Mohon tunggu...
asri supatmiati
asri supatmiati Mohon Tunggu... Editor - Penuli, peminat isu sosial, perempuan dan anak-anak

Jurnalis & kolumnis. Penulis 11 buku, 2 terbit juga di Malaysia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kejutan Politik: Parpol Gagal Fokus #15

4 Oktober 2016   18:19 Diperbarui: 4 Oktober 2016   18:23 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kejutan! Akhirnya tiga pasangan bakal tarung merebut kursi DKI 1: Ahok-Djarot, Anies-Sandiago dan Agus-Sylviana. Jagat politik langsung gonjang-ganjing. Kejutan pertama, lah kok bisa PDIP malah mengusung Ahok yang bukan kader parpol? Apa tidak ada dari sekian ratus kader yang mumpuni? Kenapa bukan Risma misalnya, yang notebene kader PDIP dan sudah cukup lama diisukan akan diboyong ke ibukota? 

Orang internal PDIP sendiri pasti geleng-geleng kepala (walaupun ketika keputusan itu diambil, pasti cuma bisa manthuk-manthuk). Sampai-sampai Ketua DPD PDIP DKI Jakarta Boy Sadikin pilih mundur, karena selama ini vokal anti-Ahok.   

Sayajadi membayangkan, bagaimana perasaan Bu Risma, ya. Gimana kalo nanti malah diajak jadi jurkam Ahok? Padahal berdua ini sering (terlihat) cekcok di media. Maklum, sama-sama “media darling” (bersin aja mungkin diberitain, kok, nih dua tokoh). 

Hmm, mungkin, Bu Mega ingin Bu Risma kelak jadi gubernur Jatim dulu. Nanti, kalo Ahok jadi DKI 1, target 2019 pasti menuju RI 1 gandengan dengan Bu Risma. Nggak perlu kerja keras, kan. Dua “media darling dikawinkan”, mesin parpol tinggal berpangku tangan. Cukup terima kasih pada media. 

Kejutan kedua, Anies dicalonkan oleh Gerindra dan PKS. Padahal waktu pilpres dulu, Pak Anies ini termasuk Jokower. Makanya sempet diganjar kursi menteri pendidikan di kabinet nawacita. Lah, kok sekarang digeret gerbongnya Prabowo? Itulah politik demokrasi! Kawan jadi lawan, lawan jadi kawan. Tak ada idealisme sejati, yang ada kepentingan abadi. 

Kejutan ketiga yang paling bikin penghuni Nusantara shock adalah pengajuan Agus oleh Partai Demokrat. Semua kecele. Karena, paling tidak, kalo mengikuti syahwat “dinasti”, kan mustinya Ibas yang sudah lebih dulu “basah” di parpol. Lah, Agus? Kariernya di TNI, pastinya belum terciprat debu-debu politik. 

Mungkin, biar nanti pada pilpres 2019 juga gak terkesan ujug-ujug, kali. Makanya dimunculkan sekarang. Karena yakin, deh, targetnya bukan DKI 1, tapi RI 1. Jadi, sekarang untuk trialand error, menjaring respons warga DKI dululah. Seberapa penerimaan mereka terhadap pesona anak sulung mantan presiden ini. 

Siapa tahu, dengan citranya di TNI yang cemerlang, lama-lama akan menjadi“media darling”. Sekarang saja, Agus sudah dielu-elukan kaum perempuan. Maksudnya, para netizen centil gagal fokus yang –seperti biasa-- lebih tertarik membahas penampilan artifisialnya dibanding ngomongin politik.

BTW, dari tiga fenomena pencalonan kandidat DKI 1 yang terkesan “asal comot” itu, ada satu yang saya garis bawahi: kegagalan parpol dalam kaderisasi. Menurut pakarnya, Miriam Budiardjo, partai politik adalahsuatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama dengan tujuanmemperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.

Pastinya, untuk melahirkan sosok yang mencapai target “satu visi, satu cita-cita dan satu tujuan” ini, kan butuh proses panjang. Proses pembinaan alias kaderisasi itu. Lah, kalau tiba-tiba asal comot orang di luar parpol, kok rasanya seperti orangtua ngasih warisan ke anak tetangga, sementara anak kandung tidak diberi (tepat nggak sih analogi gini? Hehe...anggap aja ngalor ngidul).

Jadi, parpol itu tugasnya menyiapkan kader yang bisa mengemban ideologi parpol untuk diterapkan jika berkuasa. Kira-kira begitu. Berarti, jika parpol tidak mengajukan kadernya sendiri, berarti parpol telah gagal fokus. Gagal menjalankan fungsi kaderisasi dengan baik. Atau lebih tepatnya, mengabaikan kader-kader terbaiknya demi ambisi kekuasaan.

Lihat saja. Demi memenangkan pilkada di mana-mana, mereka mengabaikan kader terbaik partainya dan lebih suka memilih sosok terkenal (baca: artis) atau “media darling.” Walaupun kader ini sudah puluhan tahunmengabdi, puluhan tahun menunggu lengsernya “kader tua” (yang enggan lengser-lengser juga, kecuali maut memisahkan nyawa dari raganya), namun kader ini tidak juga diberi kesempatan.

Kader yang tidak sabar atau sakit hati (baca: bangun dari tidurnya), memilih jadi “kutu loncat”. Pindah-pindah parpol daripada terus menunggu. Kader yang setia, pasrah terima nasib. Hanya bisa menanti keajaiban, seraya terus menghibur diri dengan keyakinan penuh bahwa sesepuh parpol telah berbuat yang terbaik. Apalagi jika sesepuh ini diklaim titisan orang hebat yang pernah memimpin negeri ini.   

Itulah potret parpol di sistem demokrasi. Syahwat kekuasaan lebih mendominasi dibanding tugas pencerdasan politik, baik bagi kader maupun rakyat kebanyakan. Parpol yang ambisinya begitu membuncah saat pemilu tiba, lalu adem ayem kalau pertarungan selesai. Parpol yang hanya hadir saat pemilu, jadi mesin suara. Lalu kalau sudah menang, lupa daratan dengan rakyat pencoblosnya.

Itu sebabnya citra politik demikian buruk. Politik diidentikkan dengan jalan menuju kekuasaan saja. Politik itu kotor. Penuh intrik. Orang baik jangan berpolitik. Akibatnya, orang-orang baik, cerdas, dan potensial juga enggan terjun ke politik. Takut terkotori. Akibatnya, parpol kesulitan mendapatkan sosok kader terbaiknya. Karena, orang baik ini menjauhi politik. 

Apakah parpol seburuk itu? Apakah memang politik harus dijauhi? Jika orang yang baik tidak berpolitik, bukankah hanya memberi kursi bagi orangyang buruk tadi? Paradigma Ini memang harus direvolusi. 

Makna politik tidaklah sesempit ketetapan para pakar. Politik bukan sekadar jalan merebut kekuasaan. Politik bukan sekadar urusan parpol yang ikut pemilu. Politik bukan monopoli sistem demokrasi. Bagi umat Islam, harus menyadari bahwa Islam juga mengatur politik. Kok bisa? 

Sejarah pemerintahan Islam terbentang luas di buku-buku klasik, menunjukkan bahwa Islam itu ideologi yang harus diterapkan secara politik. Ada masa kekhilafahan. Ada masa Abbasiyah, Ummayah, dan seterusnya. Itu kan politik.

Maka, dewasa ini, ada organisasi dakwah, baik menyebut ormas atau orpolyang melakukan upaya pencerdasan umat. Aktivitas mereka peduli dan mengurusi umat, baik dari kebutuhan fisik, spiritual maupun pemikiran, memang tidak dipandang sebagai aktivitas politikoleh kebanyakan. Tapi hakikatnya mereka telah melakukan aktivitas politik. 

Mereka bekerja keras siang dan malam membuat rakyat melek makna politik yang sebenarnya. Yakni, bagaimana seharusnya tugas penguasa dan bagaimana posisi rakyat dalam mengawal kebijakan. Maka tak heran bila 10-20 tahun belakangan ini, muncul ormas-ormas yang berani mengkritik kebijakan penguasa. Berani bersuara vokal merespons kebijakan. Itu hakikatnya aktivitas politik. Karena politik tak bisa diabaikan dari kehidupan. 

Organisasi seperti ini juga bekerja keras, terus menerus, menyiapkan kader-kader pemimpin terbaiknya. Tanyakan saja pada mereka, pasti mereka tidak kekurangan kandidat. Bahkan, mungkin mereka akan bingung memilih kader-kader terbaik di antara kader-kader yang baik. 

Bukan “media darling” mungkin, walaupun yang terkenal juga banyak. Tapi, kader ini disiapkan untuk memerintah berdasar sistem Islam. Bukan sistem demokrasi yang sudah pasti hanya akan dimenangkan “orang pesanan.” 

Orang-orang terbaik di organisasi politik ini dibina intensif dan terus menerus, agar menjadi sosok yang memiliki visi, misi dan cita-cita yang sama. Mereka memegang teguh ideologi, bukan karena haus kekuasaan. Bahkan. Bukan kursi jabatan tujuannya, tapi kewajiban menerapkan ideologi yang mereka yakini. Ideologi yang mereka emban. Ideologi Islam.

Jadi, politik itu baik, jika dijalankan berdasar ideologi yang benar. Jangan takut berpolitik, karena politik adalah kita. Jangan pula terkejut jika orang baik berpolitik. Ormas Islam berpolitik. Kiai berpolitik. Ustad berpolitik. Karena kalau itu terjadi, justru pertanda baik. Pertanda kader-kader terbaik siap memimpin dengan sistem terbaik. Dan, ini kejutan yang sangat menyenangkan. Kejutan terbaik yang sangat dinantikan.(*)

Bogor,26 September 2016

# BUKAN Ngalor Ngidul edisi 15

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun