Mohon tunggu...
Asri Nur Aini
Asri Nur Aini Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Indonesia yang dideskripsikan di cahayamatadanhati.wordpress.com hm.. alhamdulillah, hidup itu indah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Banjir, Souvenir Masa Depan?

29 Januari 2010   09:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:11 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Manusia memiliki akal untuk dapat memprediksi masa depan dengan mempelajari gejala yang terjadi saat ini. Ketika menemukan ancaman, maka sikap bijak yang diambil adalah melakukan strategi agar terhindar dari bahaya ancaman tersebut. Bencana banjir ibarat “bintang tamu” yang selalu dibayarkan APBD karena rutin hadir dalam acara tahunan Jakarta. Padahal banjir lebih dari ancaman, besar kemungkinan ia datang dengan bahaya yang lebih mengerikan. Dan disinilah kita akan  bicara mengenai kekuatan alam.

Pada tahun 2007 terdapat 99 lokasi genangan banjir. Berikutnya, Jakarta diterjang banjir akibat air laut teluk Jakarta yang menyebabkan terputusnya jalur tol menuju bandara. Pada tahun ini, jumlahnya bertambah menjadi 169 genangan karena drainase buruk.

Kita bisa membayangkan, dalam waktu yang bersamaan hujan datang di saat 144 situ dalam kondisi rusak dan 49 sedang mengalami perbaikan. Tidak dapat dicegah lagi, banjir akan hadir untuk ke 351 kalinya terhitung sejak jaman kolonial.

Masih lekat di ingatan, tragedi Situ Gintung yang muncul tiba-tiba seperti tsunami yang menghantam dari darat. Tak terduga jumlah kerugian material yang diderita. Musibah semacam ini ibarat bom yang akan meledak sewaktu-waktu, jika kerusakan alam dibiarkan tanpa perbaikan. Bencana yang sangat mungkin menenggelamkan ribuan rumah, ternak, properti, lahan pertanian, melumpuhkan industri, listrik, komunikasi. Ironisnya, jumlah kerugian ditambah anggaran bantuan  bencana  bisa digunakan untuk pembuatan kanal baru.

Agaknya, memang alam sedang bermasalah dengan manusia. Ada alam, dan manusia. Alam berkehendak sebagaimana cara manusia memperlakukannya. Keunikannya, ia memiliki konsistensi. Perlakuan baik terhadapnya, maka  alam akan membantu manusia. Berbeda dengan manusia, diperlakukan baik belum tentu balas jasanya sepadan.

Manusia hasil didikan sistem buruk ibarat anak kecil yang menganggap mainan mobil yang di tangannya itu dapat dipermainkan sekehendak hati menurut persepsi dirinya.  Ketika baterai mobil mainannya mati, ia tetap memaksa agar tetap jalan, entah didorong atau diseret. Tapi, tingkah lakunya itu menimbulkan kerusakan pada mobil mainan, karena putusnya kabel yang menjadi penghubung roda ke pusat penggeraknya. Akhirnya, mobil rusak dan tidak lagi dapat berjalan dengan tenaga baterainya.

Tampaknya, keadaan situ  dan 13 aliran sungai di Jakarta sebagaimana ilustrasi diatas. Kita bisa bertanya, berapa tahun lagi jatah usia Jakarta. Melihat baterai yang dimiliki nyaris kehilangan fungsinya. Jika alam sudah Dispereert, atau putus asa dalam bahasa Belanda, maka ia tidak bisa menunda kemarahannya.

Kita sudah mempercayakan kepada pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Yakni Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri, Bappenas, dan BPN. Kemudian pemerintah provinsi dan kota.  Tampaknya, belum ada fokus yang seragam, padahal kekuatan yang dihimpun dinilai sudah mampu memecahkan masalah banjir.

Mungkin kita bisa ambil contoh, Kuala Lumpur, ibukota Malaysia yang terpukul dengan bencana banjir terburuk pada tahun 2003. Sejak saat itu, pemerintah Malaysia memberi perhatian khusus terhadap masalah ini. Departemen of Irigasi and Drainage (DID) Malaysia memutar otak dengan menggali teknologi termutakhir penerapan penanggulangan banjir. Akhirnya dibangunlah terowongan dengan sistem Smart (Storm Management and Road Tunnel). Semua bekerja. Kuala Lumpur bebas banjir. Proyek tersebut pun dianggap paling spektakuler se Asia. Hal tersebut adalah hasil dari kerja fokus dan sinergis.

Ketika ada keluhan  menangani pemukiman kumuh di sekitar bantaran sungai, maka kita bisa ambil contoh kebijakan yang diambil walikota Solo. Pemukiman di sepanjang kali dimundurkan, dan di pinggir sungai dibuat jalan inspeksi. Perumahan itu kemudian dilegalkan melalui pemberian surat-surat resmi. Masyarakat diberikan subsidi untuk memperbaiki rumah dan fasilitas sanitasi mereka. Upaya tersebut melalui pendekatan personal dan dialog dari pemerintah kota dengan masyarakat. Solo sukses dalam menangani pemukiman kumuh dan mendapat apresiasi pada peringatan Hari Habitat Dunia 2009.

Apabila dana yang menjadi masalah pula, diketahui Bank Dunia hendak memberikan bantuan 1,3 trilyun rupiah untuk pengerukan sungai. Tampaknya, kini sudah jelas bahwa ibukota sangat mampu mengatasi permasalahan banjir.

Singkat cerita, Jakarta masih terancam banjir. Melihat kondisi yang ada sekarang bukan tidak mungkin akan terjadi bencana lebih buruk. Hal tersebut mendatangkan kerugian fisik dan non-fisik yang sangat besar. Kita pun tidak ingin mendapat banjir bandang seperti Kuala Lumpur yang pernah melumpuhkan hampir seluruh aktivitas kota. Kita cukup mengambil teladan akan penyelesaian masalah secara fokus. Berapa jatah usia Jakarta ke depan, kita bisa memprediksi. Seandainya langkah yang diambil sama, yakni mendorong, menyeret, “mobil mainan” berupa alam dengan  memperlakukan tidak sebagaimana mestinya, maka bisa ditebak yang terjadi selanjutnya. Maka, tidak bisa tidak, mari kita adakan perbaikan sebelum terlambat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun