Mohon tunggu...
Asri Ismail
Asri Ismail Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) angkatan 09. Saat ini,bergabung di lembaga kuli tinta, LPPM PROFESI UNM.Selain itu, juga menjabat sebagai ketua Umum di HIMAPRODI PBSI FBS UNM 2011-2012 My Blog : http://www.asriismail.com/ Media Online : http://kataindonews.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ayah (Sebuah Gejala Kebahasaan)

31 Agustus 2015   23:31 Diperbarui: 31 Agustus 2015   23:31 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena kebahasaan seperti ini sebenarnya bukan pertama kalinya terjadi di Makassar. Sebelumnya muncul kata “anjing”, “sundala”, dan “kakak”. Kata-kata umpatan itu juga berimplikasi positif. Tidak lagi seperti makna semula. Semisal kata “Sundala” yang digunakan dalam kalimat, Sundala, cantiknya ini cewek. Morfem sundala disini dimaknai sebagai sesuatu rasa kagum atau pujian. Begitupun dengan kata Ayah, hanya saja justru kata ini mengalami perubahan makna ke arah yang negatif.

Kajian Sosiolinguistik yang mengkaji tentang bahasa, masyarakat, dan budaya. Memandang bahwa ketiga kompenen tersebut memiliki peran dalam membentuk munculnya istilah-istilah baru. Pandangan Ferdinand de Saussure (1916) salah satu tokoh linguistik modern menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya telah memberi isyarat akan pentingnya perhatian terhadap dimensi sosial bahasa.

Peran pemuda atau remaja sebagai penutur aktif dalam lingkup sosial sangat menentukan hadirnya kosakata yang mengalami perluasan makna dengan memilih diksi yang coba diasosiasikan dengan keadaan sosial. Terkait peristiwa sosial yang aktual, terutama di Makassar. Dalam beberapa bulan terakhir, maraknya aksi geng motor yang terjadi, membuat para nitizen tak ingin ketinggalan dalam mengulas, terutama dalam membuatkan meme.

Hampir semua foto ataupun ilustrasi yang dipublis berupa kiritikan konstuktif tentang bagaimana membasmi geng motor. Gejala-gejala kebahasaan ini sangat penting untuk diperhatikan masyarakat, tidak hanya ikut menjadi “konsumen” yang memakan apa saja kata-kata baru yang dinilai terkenal dan enak kedengaran. Terakhir, setelah munculnya kata-kata Ayah, sekarang disusul lagi dengan adanya kalimat pelesetan baru, yakni “Di situ kadang saya merasa sedih” sebenarnya kalimat ini, kalau dianalisis berperan sebagai akibat dari apa yang terjadi. Misalnya kalimat sebab-akibat berikut, “Ketika melihat teman-teman wisuda, di situ kadang saya merasa sedih”.

Lahirnya berbagai istilah-istilah baru, tentu tidak lepas dari hegemoni sosial media yang menjamur. Masyarakat cenderung menjadikan tolok ukur jejaring sosial sebagai wadah hadirnya beragam jenis istilah yang menarik jika diaplikasikan dalam percakapan sehari-hari. Terlepas dari tepat atau tidaknya penggunaan istilah dalam suatu masyarakat,  hal ini membuktikan bahwa bahasa sebagai suatu yang dinamis mengikuti perkembangan yang ada. Selain itu, ini juga menjadi ajang permainan bahasa oleh masyarakat berkembang.

Pernah terbit di Koran Harian Tribun Timur (Makassar)[caption caption="Ilustasi (Foto: kompas.com)"]

[/caption]

 *Asri Ismail

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun