Mohon tunggu...
Mohamad Asruchin
Mohamad Asruchin Mohon Tunggu... -

Pemerhati masalah sosial-politik, \r\ntinggal di Bekasi, Jawa Barat - Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Honour Killing" di Pakistan

9 Januari 2018   18:07 Diperbarui: 9 Januari 2018   18:18 1442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan Agustus 1998 di Larkana, Provinsi Sindh, seorang wanita bernama Zarina dan kekasihnya Suleiman ditembak mati oleh saudara lelaki Zarina. Bulan Mei 1999 peristiwa serupa menimpa pasangan suami-istri Abdul Ghaffar dan Shabana Bibi diseret keluar dari kantor Pengadilan Tinggi Punjab oleh keluarga Shabana dan setelah itu dikabarkan hilang. Masih di tahun 1999, berturut-turut pada bulan Januari dan Maret, dua orang gadis dihilangkan nyawanya dengan ditembak dan bahkan satunya dihabisi secara sadis dengan cara dibakar. Salah satu gadis harus dijatuhi hukuman mati oleh dewan tetua adat justru setelah dia menjadi korban perkosaan oleh pemimpin masyarakat dimana dia tinggal.  

Honour Killing,suatu tradisi masyarakat patriarkal yang menurut standar kemanusiaan justru tidak terhormat dan sangat memprihatinkan ini selalu mendapat perhatian luas baik masyarakat lokal maupun dunia internasional. Beberapa film dokumenter yang berhasil mendokumentasikan peristiwa-peristiwa tragis honour killing berhasil mendapatkan penghargaan film terbaik. Melalui film dokumenter Banaz: A Love Story, Deeyah Khan mendapatkan piala Emmy. Sedangkan Sharmeen Obaid-Chinoy bahkan dua kali mendapatkan Academy Awards berturut-turut melalui film dokumenter Saving Face (2012) dan A Girl in the River :The Price of Forgiveness(2015).

Film A Girl in the River telah mengangkat kisah nyata upaya pembunuhan seorang wanita muda Saba Qaiser (19 tahun) dari Gujranwala Provinsi Punjab karena menikah dengan lelaki pilihannya sendiri tanpa persetujuan keluarganya. Ayah Saba Qaiser yang melakukan penembakan terhadap putrinya sendiri bersikukuh bahwa apa yang telah dilakukannya adalah benar sehingga masyarakat memberi penghargaan tinggi kepadanya. Yang tidak kalah menghebohkan adalah pembunuhan seorang model dan bintang media sosial dari Multan, Punjab bernama Qandeel Baloch pada bulan Juli 2016 oleh saudara lelakinya karena dianggap bersikap di luar tradisi komunitasnya yang masih meyakini bahwa "perempuan dilahirkan untuk tinggal di rumah dan hanya patuh pada tradisi".

Komisi HAM Pakistan serta LSM lokal untuk perlindungan wanita Aurat Foundation mencatat sekitar 1000 wanita di Pakistan terbunuh dalam tradisi 'honour killing'dari sekitar 5000 angka korban kematian dengan alasan serupa di seantero dunia. Masyarakat di Pakistan nampaknya terbentuk berdasarkan pemikiran yang diskriminatif terhadap perempuan (deep-rooted gender bias). Dalam male dominated country seperti Pakistan, kaum wanita hanya ditempatkan sebagai alat produksi keturunan, properti, komoditi dan lambang kehormatan pria. Orang tua mengatur jodoh anak-anaknya (arranged marriage) biasanya dengan sanak-saudara terdekat sehingga harta keluarga besar tidak pindah ke tangan keluarga lain, atau sebagai upaya menyelesaikan konflik antar suku maupun kelompok.

Sejumlah kasus honour killing di Pakistan yang telah mendapatkan publikasi luas tingkat nasional maupun internasional, terutama setelah kisah-kisah tragis yang menjadi headline media internasional dan sekaligus memancing kemarahan dunia, telah mendorong pemerintah PM Nawaz Sharif bersama parlemen Pakistan pada Oktober 2016 mengesahkan undang-undang anti karo-kari dengan ancaman hukuman 25 tahun penjara hingga hukuman mati bagi pelaku honour killing. Namun hukum tersebut belum terbukti efektif karena masih kuatnya tradisi kesukuan yang menganggap kasus karo-kari sebagai perbuatan untuk menegakkan kehormatan keluarga.

Masih maraknya dipraktekkan karo-kari di wilayah suku-suku (tribal area) di dekat perbatasan Afghanistan maupun pada masyarakat feodal tuan tanah di daerah pedalaman Provinsi Punjab dan Sind tidak lain merupakan pemuas ego dan ambisi para tetua adat untuk mempertahankan superioritasnya sebagai pemimpin informal di hadapan komunitas/kelompok mereka masing-masing dengan mencari pembenaran pada berbagai alasan termasuk demi mempertahankan budaya ataupun menjalankan ajaran agama. Para penegak hukum (polisi dan jaksa) yang bertugas di wilayah tersebut cenderung mengabaikan kasus terkait karo-kari(honour killing) karena menganggapnya sebagai urusan keluarga.

Banyak kasus karo-kari tidak pernah diproses secara hukum karena dianggap sebagai masalah internal keluarga, apalagi pembunuhan karo-kari sering dilaporkan sebagai kasus bunuh diri atau kecelakaan. Dalam sistem perundangan di Pakistan juga masih ada celah bagi pelaku karo-kari untuk lolos dari jeratan hukum dengan cara membayar diyat (uang kompensasi) dan keluarga korban bersedia memaafkan pelaku. Pemerintah harus tegas dan konsisten menjebloskan pelaku honour killing ke dalam penjara sebagai tindakan deterrence dan penegasan bahwa perbuatan tersebut adalah kriminal. Pada saat bersamaan tingkat pendidikan serta perekonomian masyarakat perlu terus mendapatkan perbaikan.

                                                                                           

Bekasi,  Januari  2018

                                    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun