"Kyai Ahmad keluar, mana Kyai Ahmad, keluar sekarang juga, jika tidak semua murid-muridmu mati di tempat."
Tidak tega melihat orang di sekeliling jadi korban, sang Kyai Ahmad pun maju tanpa rasa takut. Terlihat Umar sang murid menahan tangannya, dikuti Malik, Usman dan kawan-kawan lainnya.
Umar yang dipercayai menjaga pesantren hanya melihat kaku, bersabar berhenti sejenak untuk tidak mati konyol di tangan senjata Belanda.
Kyai Ahmad langsung diseret dengan kedua tangannya terikat kuat. Dipukul dan dipalu. Seketika jalanan pun penuh debu-debu perjuangan oleh gesekan tubuh sang Kyai yang terseret, tak terdengar keluh kesah sang Kyai, mulutnya hanya terdengar sayutan-sayutan Ilahi, Allahuakbar...Allahuakbar... tiada kekuatan yang Maha Dahsyat selain daripada kekuatan Allah SWT.
Kepergian Kyai menjadi cambuk para santri untuk berjuang dan mengusir penjajah dari bumi pertiwi.
Di saat agama, diri, dan tanah air terancam, jihad menjadikan semangat juang kaum sarungan, kaum para santri yang belajar agama, belajar agama berarti belajar tentang hakikat hidup, mengetahui rahasia langit dan bumi. Hidup dan matiku hanyalah milik Allah SWT.
Peci yang terbalut di kepala para santri tidak goyah, begitupun sarung yang terlilit di antara perut dan lutut menjadi simbol perjuangan para santri untuk berjuang mempertahankan agama, diri dan tanah air. Begitu juga tidak lupa di tangan mereka sudah siap bambu runcing sebagai senjata canggih buatan semangat rakyat Indonesia.
Umar, Malik, dan Usman siap berdiri di depan menyelamatkan sang Kyai dari tahanan Belanda. Saat itu setelah selesai menunaikan shalat subuh, para santri pergi ke medan perang melawan dan mengusir penjajah.
Memasuki semak-semak, bertemu harimau dan makhluk buas lainnya. Semua dilalui dan terlewati.
Tentara Belanda pun berhasil dipukul mundur, dan para santri berhasil membawa sang Kyai dengan tubuh penuh darah.