Mohon tunggu...
asni asueb
asni asueb Mohon Tunggu... Penjahit - Mencoba kembali di dunia menulis

menyukai dunia menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ketika Lelah Teramat dalam Perjalanan

28 November 2020   21:21 Diperbarui: 28 November 2020   21:36 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: anitamartini.blogspot.com

Episode 

Jingga, kau mengantarkan aku pada malam, dimana cerita terus bergulir dari perih hingga bahagia. Bahkan tapak yang terluka terlupakan

Aku menjalani tanpa rasa bahkan terasa hambar karena papa bilang

         "  Kehidupan itu di jalani bukan direnungkan apa lagi ditangisi."

          " Jika ingin menangis, menangis di sepertiga malam. Ceritakan padaNya,"

Aku tak pungkiri terkadang di sepertiga malam air mata ini tumpah di sajadah dan mukena. Sesal, amarah, sedih bahkan kebencian. Ketika fitnah menjatuhkan tubuh pada kotoran manusia. Tangan, kaki dan tubuh ini saksi bisu perjalanan rohani. 

Bagaimana aku bisa berlaku kejam di tanah_Mu, sedang itu rumah suci_Mu. Tangan ini yang mendorong kursi rodanya  untuk tawaf, tangan ini pula yang membawa kursi roda ke barisan depan untuk melempar jumroh.

Tangan ini yang memberi makan, tangan ini pula yang membasuh tubuhnya. Mengorbankan waktu Dhuha  di pelataran_Mu  hanya ingin memberi makan di pagi hari. Kenapa pengorbananku tak pernah di anggap.

Bahkan fitnah di lontarkan. Aku tahu Engkau tidak tidur, Engkau tahu apa yang aku lakukan bakti menantu terhadap mertuanya. 

Ketika lelahku tak dapat aku tahan lagi, seorang ustad berkata ( kebetulan ustad itu melihat bagaimana aku memperlakukannya)

      "Bunda, ketika upaya bunda untuk tetap  menjadi menantu yang perduli akan mertua, dan yang tidak pernah dia anggap, waktu dua puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Sekarang lupakan lelah ini yang terpenting cari keridhoan suami dan anak anak itu sudah cukup,"

        " Biarkan orang berkata apa, berjalan terus tetap bersikap baik walau tidak di anggap,  kita tak butuh penilaian orang yang terpenting tetap jaga hati kita."

Aku akan tetap kuat seperti janjiku pada papa dulu. Sebelum aku melangkah, seakan papa memahami bahwa aku akan mengalami hal hal itu. Semua wejangan papa beri, apa yang papa bilang satu persatu terbukti. Sekali pun sudah diberi gambaran hati ini tetap terluka.

Jingga...

Bila kali ini aku memalingkan wajah sendu ku kebelakang  bukan karena ingin kembali pada masa laluku  dimana jingga menawarkan warnanya untuk aku singgahi.

Aku hanya ingin sejenak bersama menghabiskan waktu senja untuk menyentuh malam dan mencoba menyusun kembali puzzel  puzzel  kehidupan yang membawa pada luka, mengenal arti hidup dan kehidupan.

Kembali menata hati tanpa ada dendam, kecewa, amarah. Berjalan sebagaimana Allah membimbingku. Semua akan terbuka pada waktunya.

Bila aku mampu memilih mungkin aku akan memilih jalan kehidupanku. Fitnah itu lebih menghancurkan bathin dari pada saat menerima ketentuan Allah tentang sakit yang diderita suami.

a. Sakit yang di derita suami, dua kali operasi jantung, sekali operasi di otak. Bolak balik rumah sakit di Jakarta, aku masih bisa menjadi istri yang tangguh tanpa keluh kesah, hadapi sendiri.

b. Ketika anak gadis bolak balik di meja operasi aku tetap menjadi ibu yang kuat, semua diurus sendiri karena keadaan suami saat itu tidak memungkinkan 

C. Si sulung pun bolak balik di meja operasi tumor di tenggorokan terlambat sedikit bisa bahaya. Aku tetap menjadi ibu yang kuat, menghadapi semua sendiri di Jakarta.

Tapi ketika kepulangan dari ibadah Haji, seminggu kemudian mendengar fitnah itu,aku tumbang. Dalam satu minggu badanku turun mengejutkan, sepuluh kilo!. Terkapar sakit, tapi suami memberikan kekuatan padaku agar melupakan semuanya, bagaimana pun itu orang tua.

Berbicara itu mudah dari pada melaksanakannya. Suami pun memahami semuanya, karena di tanah suci itu, dia menyaksikan bagaimana aku merawat ibunya, hanya satu yang tidak aku lakukan, disaat dia minta dibelikan selendang untuk oleh oleh, tidak dapat memenuhinya karena keadaan tubuh yang sangat lemah dan sakit setelah pulang dari menjalankan rangkaian wajib haji.

Ada benarnya kata pepatah lama, 

" Karena satu tetes nira rusak susu se belanga."

Hidup dalam fitnah tidaklah nyaman, namun aku berusaha untuk tetap ada, kuat demi anak anak dan  suami. Melewati satu tahap ke tahap lain bagai menaiki anak tangga semakin ke atas merasa takut dan tinggi ujiannya.

Allah menjawab semua lelahku bertahun tahun, semua berbalik menyerang kehidupan mereka, bukan aku, atau orang lain tapi anak dan cucunya yang memperlakukan tidak baik.

Aku dan suami, hanya bisa diam karena itu hukum alam yang berlaku, ikut campur juga kita tidak pernah di anggap. Kewajiban suami terhadap orang tuanya tetap dilaksanakan tanpa dikurangi apapun. Aku pun tak ingin suamiku menjadi anak durhaka.

Jingga inilah drama kehidupanku, yang syarat dengan makna, perjuangan, pengorbanan, kesetiaan. Aku akan selalu ingat nasehat papa dan mama

       " Sejahat apapun orang itu terhadapmu tetap berlaku baik terlebih orang tua dari suamimu.

Kita hidup masih membutuhkan orang lain, harta, tahta tak ada gunanya bila kita dengan keluarga, iparan, mamang ,keponakan orang tua tidak baik. Karena orang orang dekatlah yang akan membantu dan berkorban di kala kita terpuruk.

Cerita malam penutup akhir tahun, 281120

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun