'Kukira ada baju koko mu, kenapa bukan itu nupake?' tambahnya
Wahyu pun cuma terdiam mendengar pertanyaan itu. Sang ayah kemudian masuk ke kamarnya, beberapa menit kemudian ia keluar sambil menggenggam sesuatu.
'Pakai ini' ucap sang ayah sambil menyerahkan selembar sarung kepada Wahyu. Sarung itu adalah sarung kesayangan ayahnya.
'Edd kita mi yang pakai itu, sarung itu itu terus' ucap Wahyu sambil melengos.
Sang ayah tiba-tiba terlihat sedih mendengar kalimat Wahyu itu. Ia terdiam lalu duduk sambil memandangi selembar sarung di tangannya. Sarung itu memang sarung satu-satunya yang ada di rumah Wahyu. Keluarga Wahyu saat itu sangat miskin, jangankan untuk membeli sarung baru. Membeli beras untuk dimakan saja, mereka sering kesulitan mencarinya.
Wahyu menyadari kesedihan ayahnya. Ia merasa menyesal telah berkata seperti itu. Akan tetapi, Wahyu sebenarnya ingin agar ayahnya saja yang memakai sarung itu. Sarung itu adalah sarung kebanggaan di rumahnya. Benda itu adalah harta di rumah tersebut. Wahyu ingin agar ayahnya saja yang mengenakan pakaian terbaik itu ke masjid. Sayangnya saat itu cara Wahyu menyampaikan keinginannya itu salah.
Setelah kejadian itu, hubungan antara Wahyu dan ayahnya menjadi dingin. Mereka tak lagi saling melempar kata. Bahkan hingga keesokan harinya, saat Wahyu harus meninggalkan rumah untuk merantau ke ibukota demi memperbaiki nasib keluarganya.
'Pak, Pak' tiba-tiba suara sopir taksi online membuyarkan lamunan Wahyu.
'Mau turun dimana pak? kita sudah hampir sampai" tanya sang sopir Wahyu pun tak menyangka bahwa tujuannya sudah dekat. Ia lalu menunjukkan dimana lokasi ia akan turun.Â
Selama di perantauan, Wahyu sebenarnya sudah berusaha untuk memperbaiki hubungannya dengan sang ayah. Ia rutin menanyakan kabar ayahnya melalui telepon kepada sang ibu. Tetapi sang ayah masih tetap tak mau bicara banyak dengan Wahyu.
Setelah hampir 2 tahun merantau, baru di bulan Ramadan tahun ini Wahyu punya kesempatan untuk mudik. Kehidupannya pun sudah jauh lebih baik. Ia juga sering mengirimkan uang ke kampung untuk membantu keluarganya. Hari itu, Wahyu sudah sangat tidak sabar melepaskan kerinduan dengan keluarganya, terutama ibu dan ayahnya