Mohon tunggu...
asni asueb
asni asueb Mohon Tunggu... Penjahit - Mencoba kembali di dunia menulis

menyukai dunia menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ulasan Hati, Perasaan dan Telepati

16 Desember 2020   17:08 Diperbarui: 16 Desember 2020   17:12 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


  Andai kau tahu bagaimana aku menahan segala rasa yang pernah kau tanam di hatiku, bagaimana aku harus membohongi kata hatiku hanya karena ketidak hadiran  mu.

Aku ingin sampaikan, aku bosan kau permainkan dengan kata katamu. Kalau kau rindu kenapa tidak kau katakan, kenapa tidak kau ceritakan di halamanku. 

Berhentilah, aku lelah, aku tidak sanggup kembali menelusuri perjalanan dahulu karena tiada kejelasan .

Hari ini kau bilang begitu, esok kau bilang beda lagi, walau ku tahu intinya satu. Tetap pada janjimu tapi tak pernah terpenuhi.

Kau selalu menantang dengan kalimat kalimat yang menusuk, aku tidak tergila gila mungkin kau yang tergila gila. 

Kenapa kita selalu mengingat setiap kejadian yang pernah kita lakoni, walau berulang kali kita terpisah, ombak akan kembali ke bibir pantai begitu pula dengan yang kita rasakan walau hanya sekedar mampir dan pergi lagi. 

Cinta yang kita simpan, sayang yang kita ucapkan tetap abadi karena cinta kita bukan berdasarkan nafsu, cinta kita karena hati. Hati yang terus kita jaga walau kita tahu tak mungkin akan bersatu. 

Kita hanya berani bermain dalam kata, mengolah pikiran dan hati, menganggap ada walau kita tahu tak ada. Bahkan seakan akan kita melakoni satu kejadian, sehingga jika orang tahu mereka akan mengartikan beda.

 Dari setiap perpisahan dan bertemu pasti di bilangan yang ganjil, tahukah artinya. Naluri berkata kita tidak akan bersatu dalam kehidupan itu ada timbal balik, sebab dan akibat.

  Mana ada bilangan yang ganjil bisa dibagi dengan bilangan genap, pasti akan tersisa sedangkan Allah tidak mengizinkan kita menyisakan apa yang kita suka.

Kita sama sama memuji dengan kalimat sempurna pada hal kita tahu kesempurnaan hanya milik_Nya.   Dia hanya menyatukan dua hati yang penuh kekurangan agar bisa saling melengkapi. 

Makanya kita tidak dipersatukan. Hanya diizinkan  lewat kata untuk saling menyapa walau  itu tiga tahun  baru bisa saling menyapa setelah itu menghilang. 

Padahal begitu canggihnya dunia, tanpa pernah kita menikmati kecanggihan. Kita saling menjaga hati orang yang selalu ada di samping kita bertahun tahun. Lebih menghargai perasaan mereka dibandingkan kesenangan yang kita inginkan.

Kita tidak ingin mengotori hati dan perasaan yang Allah titipkan dengan ketidakjujuran. Menjaganya tetap tulus dan murni itu merupakan ujian kita.

Bila dia awal paragraf ada kata yang tak mengenakan hati.   Amarah, kebencian, kesombongan dan entah apa lagi. Mungkin itu cara kita untuk tetap menjaganya. Komitmen dirilah yang membawa kita selalu dipertemukan pada bilangan ganjil 

Coba kau ingat kapan pertama dan akhir di pertemukan lewat sebaris kata "Merindukanmu" dan getaran hati untuk menjawab secara telepati. Adakah yang seperti kita? 

Mungkin mereka akan jadi musuh bebuyutan, bahkan menyapa pun enggan atau cinta lama bersemi kembali lewat media sosial.  Tak satupun yang kita lakoni. Bermain hati, perasaan telepati telah melekat dan mendarah daging.

Satu tahun setelah beda sekolah, tiga tahun setelah aku memasuki dunia kuliah setelah itu tanpa pertemuan yang ada hati dan pikiran seta telepati 

Tiga belas tahun kemudian dipertemukan hanya lewat suara. Tujuh hari tiada henti, setelah itu menghilang kembali bermain dengan hati dan pikiran dan telepati. Tetap menjaganya walau kita masing masing telah punya jalan yang berbeda.

Lima belas tahun kemudian bertemu kembali hanya lewat kata tanpa menggunakan kecanggihan. Tetap seperti dulu  diawali dengan pertengkaran, saling  menyalahkan bahkan membuat rasa agar saling membenci tapi wajah telah menua, usia pun tak muda lagi. Lagi lagi kita berdamai dengan sendirinya tanpa saling menyalahkan siapa yang mendahului.

Bahkan hari hari dilewati dengan nasehat nasehat panjang, mengingatkan usia dan kelalaian. Memberi waktu untuk mengenang tapi bukan untuk dilakoni.  Membuat  menjadi buruk itu sekejap dan kita tidak ada niat sedikitpun menjadikan semua hancur dan buruk.

Sekarang membiarkan telepati hati dan pikiran kita bicara, bahagia dengan cara kita sendiri tanpa menghancurkan bahagia yang lain  

Entah kapan akan dipertemukan lagi. Mungkin setelah kita berada dalam rumah yang tanpa jendela, gelap dan dingin, yang berteman cacing cacing kelaparan serta beribu pertanyaan tentang kebaikan dan keburukan. 

Semoga di pertemukan kembali di surga_Nya yang indah seindah hati dan perasaan yang tetap terjaga, berada dalam akal sehat serta terjaga  dari nafsu diri yang mengutamakan kesenangan, kebahagiaan diri sendiri tanpa memperdulikan orang orang yang selalu ada disaat kita inginkan.

Cinta itu menyayangi, menerima, memahami dan tidak harus saling memiliki.

Sayang itu  secara wajar bukan mengutamakan ego dan nafsu.

Rindu itu tidak memaksakan kehendak diri sendiri. Membiarkan mengalir dan perasaan mengontrol diri agar tidak terjebak dalam  cinta masa lalu. Mengenang hanya di kenang jadi cerita anak cucu bukan untuk di ulang dan di lakoni.

Menjaga hati dan perasaan kita untuk tetap menjalani takdir dari_Nya dan bukan bermain dengan kecanggihan dunia 

Ruang kosong, 161220




 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun