penting bahwa pemikiran filosofis memiliki hubungan erat dengan pemikiran agama dan pandangan dunia. Kita dapat melihat bahwa prinsip-prinsip filosofis yang diperkenalkan oleh Anaximandros membentuk dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat dalam sejarah. Penggunaan prinsip-prinsip ini sebagai patokan atau parameter dalam pengambilan keputusan menjadi dasar pemikiran ilmiah yang berkembang di zaman kita. Oleh karena itu, kontribusi Anaximandros adalah lebih dari sekadar pemikiran filosofis kuno, ia merupakan batu loncatan penting dalam evolusi pemikiran manusia tentang alam semesta dan pengetahuan ilmiah (Jarkasih Hrp et al., 2024).
Konsep infinity Anaximander memiliki signifikansi penting dalam sejarah pemikiran filosofis. Ia mengangkat topik tentang konsep universal dan kosmos, serta peran yang dimainkan oleh bagian-bagian dari keberadaan universal tersebut. Hal ini memungkinkan filosofi Anaximander untuk menciptakan konsep yang unik dan menarik tentang universal dan kosmos, yang berdampak pada perkembangan sejarah filosofi. Anaximander melihat alam semesta sebagai kesatuan yang diatur oleh prinsip-prinsip yang tidak dapat diubah. Baginya, keadilan kosmik adalah konsep yang mendasari hukum alam yang mengatur tatanan alam semesta. Menurut Anaximander, keadilan kosmik mencerminkan prinsip kesetimbangan dan keadilan yang berlaku di seluruh alam semesta.
Menurut Anaximander, konsep "apeiron" sering diterjemahkan sebagai "tak terbatas" atau "tidak terhingga" terkait dengan keadilan kosmik. Menurut Anaximander, apeiron adalah elemen dasar yang tidak terbatas dan tidak berbatas yang menjadi dasar dari segala sesuatu. Apiron adalah sumber keadilan alam semesta yang merata dan abadi dalam konteks keadilan kosmik. Alam semesta dianggap sebagai manifestasi dari apeiron. Hal ini memastikan bahwa setiap entitas memiliki tempatnya yang tepat dan bekerja dalam harmoni.
Anaximander juga melihat keadilan kosmik terkait dengan konsep "perilaku yang sesuai" atau "dike", yang mengacu pada konsep keadilan yang merata dan proporsional, yang merupakan prinsip yang mencakup segala aspek alam semesta (Mufid, 2009). Menurut Anaximander, dike mengatur hukum alam, yang memastikan bahwa setiap entitas dan peristiwa dalam alam semesta berada dalam tatanan yang sesuai. Anaximander juga menekankan pentingnya hukum alam yang abadi dalam konteks keadilan kosmik. Dia percaya bahwa prinsip- prinsip kuat yang mengatur alam semesta menghasilkan keadilan kosmik. Hukuman alam yang tidak pernah berubah ini menjamin bahwa aturan dan struktur yang sama berlaku untuk semua entitas di alam semesta (Waterfield,R, 2009). Ini mendukung keyakinannya bahwa keadilan kosmik adalah manifestasi dari prinsip yang abadi dan terus menerus yang mengendalikan alam semesta (M. Fathin Shafly Marzuki, 2023).
Pemahaman Anaximander tentang keadilan kosmis terlihat pentingnya keadilan, keseimbangan dan harmoni dalam pemahaman manusia tentang alam semesta dan peran kita di dalamnya. Konsep ini juga turut andil dalam perkembangan kosmologi dan filsafat alam dalam sejarah pemikiran filsafat. Anaximander berpendapat bahwa keadilan kosmis adalah merupakan perwujudan keseimbangan, keselarasan dan keteraturan yang ada di alam semesta. Konsep ini memberikan gambaran yang kuat tentang prinsip-prinsip yang mengatur alam semesta dan tatanan kekalnya.
Ia mengatakan bahwa alam semesta tidak diciptakan oleh siapa pun Tuhan atau Deus, namun merupakan hasil keseimbangan yang sudah ada sejak jaman dahulu. Ia juga mengatakan bahwa alam semesta tidak bisa dikelilingi oleh apapun, misalnya berabad-abad. Anaximander juga menggambarkan keadilan kosmis sebagai komponen yang seimbang dalam merancang dan mengelola kosmos. Anaximander mengatakan segala sesuatu berasal dari ketiadaan sesuatu yang lain, dan keabadian tidak mengacu pada substansinya, melainkan pada suatu proses yang berkesinambungan dalam sifat dan aktivitasnya. Selain berkaitan dengan keadilan kodrat, keadilan kosmis juga berkaitan dengan keadilan tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan kosmis merupakan proses yang berkesinambungan dan tidak ada yang abadi.
Referensi
Aliyah;, D. A. M. H. M. A. P. (2023). Konsep Infinity Dan Keadilan Kosmik Anaximander. 1–12. https://doi.org/10.11111/praxis.xxxxxxx
Couprie, D. L., & Kočandrle, R. (2013). Anaximander "Alam Tanpa Batas. Peitho, 4(1), 63–91. https://doi.org/10.14746/pea.2013.1.3
Jarkasih Hrp, I. A., Salminawati, S., Ilfah, A., & Nasution, U. N. (2024). Sejarah Perkembangan Filsafat dan Sains pada Zaman Yunani. Tarbiatuna: Journal of Islamic Education Studies, 4(2), 474–485. https://doi.org/10.47467/tarbiatuna.v4i2.6330
Khaidir Anwar. (2013). Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu. Jurnal Ilmu Hukum, 7(2), 13.
M. Fathin Shafly Marzuki. (2023). EPISTEMOLOGI KEKADIMAN ALAM DALAM TAHAFUT AL-FALASIFAH DAN TAHAFUT AL-TAHAFUT.
Sondarika, W. (2021). Perkembangan Ilmu Pengetahuan Di Yunani Dari Abad Ke-5 SM Sampai Abad Ke-3 SM. Jurnal Artefak, 8(1), 87. https://doi.org/10.25157/ja.v8i1.5170
Suwarna, I. P., & Pd, M. (2018). Mengembangkan Keterampilan Generik pada matakuliah IPBA (Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa). 1–12.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H