Maka, aneh jika dunia wisata yang jadi alasan tidak ditetapkannya bencana nasional. Karena, itu hanya hitung-hitungan di atas kertas. Asumsi. Tak ada jaminan, tanpa embel-embel status bencana nasional, wisatawan tetap mengalir deras ke Lombok. Pun sebaliknya, adanya status bencana nasional, belum tentu menghentikan arus wisatawan. Toh, informasi soal bencana ini bukan hanya menasional, bahkan mendunia. (Calon) Wisawatan tentu lebih realistis cara berpikirnya.
Jadi, status bencana ini tak ada hubungannya dengan wisata. Ini terkait dengan disiplin aturan. Penetapan status adalah untuk menegakkan pasal dalam undang-undang. Ada lima indikator untuk penetapan status bencana daerah dan bencana nasional, yaitu: (a). Jumlah korban (b). Kerugian harta benda; (c). Kerusakan prasarana dan sarana; (d). Cakupan luas wilayah yang terkena bencana dan (e). Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Memang, tidak dirinci dalam pasal atau ayat-ayatnya. Berapa minimal jumlah korban, kerugian harta, dll. Sebab nilainya tentu relatif. Terkait inflasi, jika ditetapkan besarannya. Namun secara kasat mata, menurut kriteria ini, Lombok layak dijadikan status bencana nasional. Sejauh ini korban jiwa mencapai 548 meninggal (cnnindonesia). Kerugian materi kisaran Rp5,04 triliun. Ada 352.793 pengungsi (kompas.com). Cakupan wilayah juga cukup merata.
Memintal Empati
Satu lagi alasan pemerintah pusat tidak menetapkan Lombok sebagai bencana nasional, yakni karena tidak ada indikasi "kelumpuhan pemerintah daerah" terdampak gempa. Ini bisa ditepis, bila membandingkan dengan bencana nasional lainnya. Letusan Gunung Sinabung, pemerintah daerahnya juga tidak lumpuh. Tapi, statusnya bencana nasional.
Demikian pula pemerintahan Sidoarjo saat Lumpur Lapindo menyembur, masih bisa menjalankan tugas. Tapi, sigap pemerintah pusat mengambil-alih penanganan. Bahkan, kasus Lapindo lebih ironi. Karena, status "bencana alam"-nya saja diperdebatkan, kok malah dinaikkan status jadi "bencana nasional."
Sekali lagi, status bencana ini tidak ada hubungannya dengan wisata. Kaitannya soal penanganan. Dari daerah, ke nasional. Soal mobilisasi bantuan. Dari warga lokal, mencakup nasional. Soal menggerakkan empati bangsa. Dari yang belum peduli, jadi peduli. Dari yang belum membantu, ikut membantu. Dari yang diam, ikut mendoakan. (Walaupun tanpa dikomando, tanpa menunggu status, warga seantero Nusantara sigap telah mengulurkan tangan).
Terpenting, ini soal level kepedulian penguasa. Bukan menuduh pemerintah tidak peduli, toh pemimpin negeri ini sudah menunjukkan batang hidungnya di antara puing-puing reruntuhan. Juga, mengklaim sudah menangani Lombok dengan "standar nasional." Sehingga, mereka bilang tak penting soal status (kalau begitu tak penting puls undang-undang soal status bencana).
Tetapi, ini soal menjaga perasaan warga Lombok dan masyarakat Indonesia. Jangan terkesan tebang pilih dalam penetapan status bencana. Jangan sampai warga Lombok menyimpan ketidak-puasan karena merasa dianak-tirikan perhatiannya. Contohnya, Lapindo yang bukan bencana alam saja dinasionalkan, hingga triliunan rupiah dikucurkan. Warga Nusantara juga berbondong-bondong mengarahkan pusat pandangan ke sana. Sementara Lombok tidak.
Status Islam
Polemik soal status bencana ini, semakin membuka mata. Begitulah aturan buatan manusia. Lemah. Bisa dipelintir suka-suka. Untuk apa ada level-level status bencana, jika penanganannya diklaim sama saja. Kalau begitu hapus saja. Sekalian saja ganti dengan aturan Islam. Karena, Islam memandang setiap bencana di manapun dengan perhatian sama.