Mohon tunggu...
Mohamad Asruchin
Mohamad Asruchin Mohon Tunggu... -

Pemerhati masalah sosial-politik, \r\ntinggal di Bekasi, Jawa Barat - Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konfusianisme, Sumber Peradaban Tiongkok

15 Oktober 2017   21:47 Diperbarui: 15 Oktober 2017   21:55 8569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah lebih satu abad ajaran Konfusius dilarang terhitung sejak Revolusi 1911, dan bahkan di bawah rezim komunis Mao Zedong dihujat dipersalahkan sebagai penghambat kemajuan. Kini ketika Tiongkok sudah membuka pintu ke dunia luar, melakukan liberalisasi di bidang industri-pertanian, dan mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat, permasalahan lain timbul, yaitu pemerataan pendapatan dan keadilan sosial yang berdampak pada meningkatnya tindak kriminalitas di berbagai lapisan masyarakat.

Dalam mengatasi permasalahan sosial-ekonomi di dalam negeri yang makin kompleks serta perlunya legitimasi dalam menghadapi persaingan di dunia global, pemimpin dan masyarakat Tiongkok memilih kembali ke ajaran Konfusius. Keseimbangan hidup, keadilan, rasa malu, hormat kepada orang tua, bertindak sesuai dengan posisi dan statusnya masing-masing, serta adab tingkah laku yang sesuai aturan sebagaimana diajarkan Konfusius diharapkan mampu meningkatkan partisipasi rakyat dalam mengatur lingkungannya. Ajaran Konfusius yang telah bertahan selama 2500 tahun sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Tiongkok. Konfusianisme juga sudah menjadi trademarkdan identitas bangsa Tiongkok yang telah dikenal di dunia internasional.

Presiden Tiongkok Xi Jinping dan jajarannya melihat ajaran Konfusius yang sudah membentuk kebudayaan dan peradaban Tiongkok lebih cocok untuk menyelesaikan masalah di dalam maupun dalam membentengi negara dari pengaruh paham serta budaya Barat terutama masalah Hak Azasi Manusia, sistem demokrasi dan kebebasan berpendapat & berserikat, yang bisa mengancam monopoli kekuasaan PKC.

Pada konferensi mengenai Konfusianisme yang untuk pertama kalinya diselenggarakan di Balai Agung Rakyat, Beijing pada tahun 2014, Xi Jinping menggarisbawahi penyelesaian problem di Tiongkok dengan menggunakan kearifan lokal, sesuai dengan tradisi dan budaya Tiongkok yang terkandung dalam ajaran Konfusius. Pengakuan pemerintah tentang pentingnya kembali ke Konfusianisme, telah mendorong banyaknya bermunculan sekolah-sekolah khusus yang mempelajari kitab-kitab ajaran Konfusius. Pusatnya berada di tempat kelahiran Konfusius di kota Qufu, Provinsi Shandong.

Bangunan yang menjadi pusat pemujaan dan pengajaran Konfusius di Qufu telah ditetapkan UNESCO sebagai World Heritage Site(Peninggalan Sejarah Dunia). Sejumlah istilah yang digunakan untuk menamai sekolah-sekolah Konfusius antara lain: Rujia (School of the Scholars), Rujiao (Teaching of the Scholars), Ruxue (Scholarly Study), dan Kongjiao (Teaching of Confusius).

Sebagai sarana diplomasi ke luar, pemerintah Tiongkok membentuk lembaga bernama Confucius Institute (Kongzi Xueyuan) yang merupakan Lembaga Kebudayaan di bawah Kementerian Pendidikan Pemerintah Tiongkok bertujuan untuk mempromosikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok ke seluruh dunia - mirip misi yang diemban oleh lembaga kebudayaan dari negara-negara lain seperti British Council Inggris, LIA Amerika Serikat, Alliance Francaise Perancis, Goethe Institut Jerman, Erasmus HuisBelanda, Instituto Cervantes Spanyol, Societa Dante Alighieri Italia, dll.

Sejak diluncurkan pada tahun 2004, Hanban (Hanyu Bangongsi) -- kantor pengelolanya telah membuka tidak kurang dari 480 Confucius Institute di sejumlah negara di benua Amerika, Eropa, Asia, Afrika dan Australia. Ditargetkan pada tahun 2020, jumlah Confusius Institutedi dunia akan tembus menjadi 1000 buah, dengan pelajar/mahasiswa yang berminat belajar bahasa Mandarin(Guo-yi) mencapai angka di sekitar 200 juta -- menggeser peminat bahasa Inggris. Di Indonesia sampai saat ini sudah ada 6 (enam) Confucius Institute menyebar di berbagai kota. Untuk ibukota Jakarta berpusat di kampus UAI (Universitas Al-Azhar Indonesia), dengan nama PBM (Pusat Bahasa Mandarin).

Berbeda dengan lembaga-lembaga kebudayaan negara lain yang kegiatannya berada di gedung Embassy-nya atau bangunan tersendiri, Confusius Institute melakukan kegiatannya di dalam gedung kampus universitas tuan rumah yang mejadi counterpart-nya. Hal ini menimbulkan keprihatinan dari sejumlah pihak bahwa lembaga Confusius Institute bisa digunakan untuk mempengaruhi kebebasan akademik di universitas mitranya, dan bahkan muncul kecurigaan kemungkinan melakukan kegiatan spionase industri atau bidang-bidang strategis lainnya.

Kekhawatiran mereka diperkuat dengan adanya pernyataan seorang petinggi Politbiro PKC Li Changchun yang membidangi propaganda dan media-massa bahwa "Confucius Institute adalah bagian terpenting dari propaganda Tiongkok di luar negeri".

Banyak cendekiawan Barat menunjuk pernyataan Li tersebut sebagai bukti bahwa program-program Confucius Institutemerupakan pelaksanaan dari kebijakan Soft Power Tiongkok untuk mencapai target di bidang ekonomi, budaya, diplomasi melalui kerjasama bahasa dan budaya, serta tidak tertutup kemungkinan sebagai alat pengumpulan informasi intelijen. Namun Profesor Michael Nylan, ahli Sejarah Tiongkok dari Berkeley menyatakan bahwa Confucius Institute sudah belajar dari langkah-langkahnya yang keliru di masa lalu.

Bekasi, 15 Oktober 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun