Aku seorang karyawan kontrak
tiga bulan lalu saat pandemi bertamu kenegriku
banyak hal yang kami ubah untuk sang tamu spesial
iseng aku keluar rumah mengintip sang tamu yang katanya mengintai semua penjuru negeri
diluar kulihat, beberapa keluar dari mobil dan membagi bagikan bungkusan makanan
beberapa kelompok dengan sepeda motor juga turut melakukan hal yang sama
aku bersyukur dua kali
pertama, tamu spesial ini ternyata menggerakkan hati nurani bangsaku untuk sebuah empati
kedua, walau tak mampu memberi setidaknya jatah untukku cukuplah untuk yang lain
tapi bersyukur dua kali rasanya tak cukup membuat bahagia
hatiku resah, aku bisa apa, apa aku tercipta hanya sebagai penonton
 beberapa waktu aku melintas hendak kerjaÂ
seorang wanita duduk bersama mungkin saja suaminya
pakaiannya lusuh, wajahnya memelas, menegadahkan tagan dengan kantong plastik
setiap pelintas merogohkan recehan dan mengulurkannya
sungguh memalukan, bahkan recehpun tak ada dikantongku
hatiku iba bercampur malu, haru dan syukur dan entahlah
Tuhan kiranya memelihara dan mencukupkan kebutuhan mereka hari ini dan seterusnya
Tuhan berikan kesembuhan dan hati yang selalu bahagia
kataku dalam hati
setelah sebulan aku tak pernah bertemu mereka lagi, hatiku gundah
sudah berkali kali receh yang kupersiapkan tidak sampai tujuan
mungkinkankah pemberianku terlalu kecil
aku bertemu ibu itu lagi, aku menyapa dan bertanya
katanya, terimakasih nak berkat uluran pelintas jalan ini suami saya bisa sembuh dari katarak
beberapa waktu kami tidak mengemis kami sedang melakukan pengobatan
kini dia sudah bisa memulung setidaknya tidak mengemis lagi berdua bersama saya.
hatiku tertegun dan tersindir, apa sebenarnya yang sudah kuberikan sehingga ia berterimakasih setulus itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H