Mohon tunggu...
asni asueb
asni asueb Mohon Tunggu... Penjahit - Mencoba kembali di dunia menulis

menyukai dunia menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ikhlas Melepas Orang yang Kita Cintai

26 Maret 2021   23:49 Diperbarui: 27 Maret 2021   06:24 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kegelisahan Hati 

Dear Jingga,  

Beberapa hari ini, aku tidak menulis di Kompasiana, karena rasa letih  dan duka setelah kehilangan pengganti orang tuaku. Tubuh ini terasa begitu lelah seminggu setelah kepergiannya.  Menunggu dan mendampinginya  terbaring di rumah, rasa sakit yang menderaku selama ini tak kurasakan demi bakti akhir untuknya.

Sepuluh hari  setelah kepergian beliau, aku baru memberanikan diri untuk menulis tentang beliau secara utuh. Tempo hari hanya sekedar  sebait puisi melepas kepergian beliau.9

Menggenggam tangannya, memberikan semangat agar ia mampu melewati semua rasa dan ujian yang Allah beri, walau hati perih saat erangan demi erangan mampir ke telinga.

Tubuh yang semakin hari semakin habis tinggal kulit pembalut tulang. Ada yang bertanya, " Kenapa kamu begitu perhatian pada tante, hanya sekedar tante? Sekedar tante! Bagiku dia bukan hanya sekedar tante, istri dari oom ( adik mama). 

Ia tak ubahnya orang tuaku, pengganti orang tuaku, anak anaknya adalah adik adik bagiku yang sedari kecil telah bersama dan tumbuh berkembang lewat mataku dan masa masa kuliah pun aku tinggal di sana. 

Suami dan Anak Anak Meridhoi

Dear Jingga 

Selama ini aku hanya melihat beliau   kelang hari, sehari pergi sehari tidak karena kondisiku sendiri sedang tidak baik. Namun beberapa hari aku tak melihat karena kondisi badanku benar benar menurun.

Di hari ketiga aku tak melihatnya, sebuah pesan singkat masuk dan bercerita tentang  obrolan beliau selalu menanyakan dan menyebut namaku berulang kali bahkan bilang ia berbincang bincang denganku di pinggir tempat tidur dan kebetulan malam itu aku sendiri sedang mengerang menahan sakit. Sepertinya ada kontak bathin bersama beliau. 

Tak lama kemudian sebuah panggilan vc masuk, aku tak mampu berkata kata melihat kondisi beliau jauh menurun dari terakhir aku melihatnya, tangis yang tertahan tak dapat aku bendung setelah perbincangan selesai. 

Hatiku meragu apakah mungkin suami mengizinkan aku untuk melihat beliau sedang kondisiku sendiri seperti ini.

"Pa, kita lihat  tante ke km 12, keadaannya drop," tanpa pikir panjang suamiku menganggukan kepala.

Tapi kembali timbul keraguan  dalam hati, dan seakan hati menuntun untuk bermalam di sana. Kembali menemui suami," boleh mama nginap di sana," tanpa pikir lagi suamiku pun mengiyakan. 

Bersyukur sekali aku mempunyai suami yang perduli dengan keluarga dan mengizinkan  nginap di rumah itu walau kondisi tubuhku sendiri sedang menurun. 

Bungsu pun mengingatkan  jangan lupa makan, dan minum vitamin serta obat. Dengan keridhoan suami serta anak anak, sekejap Allah mengangkat rasa sakit dan seakan terlepas  dari sakit yang sempat membelenggu.

Tak Mengizinkan Aku Pulang

Dear Jingga   

Aku menemaninya tiap detik, menit, jam hingga hari. Menyaksikan tarikan nafasnya yang semakin berat. Makan dan minum yang sudah tak tertelan lagi. Tanda tanda itu sudah terlihat namun masih berharap penuh ada keajaiban beliau sembuh kembali

 Aku tahu ia tak rela, aku jauh darinya. Dari erangan saat aku mempermainkan beliau saat aku bilang ingin pulang.  Ia ingin aku selalu ada disampingnya,  Saat beranjak sejenak matanya mengisyaratkan tak rela di tinggal. 

Tragedi Subuh   

 Di hari kedua aku menunggu beliau, di saat fajar menyapa, ada tangis yang membanjiri hati, seakan beliau akan pergi, meninggalkan pesan, menitipkan adik adik padaku. Kita berkumpul mengelilingi beliau. 

Hati kembali tenang, setidaknya beliau telah menyampaikan amanah dan ingin anak anaknya akur walau tanpa beliau. 

Hati Mendua

Aku kembali pamit, walau sedikit berat, dengan alasan yang tepat akhirnya beliau mengiyakan namun dalam perjalanan pulang hati tidak merasa tenang, dipertengahan jalan suami pun bilang di wa, "kok pulang, tunggu saja tante," kata suamiku. 

Aku kembali ke rumah tante, walau adik adik sedikit heran, namun aku menuruti kata hatiku, seakan tak rela meninggalkan beliau dan seakan ada yang belum terselesaikan namun aku tidak tahu apa.

Pentingnya Sebuah Kata Ikhlas 

Siang itu tanpa di duka, adik  sepupuh perempuanku, menceritakan kejanggalan di hatinya, merasakan apa yang sebenarnya aku rasakan. Ternyata masih ada yang tak ikhlas untuk melepas orang yang di cintai, yang mengandung hingga membesarkan dengan penuh cinta.

Adik sepupuh perempuanku bercerita panjang lebar tentang tidak ikhlas dengan semua ini, jika semua terjadi. Dengan uraian air mata, aku mencoba menasehati adikku dengan penjelasan yang teramat sederhana dan mudah untuk dipahaminya. 

Akhirnya ya pun merasa kelegaan hati. Namun masih ada satu ganjalan di hati,bagaimana harus menyampaikan semua ini kepada anak bungsu beliau. Aku tahu berat dihatinya untuk menerima kenyataan dan cara menghindar terus.menerus, itu sudah satu isyarat bahwa si bungsu merasa berat. 

Mungkin inilah jawaban dari keresahan hatiku, aku harus menyelesaikan masalah ini dan menyampaikan semua ini. Terima tidak terima ini makna yang  aku  tangkap dari pandangan mata tante agar tidak pulang sebelum semua selesai. 

"Sebenarnya adek ikhlas dak melepas mama (tiada jawaban diam membisu), adek tega mendengar erangan mama tiap hari. Mama kesakitan dek. Kita harus mengikhlaskan mama pergi, jika mama sembuh itu keajaiban yang kita terima. Kita tidak menyalahkan kodrat dan mendahului kehendak Allah. 

Setidaknya kita sudah siap dengan keadaan yang pahit sekalipun. Mata beliau terbuka dan menatap anak bungsunya, tiba tiba tangan beliau terangkat dan memeluk anak laki laki bungsunya. Erangannya pun semakin membuat pilu, matanya terus bercerita, menyampaikan ke pada si bungsu. Tak mampu menahan keharuan di sore ini. 

Setelah semua yang mengganjal di hati terselesaikan, aku berbisik pada beliau setelah memberikan minum yang aku bacakan Al- fateha. " Aku pulang ya tante,( anggukan kecil terlihat di mata) setelah selesai aku kembali lagi dan sembari aku bisikan, jika malam ini tante pulang, aku ikhlas walau tidak di depan mataku. 

Akhirnya malam itu aku pulang dengan tenang, tiada keraguan, sesampai di rumah pun aku tetap mencari khabar tentang beliau. Jam dua lebih telepon berdering dan dari seberang sana menyampaikan berita pilu. Tak mampu berkata tubuhku gemetar, tangis tertahan hingga gigi berbunyi tak mampu dikendalikan. 

Diperjalanan pulang anak bungsuku sempat menanyakan,

 " Kenapa mama tahu ayek mau pergi, kenapa mama tidak menunggu ayek, kan mama tahu ayek akan pergi malam ini," sembari nyetir mobil.

" Kita tidak akan pernah tahu kapan kita akan meninggal namun setidaknya telah ada tanda tanda orang yang akan meninggal. Mama berkata itu, mungkin itu yang keluar dari hati mama tanpa mama sadari dan tanpa mama buat buat, dan ayek ingin didampingi dengan keempat anak anaknya. Bukan dengan mama yang hanya sebagai keponakan.

Benarkah semua ini, maafkan aku adik adikku bukan aku mengeja namun Allah yang menggambarkan semua.

Hingga aku melihat beliau terbujur kaku dan si bungsu tak ingin menatapku. Maafkan uni adikku, tiada kata yang mampu terucap. Matamu nanar tak menatapku, marah! Benci!. Maafkan uni sayang, ini takdir bukan karena perkataan uni.

Si bungsu tetap diam dan tak bergeming sama seperti kepergian papanya tiga tahun yang lalu. Si bungsu marah akan keterlambatan dan perkataan yang keluar dari mulutku. Maafkan uni dek tak ada satu pun kata yang mendahului kehendakNya. Mungkin hanya penyambung kata  dan pengingat bahwa kematian itu akan datang kepada siapa saja. Siap atau tidak kita harus siap, ikhlas melepas orang yang kita cintai agar jalan menuju_Nya dipermudah.

Mama orang baik, kebaikan mama akan menerangi jalan mama. Mama tidak mengerang kesakitan lagi, tidak merasakan lapar dan haus lagi. Kita berdoa untuk jalan kebahagiaan mama. Maafkan uni, adik adikku.

Uni bangga kalian berempat menemani, menuntun mama dengan lantunan ayat ayat, membisikan kebesaran Allah hingga tarikan nafas terakhir dan memejamkan mata. Walau tanpa uni, uni pun ikhlas walau tidak di pangkuan uni. Uni akan menjaga kalian sebagaimana mama menitipkan kalian ke uni.

Untuk terakhirnya aku memandang wajahmu, memandikan dan membelai wajahmu. Kecantikan dirimu terus  terpancar hingga sisa air untukmu mandi telah habis namun cahaya di wajahmu terus  terpancar hingga kain itu menutup wajahmu. 

Dalam sakit, beliau masih mengingatkan aku, tentang  sakit  yang sedang membawa tubuh  pada ujian rasa sakit yang belum jua reda. Walau sejenak Allah mengangkat rasa sakit ini, aku bersyukur diberi kesempatan bersama  dan merawatnya. 

Masih terngiang dalam telingaku ketika beliau menginap dirumah , minta dibelikan tulang iga dan ikan patin, beliau ingin membuat sop dan pindang patin. Pada hal semasa beliau sehat tak pernah meminta apa apa, apa yang aku sajikan pasti di makan.

Selamat jalan tante sayang, engkau telah bahagia bersama kekasih hatimu. Doa kami selalu untukmu dan kekasihmu.


Dokpribadi. Saat memandikan beliau untuk terakhir kalinya bersama adik sepupu ( anak perempuannya) yang di tengah, di samping diriku menantu pertama,
Dokpribadi. Saat memandikan beliau untuk terakhir kalinya bersama adik sepupu ( anak perempuannya) yang di tengah, di samping diriku menantu pertama,

 

Palembang, 27032021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun