Terkadang papa bisa menjadi sosok yang keras, dan tegas, terkadang berada di posisi membela anak anaknya, penyayang, bercanda bahkan kita sering mendengar dongeng serta tebak tebakan yang terkadang jawabannya di luar nalar kita.Â
Kenangan yang tak akan terhapus dalam perjalanan hidup dengan orang tua yang penuh cinta dan kasih sayang, serta pelajaran hidup yang begitu berharga. Apa lagi dengan "dendang si birang tulang" dan racikan sayurnya yang setiap hari di tunggu anak anak dan istrinya.
Mungkin karena aku anak tengah lebih banyak menghabiskan waktu dengan papa, bahkan setelah menikah pun jarak kotaku dan kota papa tidak begitu jauh, delapan jam perjalanan. Hingga akulah yang paling sering bolak balik semasa ke dua orang tuaku masih hidup.
Semua tinggal kenangan, yang akan selalu aku dan adik kakak, menjadi bahan cerita setiap kami berkumpul. Seakan mereka masih ada di antara kami anak anaknya.
Diantara kami berlima saudara, adik bungsu yang paling menerima keadaannya, menjalani kehidupannya dengan ikhlas, semua di jalaninya dengan enteng tanpa merasa terbebani, walau di dapur tanpa  bahan makanan.
Suami yang kerja serabutan, kadang ada kadang tidak, untuk bisa makan sehari hari saja itu sudah cukup baginya. Kalau kita sering telponan selalu dengan tawa walau sebenarnya nafasnya sesak dengan keadaan hidupnya.
Terkadang si bungsu menjadi penengah bila kita tidak mencapai mufakat. Â Semasa papa hidup pernah bilang.
" Nak sebagai anak tengah, papa yakin kamu bisa menjadi pundak  bagi kakak dan adikmu, dan kamulah yang akan menjadi penyelamat kehidupan mereka."
Di sambung dengan perkataan mama, walau awalnya aku tak memahami semuanya namun sedikit demi sedikit aku .
" Jika mama telah tiada, titip adik dan kakakmu, mereka ada di pundakmu,"
Awalnya aku ingin bertanya, kenapa harus aku? Kenapa bukan kakak tertua?. Tapi aku batalkan, karena aku tahu mama dan papa tidak akan bicara seperti itu, kalau papa dan mama tidak tahu karakter anaknya.