Mohon tunggu...
Sosbud

Peran Pekerja Sosial Internasional terhadap Implikasi Konflik Sosial Etnis Rohingya di Myanmar

25 Januari 2019   01:00 Diperbarui: 25 Januari 2019   01:18 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Myanmar merupakan negara dengan berbagai macam etnis, baik itu etnis minoritas maupun mayoritas, sehingga potensi untuk terjadinya konflik antar etnis sangat besar untuk terjadi di Myanmar. Pada tahun 2013 telah terjadi konflik antar etnis Rohingya dengan etnis Rakhine yang dianalogikan dengan istilah konflik gunung es karena konfli ktersebut telah berlarut selama bertahun -- tahun.

Selain itu, banyak faktor yang memicu awal terjadinya konflik yang berkepanjangan ini, mulai dari kasus pemerkosaan, diskriminasi warga mayoritas dan masalah entitas etnis. Hingga pada akhirnya akar konflik yang terjadi karena adanya kecemburuan terhadap etnis rohingya yang dalam beberapa dasawarsa ini terus meningkat, baik itu dari segi eksistensi maupun perekonomian etnis Rohingya itu sendiri jika dibandingkan dengan etnis yang lainnya.

Konflik yang bernuansakan etnis dan agama dalam kehidupan bermasyarakat merupakan konflik yang sulit untuk diselesaikan (intrectable conflict/unnegotiable conflict) dan berlangsung lama (Jeong, 2008).  Selain itu, konflik berbasis agama juga dapat menjadi semakin rumit apabila melibatkan isu etnisitas, dimana kelompok -- kelompok etnis tertentu menjadi pemeluk dari agama yang berbeda sehingga dikenal dengan istilah konflik etnis dan agama (Fox 2002; kadayifci -- Orellana 2009).

Perbedaan -- perbedaan yang berhubungan dengan etnis dan agama juga merupakan permasalahan yang sangat mudah menyulut konflik -- konflik terbuka, bahkan dapat mencapai tingkat intensitas kekerasan tinggi yang menelankorban jiwa seperti konflik etnis Rohingya yang beragama Islam dengan etnis Rakhine yang beragama budha di Provinsi Rakhine, Myanmar Barat (Revolusi, 2013).

Konflik internal kedua etnis tersebut memang sudah berlangsung lama di Mynamar. Hal tersebut dikarenakan Etnis Rohingya belum diakui secara konstitusional karena Pemerintah Myanmar masih menganggap Etnis Rohingya merupakan Etnis illegal yang kehadirannya terlacak sejak  zaman Kerajaan Mrauk U, khususnya pada zaman Raja Narameikhla (1430 -- 1434) yang populasinya terus bertambah setiap tahunnya (Bangun, 2017).

Terlebih semenjak Undang -- Undang Kewarganegaraan 1982 diberlakukan di Myanmar, etnis yang diakui sebagai warga negara adalah etnis yang telah lama berada di Myanmar sebelum penduduk kolonial Inggris tahun 1924. Akibatnya. Etnis Rohingya Bengali tidak termasuk kedalam 135 etnis yang diakui oleh Pemerintah Myanmar.

ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara  memiliki tugas dan fungsi untuk turut serta berpartisipasi dalam menangani permasalahan yang terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar. Dampak yang terlihat jelas ialah permasalahan pengungsi Etnis Rohingya itu sendiri.

Faktanya sampai dengan akhir tahun 2017, tercatat bahwa terdapat 617.000 penduduk Rohingya yang mengungsi dari Mynmar dan berdasarkan data dari PBB terdapat setidaknya 420.000 pengungsi Etnis Rohingya yang mengunsi di wilayah Asia Tenggara (Kumparan, 2018).

Respon yang diberikan oleh ASEAN dalam menyikapi fenomena konflik sosial Etnis Rohingya yakni dengan digelarnya Special Meeting on Orregular Migration in the Indian Ocean pada 29 Mei 2015 di Bangkok, Thailand. Pertemuan ini melibatkan 17 negara sebagai peserta dan beberapa negara serta organisasi internasional lain sebaga pengamat.

Beberapa hasil pokok dari pertemuan ini adalah untuk mengintensifkan proses pencarian dan penyelamatan, perlindungan terhadap kelomopk rentan dan menguatkan kerja sama internasional dalam mengumpulkan sumber daya yang diperlukan dalam keadaan tanggap darurat.

Selain itu, hasil dari pertemuan ini disepakatinya pembentukan Satuan Tugas (Satgas) penanganan pengungsi di wilayah Asia Tenggara agar ASEAN sebagai organisasi regional memiliki wewenang lebih dalam menangani masalah pengungsi Etnis Rohingya dan juga pengungsi lainnya yang pelaksanaannya akan menjalin kerja sama dengan United Nations Hight Commussioner for Refugees (UNHCR).

United Natios High Commissioner for Refugees (UNHCR) merupakan lembaga sayap dari PBB yang secara pokok bertanggung jawab dalam melindungi dan mencari solusi atas pesoalan -- persoalan pengungsi di berbagai negara. UNHCR bersama dengan mitranya mempromosikan aktivitas perlindungan dan program bantuan untuk memastikan kebutuhan dasar para pengungsi dan pencari suaka terpenuhi selama mereka menantikan solusi jangka panjang yang paling tepat.

Profesi Pekerja Sosial juga memiliki peran dalam mengatasi implikasi konflik sosial Etnis Rohingya, khususnya bagi para pengungsi yang tersebar ke berbagai negara Asia Tenggara dan Bangladesh. Pekerja Sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan yang tujuan utamanya adalah membantu keberfungsian sosial individu, kelompok, dan masyarakat dalam melaksanakan peran -- peran sosialnya (Siporin, 1975; Morales dan Sheafor, 1989; Suharto, 1997).

Dimensi yang digunakan oleh Pekerja Sosial dalam konteks konflik sosial Etnis Rohngya adalah Dimensi Internationally related domestic practice and advocacy yaitu pekerja sosial yang menangani masalah -- masalah di negara asalnya yang memiliki dimensi internasional (dimana dua atau tiga negara terlibat dalam suatu kasus atau kebijakan).

Oleh karena itu, Pekerja Sosial termasuk ke dalam pihak yang bertugas untuk membantu sekaligus mengatasi permasalahan kemanusiaan dan Etnis Rohingya yang nantinya akan bekerja pada setting organisasi UNHCR sebagai lembaga internasional yang bergerak dalam mengurusi permasalahan Refugees (Pengungsi) dalam skala Internasional.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah deskriptif dengan pencarian data studi literatur dari tulisan, artikel ,jurnal maupun buku yang membahas tentang permasalahan konflik sosial etnis rohingya sebagai suatu bencana sosial yang perlu diselesaikan dengan melibatkan pihak  - pihak internasional seperti ASEAN, UNHCR, serta peran profesi pekerja sosial dalam mengembalikan keberfungsian sosial pengungsi Rohingya itu sendiri.

Penulis berharap dengan hadirnya tulisan ini dapat menambah wawasan dan sekaligus dapat menumbuhkan rasa empati kita untuk saling menolong satu sama lain. Konflik yang terjadi pada Etnis Rohingya merupakan satu dari sekian banyaknya kasus kemanusiaan yang terjadi pada era modern seperti sekarang ini. Semoga Perdamaian abadi antara sesama bangsa dan negara dapat tercipta suatu hari nanti, kehidupan bermasyarakat yang aman, harmonis dan sejahtera.

 Pembahasan

Bencana Sosial Etnis Rohingya di Myanmar

Konflik yang terjadi pada Etnis Rohingya termasuk kedalam konteks bencana sosial yang dapat didefinisikan sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial anara kelompok atau antara komunitas masyarakat. Kata konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti percekcokan, perselisihan, pertikaian, pertentangan, bentuean atau clash antar manusia.

Biasanya konflik bisa hadir karena adanya perbedaan etnis, pendapat, pandangan, nilai -- nilai, cita- cita, keinginan, kebutuhan, perasaan, kepentingan, kelakuan, atau kebiasaan antar sesama individu maupun masyarakat itu sendiri.

Sementara itu, Myanmar merupakan negara multikultural dengan berbagai macam etnis, baik itu etnis minoritas maupun mayoritas, sehingga potensi untuk terjadinya konflik antar etnis sangat besar untuk terjadi di Myanmar. Hal tersebut terbukti dengan adanya konflik antar etnis Rohingya yang beragama muslim dengan Etnis Rakhine yang beragama Budha di Provinsi Rakhine, Myanmar.

Konflik yang bernuansakan etnis dan agama dalam kehidupan bermasyarakat merupakan konflik yang sulit untuk diselesaikan (intrectable conflict/unnegotiable conflict) dan berlangsung lama (Jeong, 2008).  Selain itu, konflik berbasis agama juga dapat menjadi semakin rumit apabila melibatkan isu etnisitas, dimana kelompok -- kelompok etnis tertentu menjadi pemeluk dari agama yang berbeda sehingga dikenal dengan istilah konflik etnis dan agama (Fox 2002; kadayifci -- Orellana 2009).

Perbedaan -- perbedaan yang berhubungan dengan etnis dan agama juga merupakan permasalahan yang sangat mudah menyulut konflik -- konflik terbuka, bahkan dapat mencapai tingkat intensitas kekerasan tinggi yang menelan korban jiwa seperti konflik Etnis Rohingya yang beragama Islam dengan Etnis Rakhine yang beragama budha di Provinsi Rakhine, Myanmar Barat (Revolusi, 2013).

Konsekuensi negara dengan masyarakat yang beraneka ragam latar belakangnya memang sangat mudah untuk memunculkan potensi konflik sosial, akan tetapi hal tersebut juga merupakan sebuah kekayaan yang harus senantiasa dijaga kearifan lokalnya demi menjaga eksistensi etnis dan kebudayaan suatu masyarakat tertentu. 

Akan tetapi, hal tersebut sepertinya tidak berlaku bagi masyarakat Myanmar karena Pemerintah Myanmar tidak bisa menjaga netralitas dan memberikan keamanan bagi warga negaranya serta condong kepada satu golongan tertentu. Pemerintah sebagai pihak yang  berkewajiban memberikan rasa aman kepada rakyatnya, justru telah menerbitkan Undang -- Undang Kewarganegaraan pada tahun 1982 yang akibatnya dapat mengancam eksistensi etnis Rogingya didalam negerinya sendiri.

Kebijakan tersebut menjelaskan bahwa dari 135 etnis yang diakui oleh Pemerintah Myanmar, Etnis Rohingya Bengali tidak termasuk kedalam 135 etnis yang diakui oleh Pemerintah Myanmar. Bahkan yang menambah parah kasus tersebut adalah junta militer melakukan tindakan yang bersifat represif berupa pembantaian atau genosida kepada etnis Rohingya di Provinsi Rakhine, Myanmar.

Banyak faktor yang memicu awal terjadinya konflik yang berkepanjangan ini, mulai dari kasus pemerkosaan, diskriminasi warga mayoritas dan masalah entitas etnis. Hingga pada akhirnya akar konflik yang terjadi karena adanya kecemburuan terhadap etnis rohingya yang dalam beberapa dasawarsa ini terus meningkat, baik itu dari segi eksistensi maupun perekonomian etnis Rohingya itu sendiri jika dibandingkan dengan etnis lainnya yang ada di Rakhine, Myanmar.

Pribahasa "Seperti Duri dalam Daging" merupakan stigma yang diberikan oleh pemerintah karena kehadirannya dapat mengancam eksistensi dari pemerintahan itu sendiri. Keberadaan Etnis Rohingya dianggap mengurangi hak atas lahan pertanian dan ekonomi karena junlah populasinya yang terus meningkat setiap tahun, khususnya di wilayah Arakan, Provinsi Rakhine yang menjadi pusat kehidupan Etnis Ronhingya.

Secara historis kemunculan pemukiman Etnis Rohingya di Arakan terlacak sejak zaman kerajaan Mrauk U, khususnya pada zaman Raja Narameikhla (1430 -- 1434). Seiring berjalannya waktu, jumlah pemukim Muslim dari Bengal tersu bertambah, terutama ketika Inggris menduduki Rakhine pada tahun 1924.

Kondisi pada waktu itu menggambarkan kalau di Rakhine sedang kekurangan populasi, sehingga Inggris memasukan banyak orang Bengali ke Rakhine untuk bekerja sebagai petani. Hal tersebut pula lah yang mengakibatkan sampai dengan hari ini banyak lahan pertanian di Rakhine  mayorutas penduduk disni berkerja sebagai petani bekerja di sektor agraris.

Resolusi konflik merupakan jalan yang seharusnya bisa dilakukan dalam menyelesaikan masalah suatu konflik tertentu. Resolusi dalam Webster Dictionary menurut Levine (1998:3) adalah (1) tindakan mengurangi suatu permasalahan, (2) pemecahan, dan (3) Penghapusan atau penghilangan permasalahan. Sedangkan Weitzman & Weitzman (dalam Morton & Coleman 2000: 197) mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah bersama (solve a problem together).

Fisher et al (2001: 7) juga menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang berseteru.

Dari pemaparan teroi menurut para ahli dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan resolusi konflik adalah suatu proses dalam memecahkan dan menyeselaikan konflik secara bersama dengan berusahan membangun hubungan baru diantara kelompok -- kelompok yang saling bersiteri satu sama lain.

Sampai dengan hari ini upaya -- upaya untuk mencapai revolusi konflik tersebut belum bisa tercapai dengan baik. Faktor internal maupun faktor eksternal mempengaruhi upaya resolusi konflik tersebut. Pada faktor internal, pemerintah enggan untuk mencabut kembali undang -- Undang Kewarganegaraan  tahun 1982 dengan tidak mengakui keberadaan dan mencabut hak sipil Etnis Rohingya yang sudah bermukim sejak lama di Provinsi Rakhine, Myanmar.

Faktor eksternalnya yang mempengaruhi berupa terbatasnya intervensi yang bisa dilakukan ASEAN sebagai organisasi tingkat regional di Asia Tenggara karena terbentur dengan Prinsip Non -- Intervensi yaitu prinsip untuk tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing -- masing anggota ASEAN itu sendiri.

Negara maupun lembaga internasioanl membutuhkan pendekatan yang ekstra hati -- hati karena dikhawatirkan terlalu mengintervensi Myanmar dalam merubah kebijakan kewarganegaraan yang sudah diterbitkan pada tahun 1982.

Konflik ini murni permasalahan yang harus diselesaikan oleh bangsa dan negara Myanmar itu sendiri, terlepas dari pada intervensi maupun gerakan yang sudah dilakukan dalam merespok kasus konflik sosial Etnis Rohingya di Myanmar yang implikasinya menjadi masalah dalam skala internasional. 

Peran Pekerja Sosial dalam Dimensi Internationally Related Domestic Practice and Advocacy

Profesi Pekerja Sosial juga memiliki peran dalam mengatasi implikasi konflik sosial Etnis Rohingya, khususnya bagi para pengungsi yang tersebar ke berbagai negara Asia Tenggara dan Bangladesh.

"The term international social work also came to encompass domestic soscial work practice with immigrants and refugees (Sanders, 1984; Sanders and Pedersen, 1984)."

Definisi yang dijelaskan oleh Sanders memiliki arti bahwasannya awal mulanya kehadiran praktek pekerja sosial internasional dalam  mengatasi isu  - isu yang berhubungan dengan imigran dan pengungsi. Sedangkan Healy (2011) berpendapat bahwa pekerja sosial internasional adalah :

"Does not view international social work practice as a field, but uses the term international action and makes the case that due to increased global interdependence, both local social workers and domestic human service agencies have greater opportunities and even a responsibility to engage in international activities."

Dapat dikatakan bahwasannya hanya lingkup prakteknya saja yang lebih luas karena mencakup lingkup internasional jika dibandingkan dengan lingkup domestic dalam skala suatu negara. Selain itu, Pekerja Sosial merupakan profesi pertolongan kemanusiaan yang tujuan utamanya adalah membantu keberfungsian sosial individu, kelompok, dan masyarakat dalam melaksanakan peran -- peran sosialnya (Siporin, 1975; Morales dan Sheafor, 1989; Suharto, 1997).

Dari pemaparan teori menurut para ahli tentang definisi pekerja sosial dalam lingkup internasional dapat ditarik kesimpulan bahwa pekerja sosial internasional merupakan pekerja sosial yang memiliki tujuan utama untuk mengembalikan keberfungsian sosial individu, kelompok, dan masyarakat dalam menjalankan peran  - peran sosial dalam dimensi praktek internasional. Dimensi yang menjelaskan tentang praktek pekerja sosial internasional berawal dari :

"The use of the term international action as the basis of the definition of international social work has led to four practice categories: 'internationally related domestic practice and advocacy, professional exchange, international practice, and international policy development and advocacy' (Healy, 2001: 7)."

Dari Keempat dimensi yang sudah disebutkan, dimensi yang tepat untuk menjelaskan ruang gerak dan kontribusi pekerja sosial dalam lingkup interasional adalah dimensi internationally related domestic practice and advocacy yang berarti bahwa pekerja sosial menangani masalah -- masalah di negara asalnya yang memiliki dimensi internasional. Salah satunya contohnya adalah masalah penempatan pengungsi Rohingya.

Misalnya saja secara geografis Negara Bangladesh merupakan sebuah negara di Asia Selatan yang berbatasan dengan India di Barat, Myanmar di Tenggara, dan Teluk Bangla di Selatan. Negara tersebut merupakan tempat pelarian yang sering dituju oleh Etnis Rohingya yang melakukan pengungsian ke Bangladesh. sudah menurut laporan United Nations High Commussioner For Refugees (UNHCR) Policy Development and Evalution Service (PDES) atau kebijakan pembangunan dan pelayanan evaluasi oleh badan komisaris tinggi negara khusus pengungsi, Bangladesh sudah mengalami tiga gelombang kasus pengungsi asal Myanmar.

Gelombang yang pertama terjadi pada tahun 1978 sampai tahun 1980 dengan total pengungsi 200.000 orang, gelombang kedua terjadi pada tahun 1991 sampai tahun 1992 dengan jumlah sekitar 250.000 orang dan semakin meningkat kemudian gelombang ketiga terjadi pada tahun 2006 -- 2010 yang jumlah populasi pengunggsinya terus setiap tahunnya yang memerlukan bantuan dari Organisasi Internasional khusus menangani pengungsi yaitu United Nations High Commussioner For Refugees (UNHCR).

Pekerja Sosial termasuk ke dalam pihak yang bertugas untuk membantu sekaligus mengatasi permasalahan Etnis Rohingya yang dalam setting operasionalisasinya dengan organisasi UNHCR sebagai lembaga internasional yang bergerak dalam mengurusi permasalahan Refugees (Pengungsi) dalam skala Internasional. Pekerja sosial memiliki wewenang dalam menyelesiakan problematika yang hadir sebagai dampak dari konflik sosial yang terjadi di Myanmar, yaitu dalam mengurusi pengungsi Etnis Rohingya di Bangladesh yang juga akan berkaitan dengan dimensi -- dimensi praktek pekerja sosial internasional itu sendiri.

 Dinamika Refugees Etnis Rohingya dan Bantuan Lembaga -- Lembaga Kemanusiaan Internasional 

ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara  memiliki tugas dan fungsi untuk turut serta berpartisipasi dalam menangani permasalahan yang terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar. Dampak yang terlihat jelas ialah permasalahan pengungsi Etnis Rohingya itu sendiri.

Faktanya sampai dengan akhir tahun 2017, tercatat bahwa terdapat 617.000 penduduk Rohingya yang mengungsi dari Mynmar dan berdasarkan data dari PBB terdapat setidaknya 420.000 pengungsi Etnis Rohingya yang mengunsi di wilayah Asia Tenggara (Kumparan, 2018).

Respon yang diberikan oleh ASEAN dalam menyikapi fenomena konflik sosial Etnis Rohingya yakni dengan digelarnya Special Meeting on Orregular Migration in The Indian Ocean pada 29 Mei 2015 di Bangkok, Thailand. Pertemuan ini melibatkan 17 negara sebagai peserta dan beberapa negara serta organisasi internasional lain sebaga pengamat. Beberapa hasil pokok dari pertemuan ini adalah untuk mengintensifkan proses pencarian dan penyelamatan, perlindungan terhadap kelomopk rentan dan menguatkan kerja sama internasional dalam mengumpulkan sumber daya yang diperlukan dalam keadaan tanggap darurat.

Selain itu, hasil dari pertemuan ini disepakatinya pembentukan Satuan Tugas (Satgas) penanganan pengungsi di wilayah Asia Tenggara agar ASEAN sebagai organisasi regional memiliki wewenang lebih dalam menangani masalah pengungsi Etnis Rohingya dan juga pengungsi lainnya yang pelaksanaannya akan menjalin kerja sama dengan United Nations Hight Commussioner for Refugees (UNHCR).

United Natios High Commissioner for Refugees (UNHCR) merupakan lembaga sayap dari PBB yang secara pokok bertanggung jawab dalam melindungi dan mencari solusi atas pesoalan -- persoalan pengungsi. UNHCR bersama dengan mitranya mempromosikan aktivitas perlindungan dan program bantuan untuk memastikan kebutuhan dasar para pengungsi dan pencari suaka terpenuhi selama mereka menantikan solusi jangka panjang yang paling tepat.

Statua UNHCR tahun 1950 dan Konvensi Jenewa mengenai status Pengungsi tahun 1951 hingga kini telah menjadi dasar kepedulian komunitas internasional terhadap isu pengungsi. Konvensi ini merupakan perjanjian internasional yang pertama yang mencakup berbagai aspek terpenting dari kehidupan seorang pengungsi.

Arti kata pengungsi menurut Kamus Bersar Bahasa Indonesia adalah  orang yang mengungsi. Asal sebab terjadinya seorang pengungsi adalah karena adanya suatu bahaya, misalnya bencana alam seperti gunung meletus, gempa, tsunami maupun bencana sosial seperti konflik antara komunitas masyarakat, pergantian rezim politik (roformasi), kebebasan fundamental, dsb. Dalam pasal 1A ayat (2) Konvensi Pengungsi 1951 mengatur pengertian pengungsi sebagai :

"... oleh ketakutan yang beralasan akan persekusi karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat, atau karena ketakutan tersebut tidak mau memanfaatkan perlindungan negara itu, atau seorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan karena berada di luar negara dimana ia sebelumnya biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat peristiwa-peristiwa termaksud, tidak dapat atau, karena ketakutan tersebut, tidak mau kembali ke negara itu."

Sedangkan dalam Black's Law Dictionary, pengungsi diartikan sebagai "A person who arrives in a country to settle there permanently; a person who immigrates". Sehingga dapat disimpulkan bahwasannya pengungsi merupakan seseorang yang tidak memiliki identitas kewarganegaraan dan melakukan perpindahan yang melewati batas wilayah ke wilayah lain dalam periode waktu tertentu karena adanya rasa takut atas terjadinya suatu bencana tertentu, baik itu bencana alam maupun bencana sosial.

Selain peran dari UNHCR banyak pula lembaga kemanusiaan yang memberikan bantuannya kepada masyarakat Rohingya, khususnya dalam memenuhi kebutuhan -- kebutuhan para pengungsu rohingya itu sendiri. Misalnya bantuan yang diberikan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Indonesia dengan Center Zakat Managemen (CZM) lembaga kemanusiaan yang berada di Bangladesh dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan sarana prasarana untuk membantu pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh.

Bantuan yang diberikan berupa pengadaan 200 unit panel surya (solar cell), donasi untuk kebutuhan darurat seperti selimt, terpal, dna pakaian untuk para pengungsi. Jumlah pengungsi yang mencapai jutaan ribu orang, membuat bantuan yang selama ini diberikan belum mampu memenuhi kebutuhan pengungsi Rohingya secara merata. Pada bidang kesehatan Baznas memberikan dua unit Ambulans dan satu unit mobil operasional yang akan dioperasikan CZM.

Sedangkan pada bidang pendidikan, CZM sendiri sudah membuka sekolah darurat untuk pendidikan agama dan pengajian Al -- Qur'an yang mampu menampung 1.750 siswa (Republika, 2018). Kolaborasi yang dilakukan Badan Amil Zakat (Baznas) Indonesia dengan Center Zakat Managemen (CZM) merupakan salah satu contoh dari sekian banyaknya lembaga kemanusiaan internasional yang memberikan bantuan secara langsung kepada pengungsi etnis Rohingya di Bangladesh.

Oleh karena itu, banyaknya lembaga yang bergerak pada bidang kemanusiaan menandakan bahwasannya masih ada pihak -- pihak yang peduli untuk saling menolong satu sama lain. UNHCR pun juga memiliki peranan yang penting sebagai lembaga sentral yang bergerak untuk menangani permasalahan pengungsi yang ada di dunia internasional.

Kesimpulan

Konflik sosial yang terjadi antara Etnis Rohingnya dengan Etnis Rakhine di Myanmar memiliki implikasi yang dapat dirasakan oleh negara internasional, khususnya negara -- negara yang bertetangga dengan Negara Myanmar di Asia Tenggara maupun Asia Selatan. Dampak yang paling dirasakan adalah meledaknya jumlah pengungsi yang tersebar ke berbagai negara tetangga. Hal ini menjadi fokus utama dalam mengatasi permasalahan kemanusiaan yang dialami oleh Etnis Rohingya yang tidak memiliki identitas kewarganegaraan karena tidak diakui secara konstitusional oleh negaranya sendiri.

Peran lembaga kemanusiaan internasional maupun United Nations Hight Commussioner for Refugees (UNHCR) sebagai lembaga sayap dari PBB memiliki peran vital untuk terus berkomitmen untuk senantiasa saling membantu sama lain dengan permasalahan yang sangat kompleks karena melibatkan berbagai banyak pihak dalam pelaksanaannya.

ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara juga memiliki tugas untuk mengkaji dan membahas kembali dengan negara -- negara anggotanya untuk menyelesaikan permasalahan pengungsi demi merumuskan solusi terbaik dalam jangka panjang.

Kehadiran pekerja sosial dalam ruang lingkup praktek internasional sangat diharapkan dapat membantu untuk menyelesaikan isu -- isu kesjehateraan sosial yang lainnya, tidak lupa dengan lingkup dimensi daripada praktek pekerja sosial internasional itu sendiri.

Banyak pekerjaan yang harus dilakukan bagi semua elemen terkait dalam mengatasi masalah pengungsi yang sampai dengan hari ini upaya -- upaya untuk menyelesaikan masalah tersebut masih terus dilakukan oleh berbagai banyak pihak. Semoga cita -- cita untuk hadirnya kehidupan masyarakat yang aman, harmoni dan sejahtera dapat diwujudkan dikemudian hari sebagai suatu kondisi bagi seluruh umat manusia,

Daftar Pustaka

 Alrasyid, M. Harun. 2005. Manajemen Bencana Sosial dan Akar Konflik Sosial. Jurnal Madani edisi 2. Pp. 1 -- 10. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=19474&val=1231 (Diakses pada 19 Juni 2018).

Bangun, Budi Hermawan. 2017. Tantangan ASEAN dalam Melakukan Penanganan Pengungsi Rohingya. Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum. Volume 4 Nomor 3. Pp. 569 -- 587. http://jurnal.unpad.ac.id/pjih/article/view/14929/7213 (diakses pada 18 Juni 2018).

Merry, dan Tessy Olivia. Sikap Bangladesh dalam Menanggapi Program United Nations Joint Initiative UNHCR terhadap Penanganan Pengungsi Rohingya (Periode 2006 - 2011). https://media.neliti.com/media/publications/31221-ID-sikap-bangladesh-dalam-menanggapi-program-unhcr-united-nations-joint-initiative.pdf (Diakses pada 15 Juni 2018).

Revolusi, Alfi. 2013. Faktor -- faktor Penyebab Konflik Etnis Rakhine dan Rohingya di Myanmar Tahun 2012. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa UNEJ 2013. http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58723/Alfi%20Revolusi.pdf (diakses pada 17 Juni 2018).

Triono. 2014. Peran ASEAN dalam Penyelesaian Konflik Etnis Rohingya. Jurnal TAPIs. Volume 10, Nomor 2. Pp. 1 -- 11. http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/TAPIs/article/download/1603/1336 (Diakses pada 18 Juni 2018).

Waluyo, Tri Joko. 2013. Konflik Tak Seimbang Etnis Rohingya dan Etnis Rakhine di Myanmar. Jurnal Transnasional. Volume 4, Nomor 2. Pp.  838 -- 582. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=106632&val=2274   (Diakses pada 18 Juni 2018).

Wuryandari, Annisa. 2017. Dilema ASEAN Way dalam Penanganan Pencari Suaka Rohingya di Asia Tenggara. Jurnal of International Relations. Volume 3, Nomor 2. Pp. 68 -- 74. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jihi/article/view/16615 (Diakses pada 15 Juni 2018).

Xu, Qingwen. 2008. Defining International Social Work: A Social Service Agency Perspective. Internasional Social Work. Volume 49, Nomor 6. Pp. 679 -- 692. http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0020872806069075?journalCode=iswb (Diakses pada 16 Juni 2018)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun