Mohon tunggu...
ASRA TILLAH
ASRA TILLAH Mohon Tunggu... Dosen - Saya adalah Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah SulSel. dan direktur lembaga riset Profetik Institute

Saya adalah Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah SulSel. dan direktur lembaga riset Profetik Institute

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Faqih dan yang Tak Berhingga

21 Oktober 2021   23:24 Diperbarui: 22 Oktober 2021   00:06 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan terkadang memang, yang matematis kita identikkan debagai sesuatu yang ideal atau yang semestinya. Dalam dunia teknik misalnya, jika kita ingin mengukur efektivitas dan efisiensi peralatan teknik, maka yang kita lakukan adalah membandingkan efektivitas dan efisiensi hasil observasi dan pengukuran di lapangan dengan efisiensi dan efektivitas secara teoritis. Yang dimaksud secara teoritis adalah, hasil perhitungan dengan menggunakan set formula matematika tertentu.

Bahkan anak ke dua saya yang duduk di kelas 3 SD sekarang, sering mengaitkan jumlah bilangan dengan keteraturan atau keberulangan pola sekait dengan waktu. Semisal pertanyaannya "mengapa dalam setahun mesti 365 hari ?, mengapa dalam sehari mesti 24 jam, dan dalam sebulan mesti 29 atau 30 hari ?", saya paling-paling akan menjawabnya "yah setiap planet punya hitungan hari, bulan dan tahun yang berbeda nak, tergantung ukuran dan jaraknya dari matahari". Namun pertanyaan sederhana Echa tadi berkaitan erat dengan konsep "harmonie" dari Phytagoras (570-495 SM), bahwa bentuk dan kerja semesta senantiasa mengikuti pola-pola bilangan tertentu, mirip dengan pola-pola bilangan nada yang membentuk musik. Yah seakan-akan pikiran manusia, bilangan, musik dan kinerja alam semesta bersama-sama berpartisipasi dalam konser "harmonie" yang sama.

Namun akan berbeda lagi jika kita menggunakan jalan pikiran realisme dalam memandang matematika, entitas dalam matematika bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri secara ontologis, dan bukanlah sesuatu yang apriori secara epistemologis. Sebagaimana Aristoteles (384-322 SM), Bold T (2004) menganggap bahwa matematika merupakan hasil dari kemampuan manusia dalam melakukan abstraksi. 

Jika menurut Plato, bilangan-bilangan pada pikiran Faqih adalah sesuatu yang mendahului pengalamnnya dalam menghitung benda, realisme justru menganggap bahwa bilangan-bilangan yang digandrungi Faqih adalah buah dari kemampuan abstraksi pikirannya. Yang mungkin apriori pada Faqih adalah kemampuannya dalam berhitung, tetapi sistem bilangan yang dia gunakan merupakan hasil interaksi Faqih dengan benda-benda disekitarnya dan kebudayaan setempat.

Poldnies, K (1992), menjelaskan dengan cukup bagus, bahwa angka-angka atau matematika secara umum, berawal dari koleksi benda-benda yang sederhana. Namun lama kelamaan terjadi semacam idealisasi hubungan kuantitas antar benda-benda yang bisa dihitung. Saat masyarakat masih sederhana, dimana jumlah komunitas, profesi, hewan peliharaan, penyakit, barang, senjata belum begitu besar, maka operasi perhitungan sederhana sudah cukup. 

Tapi seiring semakin kompleksnya masyarakat, kebutuhan untuk menghitung stok dan distribusi pangan  dengan tepat nan efisien, pembuatan gedung tinggi dengan simetri, merancang saluran irigasi dengan tepat, semakin menuntut manusia melakukan operasi perhitungan matematis yang semakin rumit. Bak bilangan biner pada teknologi komputasi yang awalnya sangat sederhana, tapi semakin lama semakin menyerupai kecerdasan manusia dan semakin terlihat otonom dari pengalaman dan kehendak manusia yang membuatnya, mungkin begitu pula matematika yang semakin lama terlihat makin mandiri secara ontologis.

Lalu terbesrsit serangkaian tanya dalam pikiran saya, Jika Faqih lahir dalam sebuah masyarakat yang lebih primitif, di awal-awal spesies Homo Sapiens pertama kali menjelajahi bumi, apakah kira-kira Faqih akan mempertanyakan perihal bilangan seperti yang saya utarakan diawal ?, apakah yang tak berhingga bisa dia pahami ? kalaupun dia bisa pahami, bisa saja dia memahaminya dengan cara yang lebih kualitatif tanpa dimediasi oleh bilangan-bilangan. Atau katakanlah Faqih lahir sebelum angka "0" (nol) ditemukan, kira-kira bagaimana Faqih akan memahami jutaan, milyaran, trilyunan dan ketakberhinggaan ?.

Yah, akhirnya di sini saya tidak dalam rangka menjadi hakim penentu, mana yang lebih tepat dalam memandang matematika, apakah idealisme atau realisme. 

Esai ini hanyalah ekspresi ketakjuban saya terhadap pertanyaan-pertanyaan filosofis nan tidak terduga dari seorang anak kecil. Yah....kita mesti banyak belajar dari keingintahuan anak-anak kecil, yang menjelajah benda-benda dan pikirannya dengan begitu bersemangat nan heroik.

 Mungkin saya sebagai orang tua, cukup menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembaraan pikirannya, dan sebisa mungkin menjadi partnert sparing dalam setiap pertanyaan-pertanyaannya, dan sebisa mungkin tidak menjawabnya dengan ungkapan "yah memang sudah begitu nak" atau "itu sudah kehendak Tuhan". Sebagaimana penguasa culas sering menjawab pertanyaan protes rakyatnya dengan redaksi "yah ini semua untuk kepentingan bangsa dan negara" atau "yah beginilah hukum kita bekerja".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun