Berbicara itu mudah dari pada melaksanakannya. Suami pun memahami semuanya, karena di tanah suci itu, dia menyaksikan bagaimana aku merawat ibunya, hanya satu yang tidak aku lakukan, disaat dia minta dibelikan selendang untuk oleh oleh, tidak dapat memenuhinya karena keadaan tubuh yang sangat lemah dan sakit setelah pulang dari menjalankan rangkaian wajib haji.
Ada benarnya kata pepatah lama,Â
" Karena satu tetes nira rusak susu se belanga."
Hidup dalam fitnah tidaklah nyaman, namun aku berusaha untuk tetap ada, kuat demi anak anak dan  suami. Melewati satu tahap ke tahap lain bagai menaiki anak tangga semakin ke atas merasa takut dan tinggi ujiannya.
Allah menjawab semua lelahku bertahun tahun, semua berbalik menyerang kehidupan mereka, bukan aku, atau orang lain tapi anak dan cucunya yang memperlakukan tidak baik.
Aku dan suami, hanya bisa diam karena itu hukum alam yang berlaku, ikut campur juga kita tidak pernah di anggap. Kewajiban suami terhadap orang tuanya tetap dilaksanakan tanpa dikurangi apapun. Aku pun tak ingin suamiku menjadi anak durhaka.
Jingga inilah drama kehidupanku, yang syarat dengan makna, perjuangan, pengorbanan, kesetiaan. Aku akan selalu ingat nasehat papa dan mama
    " Sejahat apapun orang itu terhadapmu tetap berlaku baik terlebih orang tua dari suamimu.
Kita hidup masih membutuhkan orang lain, harta, tahta tak ada gunanya bila kita dengan keluarga, iparan, mamang ,keponakan orang tua tidak baik. Karena orang orang dekatlah yang akan membantu dan berkorban di kala kita terpuruk.
Cerita malam penutup akhir tahun, 281120
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H