Mohon tunggu...
Yulianto
Yulianto Mohon Tunggu... Penerjemah - Menulis saja

Menulis saja

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sarung Kesayangan Ayah!

15 Mei 2020   00:07 Diperbarui: 15 Mei 2020   00:25 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (republika.co.id)

Juni 2019 (Ramadan hari ke 21)

Pagi itu, selepas menunaikan salat subuh dan mengaji. Wahyu bergegas meraih koper yang berdiri di samping tempat tidurnya. Semalam ia sudah menyiapkan segala barang keperluan mudiknya tahun ini. Tak lupa beberapa hari sebelumnya, Wahyu menyempatkan diri untuk berkunjung ke pusat grosir terbesar di Asia Tenggara demi berburu kado lebaran untuk keluarga dan kerabatnya.

Selepas memastikan barang bawaannya sudah siap. Wahyu pun segera memesan taksi online di telepon genggamnya. Saat itu waktu masih menunjukkan pukul 06.30 pagi. Meskipun penerbangan Wahyu masih 2 setengah jam lagi, ia sengaja berangkat ke bandara lebih cepat demi menghindari macetnya ibukota.

Tak butuh waktu lama, taksi pesanannya pun tiba. Sayangnya pagi itu, ibukota masih selalu bangun lebih cepat. Jalanan sudah penuh sesak oleh kendaraan. Wahyu pun merasa sedikit cemas,

'semoga sampai tepat waktu' doanya dalam hati saat itu.

Kendaraan yang ditumpangi Wahyu saat itu melaju cukup pelan karena macet. Wahyu pun berusaha tenang. Ia mengedarkan pandangannya mengamati orang-orang di sekitarnya yang juga melaju pelan karena macet. Tiba-tiba pandangan Wahyu terhenti pada seorang bapak yang sedang berkendara motor sambil membonceng anaknya.

Terlihat si bapak dan anaknya saling melemparkan senyum di tengah kemacetan. Mereka tampak sangat bahagia. Wahyu pun tiba-tiba merasa iri. Pemandangan itu pun seketika membuat Wahyu terkenang akan sebuah memori. Ingatannya tiba-tiba terlempar jauh ke sebuah peristiwa beberapa tahun yang lalu.

Juli 2017

Menjelang waktu salat Jumat, Wahyu dan ayahnya terlibat sedikit adu mulut di ruang tamu. Sang ayah marah melihat penampilan Wahyu saat itu,

'Kenapako cuma pakai baju kaos sama celana jeans pergi salat Jumat?' gertak sang ayah

'Kukira ada baju koko mu, kenapa bukan itu nupake?' tambahnya

Wahyu pun cuma terdiam mendengar pertanyaan itu. Sang ayah kemudian masuk ke kamarnya, beberapa menit kemudian ia keluar sambil menggenggam sesuatu.

'Pakai ini' ucap sang ayah sambil menyerahkan selembar sarung kepada Wahyu. Sarung itu adalah sarung kesayangan ayahnya.

'Edd kita mi yang pakai itu, sarung itu itu terus' ucap Wahyu sambil melengos.

Sang ayah tiba-tiba terlihat sedih mendengar kalimat Wahyu itu. Ia terdiam lalu duduk sambil memandangi selembar sarung di tangannya. Sarung itu memang sarung satu-satunya yang ada di rumah Wahyu. Keluarga Wahyu saat itu sangat miskin, jangankan untuk membeli sarung baru. Membeli beras untuk dimakan saja, mereka sering kesulitan mencarinya.

Wahyu menyadari kesedihan ayahnya. Ia merasa menyesal telah berkata seperti itu. Akan tetapi, Wahyu sebenarnya ingin agar ayahnya saja yang memakai sarung itu. Sarung itu adalah sarung kebanggaan di rumahnya. Benda itu adalah harta di rumah tersebut. Wahyu ingin agar ayahnya saja yang mengenakan pakaian terbaik itu ke masjid. Sayangnya saat itu cara Wahyu menyampaikan keinginannya itu salah.

Setelah kejadian itu, hubungan antara Wahyu dan ayahnya menjadi dingin. Mereka tak lagi saling melempar kata. Bahkan hingga keesokan harinya, saat Wahyu harus meninggalkan rumah untuk merantau ke ibukota demi memperbaiki nasib keluarganya.

'Pak, Pak' tiba-tiba suara sopir taksi online membuyarkan lamunan Wahyu.

'Mau turun dimana pak? kita sudah hampir sampai" tanya sang sopir Wahyu pun tak menyangka bahwa tujuannya sudah dekat. Ia lalu menunjukkan dimana lokasi ia akan turun. 

Selama di perantauan, Wahyu sebenarnya sudah berusaha untuk memperbaiki hubungannya dengan sang ayah. Ia rutin menanyakan kabar ayahnya melalui telepon kepada sang ibu. Tetapi sang ayah masih tetap tak mau bicara banyak dengan Wahyu.

Setelah hampir 2 tahun merantau, baru di bulan Ramadan tahun ini Wahyu punya kesempatan untuk mudik. Kehidupannya pun sudah jauh lebih baik. Ia juga sering mengirimkan uang ke kampung untuk membantu keluarganya. Hari itu, Wahyu sudah sangat tidak sabar melepaskan kerinduan dengan keluarganya, terutama ibu dan ayahnya

Di kopernya, ia sudah membeli beberapa sarung dengan motif yang indah. Sarung itu ingin ia berikan kepada sang ayah sebagai kado. Ia pun ingin mengenakan sarung-sarung baru itu dengan ayahnya di hari raya nanti.

Setelah melakukan check in di bandara. Wahyu segera naik ke pesawat. Perjalanan dari ibukota menuju kampung halaman wahyu memakan waktu sekitar 5 jam. Dua jam melalui jalur udara dan tiga jam jalur darat.

Setibanya di bandara tujuan, Wahyu segera menaiki mobil yang sudah ia pesan ke kampungnya. Selama perjalanan darat ke kampungnya, Wahyu tak bisa menutupi rasa kebahagiannya. Ia sangat bersemangat untuk bertemu keluarganya. Ia bahkan tak tidur selama perjalanan saking semangatnya.

Setelah beberapa jam berlalu. Wahyu pun tiba di kampung halamannya. Saat mobil yang ditumpangi wahyu menuju ke rumahnya, Dari kejauhan Wahyu sedikit heran melihat banyak orang berkumpul di sekitar rumahnya. Ia bingung mengapa banyak warga disana.

Setelah mobil mendekat, Wahyu terkejut melihat bendera berwarna kuning terikat di sebuah bambu dan tertancap di depan rumahnya. Ia tak mau berpikiran macam-macam dulu. Setelah mobil yang ditumpanginya parkir di rumah, tanpa mengambil koper segera ia masuk ke rumahnya.

Orang-orang saat itu memandangi Wahyu dengan wajah sedih. Setibanya Wahyu di depan pintu rumahnya, betapa terkejutnya ia saat melihat ayahnya sudah terbaring kaku dengan ditutupi kain kafan. Tangisnya pun pecah saat itu juga.

Sebenarnya ia sudah tahu jika ayahnya beberapa waktu lalu jatuh sakit, tetapi ia mengira kondisi ayahnya sudah membaik sebab begitu kata keluarga saat ia bertanya kabar.

Sambil memeluk jenazah ayahnya, Ibu Wahyu datang mendekap sang anak sambil menangis..

'Tidak nabiarkanki ayahmu kasi tahu keadaannya, takutki nanti khwatirki'' ucap sang ibu ke anaknya.

Hari itu Wahhyu sangat terpukul atas kematian ayahnya. Setelah memandikan jenazah ayahnya, sang ibu mendekati Wahyu kemudian memberikan sarung kesayangan ayahnya. Wahyu pun kembali tak kuasa menahan tangisnya. Sarung itu yang dulu pernah ia tolak kenakan. Hari itu dengan berlinang air mata, Wahyu mengenakan sarung itu untuk mengantarkan ayahnya ke tempat peristirahatan terakhirnya.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun