Mohon tunggu...
asni asueb
asni asueb Mohon Tunggu... Penjahit - Mencoba kembali di dunia menulis

menyukai dunia menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Melempar Lara pada Samudera

1 Maret 2022   21:35 Diperbarui: 1 Maret 2022   21:37 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puan ..

Dalam rengkuh untuk kali ini tiada daya upaya untuk beranjak dari prahara hati hingga meninggalkan sajaksajak dalam kesunyian panjang tanpa mampu menggoreskan garis panjang  yang membelah sunyi berupa lolongan kepedihan yang mendesir merambah dalam kesunyian. 

Tatapan elang tajam seakan menerkam, berlari tanpa desahan menuju ruang kosong tanpa nyawa yang terus bergema menghentakkan gendang telinga 

Puan ...

Tanyaku berulang di mana tangis panjang ketika tubuh dia terbujur kaku? Adakah dendam tergores hingga lubuk hati terdalam atau kerasnya sebuah hati atas perlakuan yang ada sebuah kesombongan untuk tak meneteskan air mata pada yang menggoreskan luka  

Puan ...

Di mana kesabaran seluas samudera yang pernah kau katakan jika perih di hati kian terasa. Ketika debu debu berjalan menuju langit menutup awan putih menjadi hitam hingga kembali menyemburkan lara jiwa dalam tangis panjang tiada henti hingga air mata tak mampu terjatuh menutup lara 

Puan...

Apakah ini sebuah kekecewaan ?

Apakah ini satu amarah dan dendam? 

Aku berharap tidak hanya kerasnya hati atas sebuah perlakuan yang tidak dilakukan atau sebuah kesalahan yang tanpa di sadari menggoreskan luka. 

Puan...

Saat rindu mulai lunglai dalam ingatan menepis tetesan air hujan tanda  segala kebohongan tersemat dan termakan pada jiwajiwa yang munafik tanpa tahu satu kebenaran 

Puan...

Tersemat dalam dada yang telah menjadi candu di setiap langkah hingga terseok atau sekedar warna yang di coret dalam sebuah kanvas kehidupan yang menjelma lukisan perjalanan air mata 

Puan...

Harapan yang disematkan menjadi lukisan yang terindah namun hanya segumpal benang kusut yang tak mampu teruraikan hingga mata sayu tertutup perlahan 

Puan...

Tanpa tangis.. tangan sigap mengikat pada tubuh yang semestinya. Napas yang perlahan lahan menghilang yang menjelma dalam satu bisikan kalbu 

Puan..

Adakah menjelma kata maaf atau perlakuan dan  perkataan  sedang tubuh terbujur kaku dan membisu kecuali bahasa kalbu yang terus bergema menghantar tarikan nafas yang mulai tersengal dan satu tarikan tanpa hembusan 

Sadarkah ia, aku sosok yang diam tanpa membela diri atas beribu perlakuan yang rela menenggelamkan diri pada dalamnya samudera untuk rasa baktinya yang tiada pernah sekalipun diakui. Sadarkah ia, butiran salju telah mencair sekalipun dingin itu terus menyelimuti 


Puan...

Rangkuman diksi telah menyebar telah menjadi racun kehidupan untukku namun semua akan melebur bersama diksi  yang kau bawa dalam damai 

Tanpa air mata bukan berarti membenci, diam seribu bahasa bukan berarti mendendam namun aku belajar berlapang dada atas segala perlakuan hatimu dan berharap kau pergi dengan tenang tanpa ada umpatan hati yang membenci 

Walau jalinan akhir menjadi porak-poranda  aku berusaha menjadi manusia masak bodoh yang selalu dibodohi rasa kasih bagai topeng kehidupan melemah pada satu keadaan membiarkan tergerus arus nestapa karena yakin satu bahagia akan kembali bersinar 

Tak akan pernah mengeluh karena jalan ini aku yang memilihnya, tak akan menangisi karena aku tahu tuhan sayang padaku tak akan mencari pembenaran karena Tuhan akan melukiskan segalanya 

Tasbihku pada lelaki yang terlahir dari rahimmu mencari keridohannya dalam setiap langkah dan nafasku ketika  roh  menjauh dari tubuhmu  saat itu pula segala kebencian, kemarahan, fitnah darimu terlempar ke dalam samudera luas di makan paus paus yang lapar dan kembali memberikan pancaran bahwa kau bersih dalam hatiku tanpa cela sedikit pun. 

Membiarkan tuhan kembali melukis dengan indah tanpa ada goresan yang berarti . Aku telah melupakan  kepedihan  dan kesedihan tanpa pernah diakui dalam waktu terpanjang hingga matamu terpejam, tubuh terbujur kaku 

Palembang, 1 Maret 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun