Mohon tunggu...
Rafi  Asamar Ahmad
Rafi Asamar Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

I love mom

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Upaya Perkuat Keharmonisan, Melalui Pendekatan Budaya 'Ngaliwet'

20 Desember 2024   04:40 Diperbarui: 20 Desember 2024   04:40 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengingat nilai kebudayaan dari luar tidak bisa dibendung lagi di era penuh keterbukaan ini. Sehingga tidak lagi nampak individu yang murni hasil dari implementasi nilai-nilai ke-sundaan. Apakah itu didengar melalui tutur kata, maupun atribut yang melekat pada setiap individunya.

Maka nampak jelas bahwa masyarakat di Dusun Cadas untuk sekarang ini adalah masyarakat yang telah terdistorsi nilai kebudayaan dari luar. Lebih tepatnya akulturasi nilai kebudayaan lalu perlahan menjadi suatu tatanan masyarakat yang beranjak dari peralatan tradisional menuju modernisasi.

Maka bisa dirasakan sebagaimana telah disebutkan bahwa bertutur kata, kemudian bentuk bangunan, stail rambut, fashion, maupun seuatu kebiasaan yang saat ini tengah tren. Kesemua itu merupakan bentuk kongkrit dari masyarakat di Dusun Cadas bukan lagi masyarakat yang murni implementasi dari nilai-nilai ke-sundaan.

Sebagai sebuah contoh lain, anak gadis di Dusun Cadas akan lebih suka menggunakan celana jeans dari pada samping. Menurutnya menggunakan celana jeanns itu keren, sedangkan menggunakan samping sebagai pelengkap berpakaian menggantikan celana telah ketinggalan zaman.

Pola pikir demikian secara tidak sadar telah membentuk perspektif bahwa budaya Barat dengan celana jeans-nya itu adalah keren. Sedangkan samping yang senantiasa dikenakan oleh nenek moyang, cara berpakaian demikian itu telah dianggap kuno dan ketinggalan zaman.

Benar saja, nyaris tidak ada satu remaja perempuan di Dusun Cadas yang berupaya mengenakan samping di luar rumah sebagai sebuah fhasion yang dibanggakan. Bisa jadi tidak menggunakan samping karena tidak mengetahui cara mengenakannya. Atau justru terselip harga diri akan jatuh di mata umum jika mengenakan samping itu sendiri. Dalam arti lebih spesifik yakni gengsi.

Tidak hanya itu penggunaan kopiah pun merupakan suatu hal yang terkesan sakral. Padahal orang Sunda telah terbiasa dengan ikat Sundanya. Bukan-kah keduanya berfungsi sebagai penutup kepala ? Akan tetapi mengapa jika pergi ke mesjid harus ber-kopiah, tidakkah menggunakan ikat Sunda sama saja. Mungkin ini akan menjadi perdebatan cukup sengit hanya perkara penutup kepala.

Sedangkan di ranah infrastuktur misalnya, model rumah orang Sunda itu berdinding anyaman bambu serta panggung. Kini model rumah seperti itu dianggap bukan rumah layak huni. Padahal selama orang tersebut yang tinggal di dalam rumah itu tertidur dengan pulas. Itu artinya rumah tersebut nyaman dan layak huni.

Konotasi yang meng-diskreditkan itu perlahan menggeser nilai budaya. Lantas menciptakan sebuah perspektif dalam benak masyarakat bahwa 'rumah bilik dan panggung itu miskin dan hina'. Pola seperti ini sebenarnya tengah menggiring masyarakat untuk lebih konsumtif yakni bergantung pada hasil produk pihak lain. Pembelian semen, pasir, batu bata, sedangkan jika hanya menggunakan anyaman bambu, bambu bisa diproduksi sendiri dengan menanamnya.

Dalam tatacara makan pun perlahan mulai bergeser, orang Sunda terbiasa menggunakan tangan kosong untuk makan. Namun kebiasaan tersebut dianggap jorok semenjak kehadiran sendok dan garpu. Pada mulanya sendok dan garpu berasal dari Mesir akan tetapi semenjak ada aturan tatacara makan atau tabel manners ala Eropa, menciptakan sebuah kesan bahwa makan tanpa sendok dan garpu berasa tidak elegan dan terkesan jorok.

Nyatanya dalam penggunaan bahasa pun sebagian cenderung lebih menyukai menggunakan kata 'Aana' dan 'Antum' dari pada 'Abdi', 'Urang', 'Simkuring', bahkan 'Aing'. Sehingga dalam percakapan terdengar sangat gado-gado, 'Aana bade netepan heula nya, Antum mau ikut sekalian ?'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun