Narasi dalam politik identitas yang muncul sebelum dan setelah pemilihan presiden 2019 menguak potensi keretakan sosial di masyarakat yang berbahaya jika disuburkan.
Nursyamsiah merasa terluka hatinya. Sebelum pemilihan presiden dimulai hingga pada masa penghitungan suara, warga Jakarta Selatan ini mendengar teman dan keluarganya menyebut mereka yang memilih calon presiden tertentu tidak layak hidup.
"Jelas saya sangat terluka. Setiap orang lahir berbeda. Kalau Allah membiarkan orang-orang yang berbeda dengan kita hidup, berarti Allah mengizinkan mereka hidup. Lalu kenapa kita yang sama-sama ciptaanNya, berhak menyatakan dia nggak layak hidup? Siapa Anda untuk menghakimi?"
Rumah tangga retak karena beda pilihan politik? 'Jangan mati-matian bela capres'
Pemilu 2019: Politik identitas dinilai tidak dongkrak perolehan suara partai-partai Islam
Pemilu 2019: 'Pertarungan Pancasila vs khilafah' laku karena pemilih 'belum rasional'
Ibu dua anak itu menyalahkan elite politik yang, menurutnya, menggunakan politik identitas sejak pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta pada 2017. Akibatnya, dia menilai situasi sosial pada pilpres 2019 bertambah parah.
"Sampai ada teman saya sendiri diturunkan di jalan oleh pengemudi taksi online karena teman saya berbeda pilihan capres, muslim, dan tidak berhijab!"Â
Walau keluarga dan temannya tidak ada yang bersikap seperti si pengemudi taksi online, kecaman dan sebutan 'kafir' terhadap orang dengan pilihan capres berbeda dilakukan handai taulan serta koleganya.
"Saya masih bertegur sapa dan bercium pipi dengan keluarga dan teman saya yang seperti itu, tapi sebetulnya hati kami tidak bertegur sapa. Kemungkinan kami tidak lagi mesra sebagai saudara, mesra sebagai sahabat, dan mesra sebagai tetangga, itu kayaknya sudah sulit sekali. Sudah mulai ada yang mengatakan, 'kamu kafir'.
"Politik identitas ini benar-benar memecah belah kita," paparnya kepada wartawan BBC News Indonesia, Jerome Wirawan.