Mohon tunggu...
Rafi  Asamar Ahmad
Rafi Asamar Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

I love mom

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Upaya Perkuat Keharmonisan, Melalui Pendekatan Budaya 'Ngaliwet'

20 Desember 2024   04:40 Diperbarui: 20 Desember 2024   04:40 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pekarangan ibu Aina Nurjanah seorang guru di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Anggrawati II, menjadi titik berkumpul bagi sebagai warga di Blok Minggu Dusun Cadas, Desa Anggrawati, Kec. Maja, Kab. Majalengka, Jawa Barat.

Kehadiran para warga itu bukan tanpa alasan, mereka tengah menanti nasi liwet matang dalam sebuah kastrol. Nasi liwet telah menjadi suatu hidangan primadona di tengah masyarakat Dusun Cadas. Sehingga tak jarang kerap mendengar celetukan di waktu tengah berkumpul, 'Ngaliwet yuk'

Nyatanya ngaliwet telah menjadi salah satu kebiasaan masyarakat di Dusun Cadas yang tidak bisa terpisahkan. Hal itu disebabkan ngaliwet tidak hanya mampu meredam perut yang keroncongan. Namun lebih dari itu sebagai upaya memperkuat keharmonisan sesama warga di Dusun Cadas.

Bagaimana tradisi ini mangandung nilai tersendiri dalam prosesinya, yang diyakini sedikit besar mampu mempererat hubungan antar tetangga. Itu bisa dirasakan ketika satu sama lain terlibat aktif dalam menghidangkan nasi liwet itu.

Biasanya setiap individu yang terlibat aktif dalam prosesi ngaliwet memiliki peranan masing-masing. Ada yang spesialis perapian, bertugas menyalakan api dalam sebuah tungku. Atau ia yang memiliki dana finansial berlebih bertugas menyokong semua prosesi ngaliwet itu.

Di sini tersirat suatu nilai gotongroyong yang dimiliki ketika hendak memulai suatu prosesi ngaliwet itu. Yang mana hal itu cukup berpengaruh kepada psikologi setiap individunya. Mengingat biarpun tidak ada rule and regulation atau tatacara khusus dalam prosesi itu.

Namun setiap individu yang terlibat merasa terpanggil untuk turut serta membantu berlangsungnya prosesi ngaliwet. Hanya saja perlu untuk diketahui bahwa manusia yang erat kaitannya dengan rasa, maka secara tidak langsung tanpa harus diperintah sebelumnya. Dengan sukarel mau terlibat dalam menghidangkan nasi liwet meskipun ia hanya berperan sebagai seorang peniup api dalam sebuah tungku.

Inilah salah satu keunikan dari sebuah prosesi ngaliwet, yang mana hal itu untuk sekarang ini. Di tengah siatuasi penuh dengan inovasi, prosesi ngaliwet perlahan bergeser fungsinya kearah sesuatu hal yang jauh lebih instan.

Namun yang menjadi suatu perhatian serius adalah bagaimana prosesi ngaliwet mampu menjadi suatu alternatif melawan arus kebudayaan yang cenderung individualisme ini. Yang mana terkesan memaksa makhluk sosial, untuk menarik diri dari hingar bingar pergulatan emosional ketika berinteraksi dengan sesama manusia di dunia nyata.

Telah banyak terlihat bahwa setiap individu biar pun keberadaannya jauh dari keramaian dan hiruk pikuk perkotaan. Namun setiap individu senantiasa dalam gengamannya melekat erat ponsel pintar. Dan benda itu jelas-jelas mampu membawa individu tersebut menjelajah ruang dimensi lain, lantas mengabaikan lingkungan sekitarnya.

Inilah mengapa dengan adanya tradisi ngaliwet, yang secara berkesinambungan masih melekat di tengah masyarakat Dusun Cadas. Maka setidaknya hal itu mampu menciptakan suatu kepedulian pada setiap individu akan pentingnya berbaur dan berinteraksi antar sesama penduduk di Dusun Cadas.

Mengingat nilai kebudayaan dari luar tidak bisa dibendung lagi di era penuh keterbukaan ini. Sehingga tidak lagi nampak individu yang murni hasil dari implementasi nilai-nilai ke-sundaan. Apakah itu didengar melalui tutur kata, maupun atribut yang melekat pada setiap individunya.

Maka nampak jelas bahwa masyarakat di Dusun Cadas untuk sekarang ini adalah masyarakat yang telah terdistorsi nilai kebudayaan dari luar. Lebih tepatnya akulturasi nilai kebudayaan lalu perlahan menjadi suatu tatanan masyarakat yang beranjak dari peralatan tradisional menuju modernisasi.

Maka bisa dirasakan sebagaimana telah disebutkan bahwa bertutur kata, kemudian bentuk bangunan, stail rambut, fashion, maupun seuatu kebiasaan yang saat ini tengah tren. Kesemua itu merupakan bentuk kongkrit dari masyarakat di Dusun Cadas bukan lagi masyarakat yang murni implementasi dari nilai-nilai ke-sundaan.

Sebagai sebuah contoh lain, anak gadis di Dusun Cadas akan lebih suka menggunakan celana jeans dari pada samping. Menurutnya menggunakan celana jeanns itu keren, sedangkan menggunakan samping sebagai pelengkap berpakaian menggantikan celana telah ketinggalan zaman.

Pola pikir demikian secara tidak sadar telah membentuk perspektif bahwa budaya Barat dengan celana jeans-nya itu adalah keren. Sedangkan samping yang senantiasa dikenakan oleh nenek moyang, cara berpakaian demikian itu telah dianggap kuno dan ketinggalan zaman.

Benar saja, nyaris tidak ada satu remaja perempuan di Dusun Cadas yang berupaya mengenakan samping di luar rumah sebagai sebuah fhasion yang dibanggakan. Bisa jadi tidak menggunakan samping karena tidak mengetahui cara mengenakannya. Atau justru terselip harga diri akan jatuh di mata umum jika mengenakan samping itu sendiri. Dalam arti lebih spesifik yakni gengsi.

Tidak hanya itu penggunaan kopiah pun merupakan suatu hal yang terkesan sakral. Padahal orang Sunda telah terbiasa dengan ikat Sundanya. Bukan-kah keduanya berfungsi sebagai penutup kepala ? Akan tetapi mengapa jika pergi ke mesjid harus ber-kopiah, tidakkah menggunakan ikat Sunda sama saja. Mungkin ini akan menjadi perdebatan cukup sengit hanya perkara penutup kepala.

Sedangkan di ranah infrastuktur misalnya, model rumah orang Sunda itu berdinding anyaman bambu serta panggung. Kini model rumah seperti itu dianggap bukan rumah layak huni. Padahal selama orang tersebut yang tinggal di dalam rumah itu tertidur dengan pulas. Itu artinya rumah tersebut nyaman dan layak huni.

Konotasi yang meng-diskreditkan itu perlahan menggeser nilai budaya. Lantas menciptakan sebuah perspektif dalam benak masyarakat bahwa 'rumah bilik dan panggung itu miskin dan hina'. Pola seperti ini sebenarnya tengah menggiring masyarakat untuk lebih konsumtif yakni bergantung pada hasil produk pihak lain. Pembelian semen, pasir, batu bata, sedangkan jika hanya menggunakan anyaman bambu, bambu bisa diproduksi sendiri dengan menanamnya.

Dalam tatacara makan pun perlahan mulai bergeser, orang Sunda terbiasa menggunakan tangan kosong untuk makan. Namun kebiasaan tersebut dianggap jorok semenjak kehadiran sendok dan garpu. Pada mulanya sendok dan garpu berasal dari Mesir akan tetapi semenjak ada aturan tatacara makan atau tabel manners ala Eropa, menciptakan sebuah kesan bahwa makan tanpa sendok dan garpu berasa tidak elegan dan terkesan jorok.

Nyatanya dalam penggunaan bahasa pun sebagian cenderung lebih menyukai menggunakan kata 'Aana' dan 'Antum' dari pada 'Abdi', 'Urang', 'Simkuring', bahkan 'Aing'. Sehingga dalam percakapan terdengar sangat gado-gado, 'Aana bade netepan heula nya, Antum mau ikut sekalian ?'

Itulah beberapa nilai akulturasi budaya yang kini melekat pada masyarakat di Dusun Cadas. Meski terkesan tidak lagi murni sebagai suatu tatanan masyarakat yang menjung-jung nilai-nilai kesundaan. Namun dalam beberapa praktek berinteraksi, nilai dari tradisi Sunda masih melekat. Seperti ngaliwet yang masih tetap eksis di tengah masyarakat di Dusun Cadas. Yang mana dalam hal ini ngaliwet secara tersirat menjadi antidot atas nilai budaya yang masuk ke Dusun Cadas.

 

* Ngaliwet Upaya Perkuat Keharmonisan

Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa akulturasi nilai kebudayaan pada masyarakat di Dusun Cadas tidak bisa terhindarkan. Mengingat era keterbukaan menuntut setiap individu harus mampu beradaptasi dengan nilai-nilai baru lantas kemudian menyesuaikan dengan lingkungan di sekitarnya.

Secara sederhana ngaliwet merupakan suatu kegiatan makan bersama dengan lauk pauk seadanya. Ngaliwet tentu berbeda dengan botram meski secara umum pada akhirnya makan bersama juga, namun dalam prosesnya sedikit memiliki perbedaan.

Botram atau makan bersama memiliki ciri khas karena individu sebelumnya diharuskan membawa perbekalan masing-masing. Lantas makan bersama di suatu tempat yang telah dijanjikan atau disepakati.

Sedangkan ngaliwet terdapat kesinambungan satu dengan yang lainnya, untuk menjadikan bahan mentah menjadi hidangan siap santap. Maka dalam prosesnya setiap individu memiliki peranan masing-masing, ada yang bertugas membersihkan nasi kemudian menanak nasi di atas tungku, menyiapkan lauk pauk, mengambil daun pisang sebagai alas untuk makanan dihidangkan, dsb.

Melalui ngaliwet itu pula-lah, tercipta sebuah gotong royong demi mencapai sebuah tujuan bersama yakni makan secara bersama dari hasil kerja secara bersama-sama. Dan yang menjadi unik yakni pada prosesi makan. Nasi liwet dan lauk pauk, dihamparkan di atas daun pisang secara memanjang. Kemudian satu sama lain saling berhadapan untuk memulai makan bersama.

Ini merupakan bentuk simbolik dari suasana kebersamaan, saling berbagai serta tercipta nilai kesetaraan. Tidak ada nuansa tinggi dan rendah semua sama, duduk bersila dan memakan hidangan ala kadarnya seperti sambal, ikan asin, tempe, tahu, atau mungkin ayam bakar.

Perlu untuk diingat bahwa kesemua lauk pauk itu secara merata dihamparkan di atas sebuah daun. Inilah yang menjadi ciri khas ngaliwet dalam penyajian suatu hidangan. Yang memiliki suatu makna tersendiri tentang nilai kesundaan yang identik dengan kesetaraan serta upaya mepemperkuat keharmonisan antara teman, tetangga, maupun keluarga itu sendiri.

Oleh karenanya di arus persaingan nilai kebudayaan melalui sebuah tontonan berupa tiktok, youtube, snakvideo, instagram, facebook, dsb. Menciptakan kondisi masyarakat begitu beragam sesuai dengan kecenderungannya itu sendiri.

Itu artinya pengaruh kebudayaan yang tidak bisa dibendung itu, mengharuskan masyarakat satu dengan yang lainnya memiliki tenggang rasa. Untuk berupaya saling memahami bahwa nilai ke-sundaan memang perlahan tergerus oleh nilai lain yang datang atau di bawa ke kampung halamannya.

Maka jalan satu-satunya untuk dapat merekonsiliasi masyarakat demi terciptanya sebuah nilai kebersamaan hanya melalui pendekatan budaya ngaliwet itu sendiri. Dengan ngaliwet sedikit besar mampu menyingkabkan skat-skat di tengah masyarakat, begitu pun sentimentil akibat keberpihakan kepada sebuah fhasion, gaya hidup, keyakinan, atau pun memilih salah satu ideologi politik, dsb.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun