Puan...
Saat rindu mulai lunglai dalam ingatan menepis tetesan air hujan tanda  segala kebohongan tersemat dan termakan pada jiwajiwa yang munafik tanpa tahu satu kebenaranÂ
Puan...
Tersemat dalam dada yang telah menjadi candu di setiap langkah hingga terseok atau sekedar warna yang di coret dalam sebuah kanvas kehidupan yang menjelma lukisan perjalanan air mataÂ
Puan...
Harapan yang disematkan menjadi lukisan yang terindah namun hanya segumpal benang kusut yang tak mampu teruraikan hingga mata sayu tertutup perlahanÂ
Puan...
Tanpa tangis.. tangan sigap mengikat pada tubuh yang semestinya. Napas yang perlahan lahan menghilang yang menjelma dalam satu bisikan kalbuÂ
Puan..
Adakah menjelma kata maaf atau perlakuan dan  perkataan  sedang tubuh terbujur kaku dan membisu kecuali bahasa kalbu yang terus bergema menghantar tarikan nafas yang mulai tersengal dan satu tarikan tanpa hembusanÂ
Sadarkah ia, aku sosok yang diam tanpa membela diri atas beribu perlakuan yang rela menenggelamkan diri pada dalamnya samudera untuk rasa baktinya yang tiada pernah sekalipun diakui. Sadarkah ia, butiran salju telah mencair sekalipun dingin itu terus menyelimutiÂ