Kalau aku tak ingat, bagaimana aku menghormati mas Wijaya, ingin rasanya aku memaki istrinya dan bilang.
" Kamu sebagai istri sudah nggak ngurus suami, cemburu selangit ama suami. Dibanding suamimu, kehidupan suamiku lebih mapan, pakai tuh otak bagaimana mungkin saya tinggalkan suami saya hanya demi mas Wijaya. Kehidupan saya sudah bahagia bersama suami dan anak anak."
Tapi selalu aku urungkan, dan aku pun memposisikan diriku diposisi istrinya mas Wijaya. Mungkin cemburu itu ada  tapi tidak berlarut larut.
Bahkan wanita yang ingin dengan suamiku dulu, sekarang berteman dan sering main kerumah.Â
Semakin kita merasa takut kehilangan semakin rasa itu akan membelenggu kita, semakin cemburu semakin rasa itu akan membuat pikiran kita tak sehat.Â
Aku tak menyalahkan keluarga mas Wijaya, yang menyebut dan memujiku didepan istrinya saat mas Wijaya membawa istrinya pulang ke kampung. Â
Hingga mempunya rasa dendam yang tak berkesudahan. Lamunanku terhenti, kotak ajaibku berbunyi. Ternyata mas Wijaya.
 Mas Wijaya : Pagi sayang
 Aku  :  Ya masÂ
 Mas Wijaya : Kenapa kamu dek
 Aku  : Nggak papa mas, lagi kepingin duduk di pantai saja