"
"Kamu itu laki laki mas, kepala keluarga, kenapa kamu tidak bisa mendidik istrimu! Aku marah betul ketika mas Wijaya bilang dengan alasan yang sama." Kasih ke istrimu, biar aku yang bicara, biar dia tahu siapa gadis yang di benci dan dicemburui selama ini dan kamu mas, tak usah telpon aku jika tak bisa menyelesaikan masalah ini."
Kejadian ini sudah 26 tahun. Terbuat dari apa hati istrimu itu. Puluhan tahun masih menaruh benci padaku.Â
Sejak saat itu mas Wijaya tak pernah menelpon aku lagi, kita tidak saling sapa lagi, tiada khabar bahkan cerita. Aku telah menyakiti hati laki laki yang begitu menyayangiku. Maafkan aku mas Wijaya.
Membiarkan hati kita tetap berbicara, menyimpan segala dalam kenangan terindah yang pernah kita miliki.
**
Aku tak mengenalnya, tapi dia membenciku. Ya Tuhan apa lagi persoalan yang harus aku hadapi. Kalau bukan karena janji pada mamak dan bapak, tak akan pernah mengangkat telpon mas Wijaya.
Aku memperlambat laju mobil dan menepi di pinggiran pantai. Membuka kaca jendela dan merasakan angin pantai yang bertiup pilu seakan mengerti arti tatapanku.
Burung Elang terbang melintas di hadapanku. Mengingatkan akan  kembali saat pertama bertemu mas Wijaya.Â
Pertandingan antar sekolah ternyata membuat mas Wijaya menaruh hati padaku. Aku sendiri tidak mengenal mas Wijaya.
Setahun kemudian bertemu di sekolah yang sama tapi kita beda sekolah. Aku di Madya dan mas Wijaya masih di SMP, namun tidak pernah menjadi sebuah jarak untuk  menjadi sahabat.