Mohon tunggu...
Aspianor Sahbas
Aspianor Sahbas Mohon Tunggu... profesional -

alumni pascasarjana Jayabaya,bekerja di Indonesia Monitoring Political Economic Law and Culture for Humanity (IMPEACH)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Politik dan Ulama SU'

27 November 2018   12:48 Diperbarui: 27 November 2018   17:15 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar mungkin berisi: Aspianor Sahbas, berdiri dan lensa kaca mata (dokpri)

Aspianor Sahbas at Tanjungi

 Direktur Pusat Kajian Keislaman Kebangsaan dan Ketatanegaraan
PUSK4

 POLITIK DAN ULAMA SU'

  Dalam bukunya yang berjudul "Ternyata Syeikh Siti Jenar Tidak  Dieksekusi Wali Songo", KH Muhammad Sholikhin pada halaman 81 -- 84  menggambarkan secara panjang lebar mengenai para ulama "penjilat".  Supaya tidak menimbulkan salah penafsiran saya kutipkan saja tulisan  yang ada di buku tersebut.

 "Salah satu tokoh penentang utama  naiknya Trenggono sebagai Sultan adalah Pangeran Panggung di Bojong,  salah satu murid utama Syeikh Siti Jenar. Demikian pula masyarakat  Pengging yang sejak kekuasaan Raden Fatah belum mau tunduk pada Demak.  Banyak masyarakat yang sudah tercerahkan kemudian kurang menyukai Sultan  Trenggono. 

Mungkin oleh ulama karena faktor inilah, maka Sultan  Trenggono dan para ulama yang mendekatinya kemudian memusuhi pengikut  yeikh Siti Jenar. Maka kemudian dihembuskan kabar bahwa Syeikh Siti  Jenar dihukum mati oleh Dewan Wali Songo di Masjid Demak, dan mayatnya  berubah menjadi anjing kudisan, dan dimakamkan di bawah mihrab  pengimaman Masjid. Suatu hal yang sangat mustahil terjadi dalam konteks  hukum Islam, namun tentu dianggap sebagai sebuah kebenaran atas nama  kemukjizatan bagi masyarakat awam.

Keberadaan para ulama "penjilat"  penguasa, yang untuk memenuhi ambisi duniawinya bersedia mengadakan  fitnah terhadap sesama ulama, dan untuk selalu dekat dengan penguasa  bahkan bersedia menyatakan bahwa suatu ajaran kebenaran sebagai sebuah  kesesatan dan makar, karena menabrak kepentingan penguasa itu sebenarnya  sudah digambarkan oleh para ulama. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya'  'Ulum al-Din meyebutnya sebagai al 'ulama' al-su'(ulama yang jelek dan  kotor).

Sementara ketika Sunan Kalijaga melihat tingkah laku para ulama  pada zaman Demak, yang terkait dengan bobroknya moral dan akhlak  penguasa, di samping fitnah keji yang ditunjukan kepada sesama  ulama,namun beda pendapat dan kepentingan, maka Sunan Kali Jaga  membuatkan deskripsi secara halus. Sesuai dengan profesinya dalam  budaya, utamanya sebagai dalang, Sunan Kalijaga menggambarkan kelakuan  para ulama yang ambisi politik dan memiliki karakter jelek sebagai tokoh  Sang Yamadipati (Dewa Pencabut Nyawa) dan Pendeta Durna (Ulama yang  bermuka dua, munafik).

Kedua tokoh tesebut dalam serial pewayangan  model Sunan Kalijaga digambarkan sebagai ulama yang memakai pakaian  kebesaran ulama; memakai surban, destar,jubah, sepatu, biji tasbih, dan  pedang. Pemberian karakter seperti itu adalah salah satu cara Sunan  Kalijaga dalam mencatatkan sejarah bangsanya, yang terhina dan teraniaya  akibat tindakan para ulama jahat yang mengkhianati citra keulamaannya,  dengan menjadikan diri sebagai Sang Yamadipati, mencabut nyawa manusia  yang dianggapnya berbeda pandangan dengan dirinya atau dengan penguasa  dimana sang ulama mengabdikan dirinya. 

Hal tersebut cara Sunan Kalijaga  melukiskan suasana batin bangsanya yang sudah mencitrakan pakaian  keulamaan, dalil-dalil keagamaan sebagai atribut Sang Pencabut Nyawa.  Atas nama agama, atas nama pembelaan terhadap Tuhan, dan karena  dalil-dalil mentah, maka aliran serta pendapat yang berbeda harus  diberangus habis.

Gambaran Pendeta Durna adalah wujud dari rasa muak  Sunan Kalijaga terhadap para ulama yang menjilat pada kekuasaan, bahkan  aktivitasnya digunakan untuk semata-semata membela kepentingan politik  dan kekuasaan, menggunakan dalil keagamaan hanya untuk kepentingan  pribadi dengan mencelakakan banyak orang sebagai tumbalnya. Citra diri  ulama yang "tukang" hasut, penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu  domba. Itulah yang dituangkan oleh Sunan Kalijaga dalam sosok Pendeta  Durna".

 Apa yang tergambar dari narasi di atas, memberikan  peringatan kepada kita agar berhati-hati dalam mengikuti ulama. Apalagi  kalau itu berkaitan dengan politk dan kekuasaan. Jangan sampai karena  kebodohan kita yang hanya menyaksikan penampilan lahiriah saja, atau  kefasihan membaca dalil-dali agama saja membuat kita terjebak dan  terperangkap mengikuti para ulama su'.

 Bangsa ini sudah  memberikan pelajaran yang amat berharga sejak Kesultanan Demak,  sebagaimana yang digambarkan oleh Sunan Kalijaga di atas. Bahwa dalam  setiap bertahtanya kekuasaan para ulama pun tidak sedikit yang menjadi  "penjilat". Menjadikan dalil-dalil keagamaan untuk kepentingan penguasa  yang ditumpanginya dan untuk kelompok serta golongannya. 

Dalam  pengertian ini bisa dimaknai tidak semua ulama waratsatul anbiya. Tapi  ada juga ulama su' yaitu ulama yang sesat lagi menyesatkan seperti yang  dikemukakan oleh Imam al Ghazali.

 Maka dalam situasi dan kondisi  kehidupan keagaman dan kebangsaan kita seperti hari-hari terakhir ini,  perbanyaklah wawasan pengetahuan keulamaan dan keagamaan agar dapat  mengetahui mana para ulama yang haq, para ulama rabbani dan mana ulama  yang su'. Berdo'alah kepada Allah Sang Pemilik Kebenaran agar  dihindarkan dan dijauhkan dari bertemu, berguru dan menjadi pengikut  ulama penjilat atau ulama su'

2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun