“Sudah jangan menangis.” Kata Rian padaku.
“Aku sudah tidak bisa menahannya lagi Rian! Teman kita satu per satu terbunuh dan mungkin korban selanjutnya adalah kau atau mungkin diriku sendiri! Bagaimana bisa aku tidak menangis jika membayangkannya!” balasku kepada Rian dengan nada yang sedikit tinggi.
“Tidak ada yang tau siapa yang akan menjadi korban selanjutnya.” Ucap Rian dengan nada tenangnya. “Lantas jika memang korban selanjutnya aku ataupun kau, apa yang bisa kita lakukan?” sambungnya lagi.
Aku hanya tidak percaya mengapa ia bisa setenang itu. “Apa jangan-jangan kau yang membunuh mereka!?” ujarku dengan tatapan mengintimidasi, masih dengan jejak air mataku yang belum kering.
“Heiii bagaimana bisa kau berkata seperti itu? Apakah wajahku terlihat seperti seorang pembunuh?” kata Rian dengan matanya yang melotot mungkin tidak menyangka aku akan berkata seperti itu.
“Dengan kau tenang seperti ini setelah 4 teman kita tewas terbunuh itu cukup meyakinkan!” ujarku lagi.
“Lantas apakah aku juga harus menangis sambil memecahkan barang yang ada di sekitar sini supaya kau percaya bukan aku pembunuhnya?” kata Rian sambil menatapku tajam. “Atau mungkin kau pembunuhnya?” sambung Rian dengan tatapan mengintimidasi.
“Yakk apa-apaan kau ini! Bagaimana bisa kau menuduhku sebagai pembunuhnya? Apa kau pernah melihat gerak-gerik mencurigakan dariku? Ku tidak bisa membuat kesimpulan yang tidak ada buktinya!” jawabku panjang lebar.
“Yah, begitu pula denganmu. Kau tidak bisa membuat kesimpulan tanpa memiliki bukti yang masuk akal.” Balas Rian.
“Taa-“Sudah-sudah, kenapa kita malah saling menyalahkan? Bukankah itu mustahil jika kau membunuh teman dekatmu sendiri dengan cara seperti seorang pengcut?” ujar Rian memotong perkataanku.
“Lebih baik kita membawa mayat Bimo ke gudang belakang lalu sesuai rencana kita semalam, kita harus mencari mayat Wenni di dalam hutan.” Sambung Rian lagi. Aku pun hanya mengangguk. Aku dan Rian pun mengangkat mayat Bimo untuk dibawa ke gudang belakang.