Rinai hujan di sore ini membawa pada hempasan kecewa yang terdalam
ternyata tanda tanda itu tak mampu terbaca lagi dalam pikiran
ketajaman mata dan kecerdasan yang kau miliki.Â
bahkan impian yang kau bangun di puncak gunung
Â
memusnahkan satu harapan yang telah terpatri
membawa pada perih yang teramat perih
janji janji untuk tetap ada dan melindungi
musnah bersama deburan ombak
walau kau tahu tantangan badai menerpa
kau bilang mampu menghalau badai dengan  Â
 sayap yang mampu kau kepakkan  untuk melindungi
dengan ketajaman mata kau mampu membunuhÂ
kau telah membunuh camar kecilmu dengan kepongahan dirimu
tanpa kau sadari, kau torehkan luka di badan mungilnya
hingga satu persatu bulu ditubuhnya terlepas menelanjangi dirinya
sadarkah kau yang menyebut dirinya Elang
kau bukan pemakan bangkai dari camar kecil yang pernah kau lindungi
bahkan kau tak pernah tunduk pada satu perkataan yang melukai camarmu
pembelaan diri tersia siakan tak pernah berjawab
hingga camar tak berdaya menahan perihÂ
di mana kesetiaan yang kau agungkan,  kepakkan  sayap yang kau banggakan
ketika mampu melindungi camar dari kehidupan perihnya
tahukah kau arti ELANG atauÂ
hanya ingin di anggap pelindung dari segala pelindung kehidupan
untuk apa kau teriakan "kembali" pada camar
ke bibir pantai di antara batu karang yang kokoh
kalau kau mengepakkan  sayap untuk terbang menjauh
tak perlu kau teriakan kembali jika camar masih terdiam di bebatuan  karang
berulang kali camar mungilmu mencoba
memanggil hati kecilmu
dan berulang kali pula kau tak peka lagi
bahasa hati telah kau nodai dengan kebohongan
aku akan membunuhmu sebelum kau membunuhku
perlahan lahan  sebagaimana kau melukai hati
yang menaruhkan kesucian cintanya pada kepakkan sayapmu
dan meletakan kehidupannya pada bidang dadamuÂ
*****
kodrat alam elang dan camar tak akan pernah bisa bersatuÂ
Ruang Kosong, 020221
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H