Anak Cucu Adam atau Anak Cucu Iblis?
 Â
"Ilaa Arwaah Abaainaa wa ummahaatinaa wa likaaffah al-muslimiin wa al-muslimaat wa al-mu'miniin wa al-mu'minaat al-ahyaa' minhum wa al-amwaat al-faatihah"
Pagi ini, selepas salat subuh, seperti biasanya ayah kami mengajak kami anak-anaknya untuk mengunjungi pusara Guru kami tercinta. Dalam perjalanan menuju pusara yang terletak di kaki gunung cakrabuana, ayah kami membacakan akhir dari surat al-Maidah ayat kedua yang begitu masyhur.
Surat ini mengingatkan kepada kami, bahwa dalam menjalani kehidupan ini, baik dalam keluarga, berbangsa dan bernegara sudah seharusnya untuk saling tolong-menolong dalam hal kebaikan dan ketakwaan, serta tidak diperkenankan untuk saling tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan, lagi-lagi dikarenakan siksa Allah Swt itu sangat pedih dan nyata. Seolah-olah ayah kami sedang menegur kami yang akhir-akhir ini tak henti-hentinya membicarakan dan membesar-besarkan masalah yang memang sedang marak dibicarakan rakyat seantero Indonesia.Â
Ayah kami kemudian melanjutkan perkataannya, wanti-wantinya kepada kami, sifat yang paling membahayakan bagi umat manusia dan seluruh makhluk adalah adanya rasa dan sifat kebencian dalam hati, sifat inilah yang menggiring manusia dan makhluk lainnya berada dalam kesengsaraan yang tiada berujung, kesengsaraan yang tidak hanya merugikan diri sendiri, namun juga dapat merugikan keluarga, tetangga, dan masyarakat bernegara pada umumnya.
Bercerminlah dari kisah Adam as dah Hawa yang diturunkan ke bumi dikarenakan sifat benci yang dimiliki Iblis untuk menjerumuskan mereka kepada kesengsaraan. Bercerminlah pada Adam as, bagaimana ia tidak menyalahkan siapapun atas apa yang menimpa dirinya, tidak menyalahkan Hawa yang tergiur dengan godaan Iblis untuk memakan buah khuldi, tidak pula menyalahkan Iblis yang tak henti-hentinya menggoda mereka. Bercerminlah kepada Adam as, bagaimana ia tak henti-hentinya memohon ampunan dari Allah Swt atas apa yang telah ia perbuat,
Bukankah kita anak cucu Adam as, maka sudah seharusnya kita harus banyak intropeksi dan meperbaiki diri, serta berhenti untuk merasa benar, menyalahkan yang lain dan merasa paling benar, yang demikian adalah sifatnya iblis. Telah tertulis dalam al-Qur'an, bahwa makhluk Allah yang tercipta dengan kesombongan hati yang paling agung adalah Iblis, pada awal penciptaan Adam as, Iblis yang merasa penciptaanya lebih agung dari Adam as tidak berkenan menuruti perintah Allah Swt untuk hormat dan sujud kepada Adam as.
Berbeda dengan para malaikat yang tidak segan-segan menjalanka perintah-Nya. Mengapa demikian? Apa yang dilihat Iblis adalah sosok Adam as secara dlahir, yakni jasad yang hanya terbuat dari tanah, sedangkan Iblis tercipta dari api yang lebih kekal, demikianlah Iblis kemudian menjadi begitu sombong.
Berbeda dengan Iblis, apa yang dilihat para malaikat tidak hanya jasadnya saja, pandangan para malaikat tembus kepada ruh Adam as, sehingga mereka hormat kepada Adam as. Lagi-lagi menganggu hati, siapa sebenarnya diri ini, masih ada rasa benci dalam hati, anak cucu Adam kah, atau justru jasad saja yang serupa Adam as, namun sejatinya kita ini Iblis.
Sudah diketahui khalayak umum, objek godaan Iblis ialah siapa saja yang mungkin dapat diajak dan dijerumuskan untuk tinggal bersama-sama ke neraka. Tidak hanya manusia, seperti Jin mukmin pun tidak terlepas dari sasarannya. Bertambah tipis keimanan manusia dan jin, maka bertambah banyak peluang iblis untuk mendapatkan pengikut.
Tak terasa perjalanan kami menuju pusara telah sampai, kemudian kami mengucap salam kepada para Guru dan dilanjut dengan membaca tahlil. Aku terhenti sampai pada hadiah fatihah yang terakhir "Ilaa Arwaah Abaainaa wa ummahaatinaa wa likaaffah al-muslimiin wa al-muslimaat wa al-mu'miniin wa al-mu'minaat al-ahyaa' minhum wa al-amwaat al-faatihah," alangkah munafiknya diri ini, dihadapan-Nya ku selalu mendoakan kepada saudar-saudaraku, tak hanya mereka yang sesama muslim, namun mereka yang juga mengimani-Nya. Namun apa yang ku perbuat selama ini? Aku bahkan berani berdusta dengan-Nya, bahkan setiap waktu ketika ku memanjatkan doa pada-Nya.
Terkadang menjadi pertanyaan, mengapa doa yang dipanjatkan, seolah-olah tak kunjung mendapatkan jawaban, salah satunya karena semua ritual tersebut hanya kita jalankan tanpa menghayati dan memahami apa yang terkandung di dalamnya. Menjalankan salat agar menggugurkan kewajiban, bacaan yang dibaca pun hanya cukup memenuhi rukunnya, jika demikian, bagaimana semua ibadah tersebut dapat menghasilkan apa yang menjadi tujuan?
Suatu ilmu dapat bermanfaat apabila ilmu tersebut diamalkan, baik kepada diri sendiri maupun khalayak umum. Harus ada keseimbangan antara keduanya, ilmu itu tak akan manfaat jika tak dibarengi dengan amal, dan amal tak kan sempurna jika tidak didasari dengan ilmu. Dalam ranah Tasawuf, objek yang dikaji adalah hati, tempat pusat pengendalian diri. Tidak sedikit dari para saalik berusaha keras menjalankan amalan-amalan yang didapatkan dari sang Guru, namun pada kenyataannya para saalik tersebut masih saja senang untuk mengumpat dan menyakiti sesama, dan hal tersebut bukanlah ajaran sang guru.
Guru mengajarkan bagaimana bisa menjadi manusia seutuhnya, bukan menjadi manusia yang selalu merasa paling benar atas apa yang telah diajarkan. Â Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi emosi dan sikap para saalik , berkaitan dengan ilmu dan amal, para saalik tidak cukup hanya berzikir saja sepanjang harinya, ini adalah jalan Tasawuf, tapi Tasawuf juga tidak menafikan pondasi Islam lainnya, yakni akidah dan syariat.
Para guru membimbing bagaimana kau mendidik hatimu dengan mengingat-Nya, namun jangan sepelekan syariat yang juga menjadi kewajiban. Bukan karena tuntunan dan bimbingan yang tidak sempurna, hanya saja kita yang belum secara maksimal berusaha. Zikir wajib dijalankan tiap-tiap bada salat lima waktu dan waktu-waktu lainnya, perlu diperhatikan, tak hanya zikir saja yang hendaknya mendapat perhatian khusus, namun juga salatnya.
Syariah secara lengkap mengatur bagaimana tuntunan salat menurut mazhab imam-imam fiqh yang disepakati, sebagai saalik juga harus memperhatikan hal tersebut, bahkan hal kecil sekalipun, bagaimana salatnya dapat sah, jika ketika berwudlu masih menggunakan sandal ghasab? Jika salatnya sudah tidak benar, maka runtutan selanjutnya juga sama, oleh karena itu, sebagai saalik, tidak hanya kesucian dan kebersihan jiwa saja yang diperhatikan, tapi juga kesucian dan kebersihan dlahir dari perkara-perkara yang tidak seharusnya, harus berhati-hati.Â
Demikianlah mengapa tak hanya umat muslim secara umum saja mengalami kemunduran akhlak, namun juga para saalik yang notabenenya adalah para penempuh jalan ruhani dan pelaku syariat, permasalahan dan kemajuan jaman ikut menggerogoti kesungguhan dan keimanan yang menjadi fitrah mereka. Memang tragis melihat keadaan jaman sekarang ini, sesama muslim saling mengkafirkan, sesama mukmin saling menghina, fitnah tersebar dimana-mana, padahal kita dan mereka berasal dari yang Satu, namun diri ini masih belum mampu mengesakan yang Satu.
Ya, perpecahan memang sudah sunnatullah dan tidak dapat terelakkan, namun apakah para saalik yang statusnya adalah mereka yang menempuh jalan rohani harus ikut terjun dalam kondisi yang demikian, atau mereka hanya berpura-pura menjadi saalik untuk alasan tertentu? Diam bukan berarti tidak perduli, adakalanya diam sangat dibutuhkan untuk kemashlahatan bersama.
Sesama muslim, sesama mukmin saling menyalahkan atas suatu fenomena yang terjadi, tak satupun yang berani mengakui kesalahan diri sendiri, saling tuding, saling fitnah, maka harusnya difikirkan, siapakah kita sesungguhnya, anak cucu nabi Adam as kah atau justru anak cucu Iblis?Â
Dunia ini imbang dan diciptakan untuk semua umat manusia. Manusia diciptakan dengan telah diberikan jalan dan arahan, mereka juga disempurnakan dengan hati dan akal yang harus difungsikan untuk menimbang dan memilih, apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan. Jadi, manusia bebas menentukan pilihan dalam hidupnya, baik menjadi anak cucu Adam ataukah menjadi anak cucu Iblis.
Ya itu tergantung pilihan kita masing-masing, namun hendaknya pilihan tersebut haruslah sejalan dengan misi kenabian dan estafet dakwah para ulama dan auliya, yakni akhlak karimah.
Wallahu A'lam bishshawaabÂ
Jika ku mengangkat tanganku
Tak selalu aku sedang memohon kepada-Mu wahai Sang Pencipta Alam
Kadangkala aku sedang merayumu dengan bualan-bualan palsu
Bualan orang munafik yang tak patut didengar
Bahkan ketika ku tersadar aku pun malu
Jika ku menutup kedua mataku
Tak selalu aku sedang berabithah kepadamu wahai sang Guru terkasih
Kadangkala aku sedang merayumu dengan amalan-amalan palsu
Amalan yang tak patut dilihat
Bahkan ketika aku tersadar aku pun hanya dapat terdiam
Namun kali ini,
Menjadi sesuatu dalam ujung jari tanganku
Dan menjadi angan dalam wasilah mataku
Ini bukanlah bualan ataupu  rayuan
Tepat di hadapan pusaramu wahai Guruku
Semoga Allah Swt mendengarkannya.....
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Mudah-mudahan Allah menumbuhkan kasih sayang diantara kalian termasuk pada orang-orang yang memusuhi kalian. Dan Allah Maha Kuasa dan juga Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Tiada Tuhan selain Engkau yang Maha Suci, dan sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.
Penulis: Aspiyah Kasdini. R. A
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H