Lihat saja. Demi memenangkan pilkada di mana-mana, mereka mengabaikan kader terbaik partainya dan lebih suka memilih sosok terkenal (baca: artis) atau “media darling.” Walaupun kader ini sudah puluhan tahunmengabdi, puluhan tahun menunggu lengsernya “kader tua” (yang enggan lengser-lengser juga, kecuali maut memisahkan nyawa dari raganya), namun kader ini tidak juga diberi kesempatan.
Kader yang tidak sabar atau sakit hati (baca: bangun dari tidurnya), memilih jadi “kutu loncat”. Pindah-pindah parpol daripada terus menunggu. Kader yang setia, pasrah terima nasib. Hanya bisa menanti keajaiban, seraya terus menghibur diri dengan keyakinan penuh bahwa sesepuh parpol telah berbuat yang terbaik. Apalagi jika sesepuh ini diklaim titisan orang hebat yang pernah memimpin negeri ini.
Itulah potret parpol di sistem demokrasi. Syahwat kekuasaan lebih mendominasi dibanding tugas pencerdasan politik, baik bagi kader maupun rakyat kebanyakan. Parpol yang ambisinya begitu membuncah saat pemilu tiba, lalu adem ayem kalau pertarungan selesai. Parpol yang hanya hadir saat pemilu, jadi mesin suara. Lalu kalau sudah menang, lupa daratan dengan rakyat pencoblosnya.
Itu sebabnya citra politik demikian buruk. Politik diidentikkan dengan jalan menuju kekuasaan saja. Politik itu kotor. Penuh intrik. Orang baik jangan berpolitik. Akibatnya, orang-orang baik, cerdas, dan potensial juga enggan terjun ke politik. Takut terkotori. Akibatnya, parpol kesulitan mendapatkan sosok kader terbaiknya. Karena, orang baik ini menjauhi politik.
Apakah parpol seburuk itu? Apakah memang politik harus dijauhi? Jika orang yang baik tidak berpolitik, bukankah hanya memberi kursi bagi orangyang buruk tadi? Paradigma Ini memang harus direvolusi.
Makna politik tidaklah sesempit ketetapan para pakar. Politik bukan sekadar jalan merebut kekuasaan. Politik bukan sekadar urusan parpol yang ikut pemilu. Politik bukan monopoli sistem demokrasi. Bagi umat Islam, harus menyadari bahwa Islam juga mengatur politik. Kok bisa?
Sejarah pemerintahan Islam terbentang luas di buku-buku klasik, menunjukkan bahwa Islam itu ideologi yang harus diterapkan secara politik. Ada masa kekhilafahan. Ada masa Abbasiyah, Ummayah, dan seterusnya. Itu kan politik.
Maka, dewasa ini, ada organisasi dakwah, baik menyebut ormas atau orpolyang melakukan upaya pencerdasan umat. Aktivitas mereka peduli dan mengurusi umat, baik dari kebutuhan fisik, spiritual maupun pemikiran, memang tidak dipandang sebagai aktivitas politikoleh kebanyakan. Tapi hakikatnya mereka telah melakukan aktivitas politik.
Mereka bekerja keras siang dan malam membuat rakyat melek makna politik yang sebenarnya. Yakni, bagaimana seharusnya tugas penguasa dan bagaimana posisi rakyat dalam mengawal kebijakan. Maka tak heran bila 10-20 tahun belakangan ini, muncul ormas-ormas yang berani mengkritik kebijakan penguasa. Berani bersuara vokal merespons kebijakan. Itu hakikatnya aktivitas politik. Karena politik tak bisa diabaikan dari kehidupan.
Organisasi seperti ini juga bekerja keras, terus menerus, menyiapkan kader-kader pemimpin terbaiknya. Tanyakan saja pada mereka, pasti mereka tidak kekurangan kandidat. Bahkan, mungkin mereka akan bingung memilih kader-kader terbaik di antara kader-kader yang baik.
Bukan “media darling” mungkin, walaupun yang terkenal juga banyak. Tapi, kader ini disiapkan untuk memerintah berdasar sistem Islam. Bukan sistem demokrasi yang sudah pasti hanya akan dimenangkan “orang pesanan.”