EpisodeÂ
Jingga, kau mengantarkan aku pada malam, dimana cerita terus bergulir dari perih hingga bahagia. Bahkan tapak yang terluka terlupakan
Aku menjalani tanpa rasa bahkan terasa hambar karena papa bilang
     " Kehidupan itu di jalani bukan direnungkan apa lagi ditangisi."
     " Jika ingin menangis, menangis di sepertiga malam. Ceritakan padaNya,"
Aku tak pungkiri terkadang di sepertiga malam air mata ini tumpah di sajadah dan mukena. Sesal, amarah, sedih bahkan kebencian. Ketika fitnah menjatuhkan tubuh pada kotoran manusia. Tangan, kaki dan tubuh ini saksi bisu perjalanan rohani.Â
Bagaimana aku bisa berlaku kejam di tanah_Mu, sedang itu rumah suci_Mu. Tangan ini yang mendorong kursi rodanya  untuk tawaf, tangan ini pula yang membawa kursi roda ke barisan depan untuk melempar jumroh.
Tangan ini yang memberi makan, tangan ini pula yang membasuh tubuhnya. Mengorbankan waktu Dhuha  di pelataran_Mu  hanya ingin memberi makan di pagi hari. Kenapa pengorbananku tak pernah di anggap.
Bahkan fitnah di lontarkan. Aku tahu Engkau tidak tidur, Engkau tahu apa yang aku lakukan bakti menantu terhadap mertuanya.Â
Ketika lelahku tak dapat aku tahan lagi, seorang ustad berkata ( kebetulan ustad itu melihat bagaimana aku memperlakukannya)
   "Bunda, ketika upaya bunda untuk tetap menjadi menantu yang perduli akan mertua, dan yang tidak pernah dia anggap, waktu dua puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Sekarang lupakan lelah ini yang terpenting cari keridhoan suami dan anak anak itu sudah cukup,"