Untukmu pemulas rinduÂ
Sejak pandemi langkah menjadi terbatas, walau keinginan untuk melangkah ke kota kecil kita terus menggulung diri.Â
Namun apa hendak di kata keadaan yang tidak mengizinkan untuk melangkah ke  sana. Lewat goresan sederhanaku, aku ingin kau tahu kau sahabat terbaik yang aku punya.
Kota yang dingin, adem yang mempertemukan dan saling mengenal serta menjadi sahabat dan cerita dalam hidupmu. Â
Menghabiskan waktu bersama hingga azan memanggil. Â Kebersamaan yang tak mungkin kita kikis dari ingatan kita. Membiarkannya tetap hidup dalam perjalanan yang kita jelang
Kebersamaan yang kita bawa hingga detik ini, walau intensitas untuk menyapa hampir tak ada. Walau disapa  pun belum tentu kau menjawabnya.Â
Sebagai sahabat kecilmu, aku memahami sifat mu dan tak pernah sekalipun untuk memaksa untuk menjawab, hanya berharap kau sehat sehat saja di kota kecil.
Hampir satu tahun  aku tidak pulang, di samping pandemi kesehatanku pun menurun. Sebenarnya waktu itu aku ingin bercerita padamu tentang keadaan yang aku alami sekarang.Â
Tapi ternyata nomor WA tak ada adakah kau blokir atau bagaimana, tak satu pun yang aktif dari ketiga nomor yang aku punya.Â
Ada apakah gerangan, adakah kau melupakan sosok yang pernah hadir dalam kehidupanmu? atau kau marah karena aku tak jua pulang dan tak memberi kabar.Â
Bukankah kau yang selalu tak pernah menjawab WA yang aku layangkan ke ruang mu. Bukankah kau yang tak pernah mengangkat telepon ? walau aku  hanya ingin tahu kabarmu.
Sejak kepergian mak, Â rasa salah yang sering menghantui pikiran karena tak mampu menjalani amanah dan keinginan mak mencarikan jodoh untukmu.Â
Sebagai sahabat yang begitu dekat dengan mak, walau dia pikun namun dengan aku tetap dia ingat. Masih terbayang saat mak memegang tanganku  dan berkataÂ
"Carikan  dia pasangan hidup, untuk menemaninya dan mengurusnya sebelum mak pergi,"
Walau kau sering bilang tak usah dengarkan omongan mak, tapi bagiku itu sebuah permintaan seorang  ibu kepada anaknya.Â
Saat mak berharap jika aku pulang menyempatkan diri untuk mampir, selalu menyempatkan diri untuk mampir walau terkadang aku tak mampu bercerita seperti dulu dengannya.Â
Namun ketika melihat binar matanya menyambut kehadiranku ada rasa pilu di hati. Maafkan aku mak tak bisa menemani hari harimu menjelang ajal mu.
Maafkan aku tak mampu memenuhi permintaan terakhir mak untuk mencarikan dia pasangan hidup, karena anak mak sendiri tak ingin di jodoh jodohkan.Â
Sepertinya lebih betah menyendiri dengan kesibukannya di antara serbuk serbuk kayu dan bunyi mesin mesin gergaji kayu.
Untukmu  yang dalam diamnya
Aku rindu nasehatmu yang selalu memberi pencerahan untuk tetap pada satu hati, Â untuk selalu menyayangi suami dan anak anak, selalu menomor satukan mereka. Â
Salut aku padamu, kau selalu menjaga perasaan sahabatmu sedangkan perasaanmu sendiri kau acuhkan. Membahagiakan sahabat sahabatmu tanpa memikirkan kebahagiaanmu.Â
Seperti lilin yang selalu menerangi sekitarnya, membiarkan dirinya terbakar. Walau aku selalu bilang tak perlu seperti lilin untuk menerangi sekitar.
 Setidaknya berpikir untuk membahagiakan diri sendiri, dan kau akan tersenyum seperti biasanya apalagi ketika aku selalu mengingatkan untuk menikah, kau akan mendiamkan aku berjam jam.
Aku ingat betul reaksi dirimu ketika sekian tahun aku tidak pulang dan tiba tiba pulang tanpa memberi kabar.
 Binarnya mata itu sama seperti binar mata mak menyambut kedatanganku. Binar mata yang penuh dengan rindu dan segudang tanya yang berusaha kau sembunyikan.Â
Walau kita bertemu pasti berantem, saling menghujat satu sama lain, saling bercerita tentang kelemahan serta kesalahan kita di tempo dahulu.Â
Namun itulah cara kita menunjukkan rasa sayang terhadap sahabat melebih sahabat yang lain.
Entah angin apa yang hadir di pagi Dhuha, ringan di kotak miniku, tiba tiba Yuli VC  kebetulan  dia berada di rumahmu.Â
Tak butuh waktu lama aku marah, kesal aku keluarkan semua kekesalanku padamu, seperti biasa kau tak membela diri dan hanya tersenyum saja.
"Setiap orang punya kesibukan dan urusannya, jangan memaksakan kehendak diri sendiri," katamu di saat aku minta untuk ke Palembang bersama Yuli dan suaminya
."Kapan kau mau keluar dari rasa nyaman mu, kapan kau akan mengenal dunia luar", kataku nyerocos.
Walau kau pun memarahi, dan menyalahkan aku yang tak menyimpan nomor telepon. Tiga nomor yang tersimpan, kau bilang aku sengaja, bukankah kau yang memblokir nomorku.
 Namun perdebatan terhenti karena kita tahu seorang sahabat tak akan melupakan sahabatnya walau tak memberi kabar atau sekedar teleponÂ
Namun di hati tetap menyimpan saling menyayangi satu sama lain dan menunggu untuk bertemu kembali, berantem kembali, menghirup kopi  bersama dari cangkir mu.
Untukmu yang super sibuk
Doaku selalu untuk kebaikanmu, segera menemukan jodoh, masa mau didahului anak anakku, mereka sudah dewasa, si sulung sudah menyelesaikan kuliahnya.
Anak yang begitu dekat denganmu sedari kecil. Si gadis, insya Allah setahun setengah lagi menyelesaikan sekolah penerbangannya, sekarang sedang OJT di Semarang.Â
Kau yang selalu mengingatkan untuk tidak terlena, dan harus bisa menyisihkan uang karena kuliah penerbangan itu mahal katamu. si bungsu insya Allah tahun ini selesai dan memasuki dunia kuliah.
Bagaimana dengan dirimu masih betah menyendiri sedangkan anak anak angkat mu telah tumbuh dewasa.
 Masihkah kau bergelut dengan serbuk serbuk kayu setiap harinya sembari menghirup secangkir kopi. Sehat sehat ya yang terkasih sahabatku semoga pandemi berlalu kita bisa bersua dan menghabiskan hari dengan pertengkaran ringan.Â
Ruang Kosong, 090221
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H