Aku hening "Mungkin pemimpin itu akan menghampiri perempuan yang memiliki anak terlebih dahulu"  pikirku. Ketika  langkah kaki sang pemimpin tiba di depan perempuan dengan seorang anak yang lemah di pangkuannya. Rupanya ia tak berhenti, ia tetap melangkahkan kakinya, berlalu melewati perempuan itu tanpa melirik sedikit pun.
Kulihat sang pemimpin melangkahkan kakinya menuju kantin sebuah gedung swasta yang terletak di sebelah lokasi mesjid. Bersama dengan beberapa orang penting yang mendampinginya, pemimpin itu tetirah sambil bersantap siang di kantin itu. Aku mengamati pemimpin itu dari jauh. "Mungkin selepas makan siang ketika tak ada lagi orang", pikirku. Beberapa menit kunanti, tepat ketika suasana mesjid sudah lengang dan kedua perempuan itu pun masih tak berpindah dari tempatnya, pemimpin dan rombongannya pun keluar dari kantin.Â
Sang pemimpin menjabat tangan satu persatu orang-orang yang mendampinginya, sebuah mobil mewah pun kemudian menghampiri pemimpin itu. Ia naik lalu mobil pun melaju dengan cepat. Kuperhatikan wajah kedua perempuan itu dan kudekati mereka satu per satu. "Mungkin aku melewatkannya" pikirku. Kutanyakan kepada mereka apakah pemimpin tadi datang menghampiri, hanya sekadar menanyakan kabar atau keadaan mungkin? pikirku.
"Tidak" jawab kedua perempuan itu pelan. Mendengar jawaban itu, tiba-tiba ada yang sesak yang menyelimuti dadaku. Entah datang darimana rasa sesak itu. Selepas itu, aku pun melanjutkan perjalananku, selama sisa perjalananku, tiba-tiba aku teringat sebuah kisah yang dulu diceritakan seorang tetuah di sebuah surau di kampungku sewaktu kecilku.Â
kisah tentang seorang pemimpin di negeri seberang nun jauh disana, yang memikul sendiri karung-karung gandum di bahunya untuk dibawa ke sebuah rumah yang letaknya jauh dari kediamannya namun masih masuk wilayah kekuasannya. Sambil menangis dan meminta ampun kepada sang penguasa, pemimpin itu menahan beban gandum yang dipikulnya.Â
Sebabnya, kesadaran pemimpin itu tersentak beberapa saat yang lau ketika mendapati seorang ibu yang terpaksa menanak batu demi menahan tangis anaknya yang sedang kelaparan di wilayahnya. Bukan tak memiliki pengawal untuk membawa gandum-gandum berat itu, namun karena merasa lalai membiarkan sebuah keluarga menahan lapar di wilayahnya maka ia melakukannya. Bukan karena itu saja, pemimpin itu juga takut akan menjawab apa kepada sang penguasa kelak ketika ditanya tentang apa yang dilakukannya sebagai pemimpin hingga membiarkan masih ada orang yang kelaparan di wilayahnya Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H