Allahuakbar... Allahuakbar
Allah Maha Besar... Allah Maha Besar
Suara Adzan Dzuhur telah dikumandangkan, terdengar lantang cetar membahana. Langit dan Bumi tertunduk runtuh mendengarnya, panggilan suci dari Sang Pemilik Semesta.
Umar pun sang murid Kyai Ahmad bergegas menuju Mesjid, tempat yang menyatukan umat Islam dimana pun mereka berada.
"Shaf lurus dan dirapatkan, karena meluruskan dan merapatkan bagian dari kesempurnaan Shalat," begitu ucap Imam Shalat memperingatkan makmun untuk tetap sempurna dalam segala hal terutama Shalat.
Terlihat Imam dan Makmum berpakaian seragam, terlilit kain sarung di tubuh mereka, menyatukan visi misi dengan Tuhan dan sesama manusia. Â
Shalat pun usai, Sang Kyai Ahmad berdzikir dan membacakan doa bersama serta tidak lupa nasehat untuk ummat.
"Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." (QS. Al-An'am: 162-163)
Begitu bunyi ayat yang disampaikan Kyai Ahmad, mengajarkan kita akan hakikat kehidupan, bahwa kita ini hanyalah milik Allah dan kembali kepada-Nya.
Perjuangan kita apapun itu tak lain dan tak bukan hanya dipersembahkan untuk Allah SWT.
Tiba-tiba terdengar dentuman senjata yang sangat keras memekak telinga, seakan-akan telinga ini hendak pecah, teriakan prajurit Belanda memanggil-manggil Kyai Ahmad.
"Kyai Ahmad keluar, mana Kyai Ahmad, keluar sekarang juga, jika tidak semua murid-muridmu mati di tempat."
Tidak tega melihat orang di sekeliling jadi korban, sang Kyai Ahmad pun maju tanpa rasa takut. Terlihat Umar sang murid menahan tangannya, dikuti Malik, Usman dan kawan-kawan lainnya.
Umar yang dipercayai menjaga pesantren hanya melihat kaku, bersabar berhenti sejenak untuk tidak mati konyol di tangan senjata Belanda.
Kyai Ahmad langsung diseret dengan kedua tangannya terikat kuat. Dipukul dan dipalu. Seketika jalanan pun penuh debu-debu perjuangan oleh gesekan tubuh sang Kyai yang terseret, tak terdengar keluh kesah sang Kyai, mulutnya hanya terdengar sayutan-sayutan Ilahi, Allahuakbar...Allahuakbar... tiada kekuatan yang Maha Dahsyat selain daripada kekuatan Allah SWT.
Kepergian Kyai menjadi cambuk para santri untuk berjuang dan mengusir penjajah dari bumi pertiwi.
Di saat agama, diri, dan tanah air terancam, jihad menjadikan semangat juang kaum sarungan, kaum para santri yang belajar agama, belajar agama berarti belajar tentang hakikat hidup, mengetahui rahasia langit dan bumi. Hidup dan matiku hanyalah milik Allah SWT.
Peci yang terbalut di kepala para santri tidak goyah, begitupun sarung yang terlilit di antara perut dan lutut menjadi simbol perjuangan para santri untuk berjuang mempertahankan agama, diri dan tanah air. Begitu juga tidak lupa di tangan mereka sudah siap bambu runcing sebagai senjata canggih buatan semangat rakyat Indonesia.
Umar, Malik, dan Usman siap berdiri di depan menyelamatkan sang Kyai dari tahanan Belanda. Saat itu setelah selesai menunaikan shalat subuh, para santri pergi ke medan perang melawan dan mengusir penjajah.
Memasuki semak-semak, bertemu harimau dan makhluk buas lainnya. Semua dilalui dan terlewati.
Tentara Belanda pun berhasil dipukul mundur, dan para santri berhasil membawa sang Kyai dengan tubuh penuh darah.
Cerita singkat ini hanya ingin menyampaikan pesan bahwa betapa banyak pejuang bangsa ini dilahirkan dari kaum sarungan, kaum santri yang belajar di surau, duduk menggunakan sarung dan peci hitam di kepalanya. Mereka berhasil mempertahankan negeri ini dengan hanya memakai pakaian sederhana yaitu sarung, sarung berhasil mengikat kuat tali persaudaraan di antara mereka. Segala sesuatu hanya milik Allah, dan kita akan kembali kepada-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H