Mohon tunggu...
Nok Asna
Nok Asna Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Senja dan Sastra.

Penikmat Senja dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Indahnya Pesona Air Terjun Tumpak Sewu di Lumajang

25 Februari 2018   13:51 Diperbarui: 15 Maret 2019   13:21 3320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampakan Tumpak Sewu dari lembah air terjun (dok.pribadi)

Selain gunung Bromo juga Semeru, Jawa Timur mempunyai deretan air terjun yang menakjubkan. Misalnya air terjun Madakaripura di Probolinggo, Kapas Biru di Lumajang, dan Tumpak Sewu yang ternyata tidak kalah cantik. 

Orang Jawa Timur biasanya menyebut air terjun dengan sebutan coban (bukan cobaan). Tumpak Sewu merupakan air terjun yang berada di Desa Sidomulyo, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang. Ada yang bilang kalau Tumpak Sewu ini masuk dalam wilayah Kabupaten Malang. Ya, Tumpak Sewu memang terletak di perbatasan antara Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang. Entahlah! Semoga jangan sampai berselisih seperti Kediri vs Blitar yang pernah memperebutkan gunung.

Pagi itu, ditemani saudaranya teman, saya menuju lokasi air terjun Tumpak Sewu. Agenda utama ke Lumajang sebenarnya untuk menghadiri pernikahan teman kuliah. Saya pikir, mumpung ke Lumajang tiada salah sekalian menyapa Tumpak Sewu. Sekitar pukul 07.00 WIB, berangkatlah kami dari pusat kota Lumajang menuju Pronojiwo. Saya dibonceng naik motor traildan inilah pengalaman pertama saya. Ih, ternyata seru juga naik motor trail.

Sekitar pukul 10.00 WIB kami sampai di lokasi air terjun Tumpak Sewu. Saya tidak tahu pasti waktu tempuh dari pusat kota Lumajang sampai Pronojiwo karena kami mampir di hutan bambu yang merupakan tempat wisata baru di Lumajang. 

Setelah motor diparkir dan bayar tiket masuk (sebesar 10 ribu per orang dan biaya parkir 5 ribu), kami segera turun ke bawah. Sayangnya, kami sudah dapat kabar buruk dari bapak tukang parkir. Katanya, kami tidak bisa turun ke bawah karena sedang ada renovasi jalur trekking. Kami hanya bisa menikmati air terjun dari pos Panorama.

Kami pun turun dengan kaki yang terasa berat. Yah, bakalan gagal dong menikmati percikan air terjun? Sesampainya di pos Panorama, kami langsung disuguhi pemandangan yang sungguh cantik. Keindahan air terjun ditambah dengan pelangi yang nampak malu-malu.

Tumpak Sewu dari pos Panorama(dok.pribadi)
Tumpak Sewu dari pos Panorama(dok.pribadi)
Barangkali air terjun itu semacam punya mantra untuk menarik seseorang sehingga lebih dekat dan semakin mendekat. Beberapa kali bapak tukang yang bekerja di dekat kami mengingatkan agar tidak melanggar pagar batas. 

"Saya tidak akan berhenti sampai di sini. Saya harus turun sampai ke lembah air terjun!", kata saya dalam hati. Seperti paham suara hati dan raut muka saya, teman saya menawarkan untuk turun ke bawah, namun melalui jalur dari kabupaten Malang. Memang air terjun Tumpak Sewu bisa diakses dari Lumajang dan dari Malang. Namun, katanya dari Lumajang lebih mudah dijangkau. 

Saya mengamati anak tangga yang samar-samar di depan mata, ialah penampakan jalur trekking dari Malang. Anak tangga yang tidak ergonomis sama sekali.

Jalur trekking dari Malang (dok.pribadi)
Jalur trekking dari Malang (dok.pribadi)
Namun, belum sempat beranjak dari pos Panorama, salah seorang bapak tukang yang sibuk bekerja membawa angin segar, katanya, barusan sudah ada beberapa orang trekking ke bawah, termasuk 2 orang wisatawan asing. Kesimpulannya, berarti kami bisa turun dan aman. Saya dan teman saya berhasil meyakinkan 2 remaja laki-laki yang datang dari Jember untuk trkekking bersama menuju lembah air terjun. 

Kami berempat pun turun. Kaki baru melangkah turun beberapa meter, kami dihadang oleh 2 orang bapak-bapak. Mereka menyuruh kami balik ke atas dengan arti lain melarang untuk melanjutkan turun ke lembah. Teman saya mencoba meyakinkan kedua bapak itu. Saya pasang senyum selebar mungkin berharap bisa membantu. Walhasil, mereka mengizinkan kami berempat turun ke bawah asal hati-hati dengan kondisi jalan.

Tangga yang terbuat dari bambu memang sudah banyak yang lapuk dan rusak, sehingga kami harus berhati-hati. Ini pengalaman pertama saya ke Tumpak Sewu. Teman saya sudah beberapa kali dan kecepatan langkahnya tentu berbeda dengan saya. Barangkali sambil merem pun dia bisa sampai ke lembah air terjun dengan selamat.

Selain tangga bambu yang rapuh, bebatuan licin, terjal dan curam, ada juga tangga dari semen di beberapa titik. Namun, lebih banyak jalanan bebatuan licin yang selalu dialiri air. Hanya ada tali tambang untuk berpegangan, akar tanaman, atau dahan yang bisa diraih. Sebaiknya jangan berpikir untuk berpegangan kepada tangan mantan. :D

Sebelum menginjakkan kaki, sebaiknya pastikan dulu pijakan tidak licin dan tidak mudah longsor. Sekali terpeleset, bebatuan siap menyambut anda, juga jurang yang menganga lapar. Jalanan trekking ini sungguh membuat kaki saya gemetar. Saya tidak akan melangkah jika kaki tidak yakin. Kaki saya selalu aktif meraba-raba jalan agar saya tidak terpeleset. Seringkali juga saya harus ndelosor biar selamat.

Tempat ini masih sangat perawan. Saya tidak sengaja melihat bekas bungkus kondom dan sampah plastik lainnya. Pengunjung hendaknya tahu jika membuang sampah harus pada tempatnya agar tempat yang indah ini tidak tercemari dengan sampah.

Air mengalir begitu jernih. Kami bergegas agar tidak bertemu hujan karena tentu akan menambah berat perjalanan. Sepanjang perjalanan saya tak henti-hentinya baca mantra kekuatan dan keselamatan. Kaki, tangan, mata bekerja demi mendapatkan pijakan yang aman. Hingga tibalah kami menyeberangi sungai di atas jembatan kecil yang dibuat pengelola kemudian menyeberang sungai lagi dengan berpegangan pada sebuah tali tambang. Sungai lumayan deras membuat tubuh berayun-ayun. Hingga sampailah kami di lembah air terjun Tumpak Sewu.

Inilah penampakan air terjun Tumpak Sewu.

Spot hits di air terjun Tumpak Sewu (dok.pribadi)
Spot hits di air terjun Tumpak Sewu (dok.pribadi)
Percikan air terjun menimpa wajah, seperti ucapan selamat datang. Saya pun naik di sebuah batu besar yang merupakan spot yang paling hits di tempat ini. Tanpa diminta pun teman saya tahu kalau saya ingin difoto. Kaki saya gemetar saat landing di batu ini. Apalagi di bawah ada sungai yang deras. Kawan tidak bagus bagi seseorang yang tidak bisa berenang.

Dengan duduk di batu ini rasanya impas sudah perjuangan saya yang sampai ndelosor tadi.

Setelah puas berfoto, kami pulang dengan jalur berbeda dari yang dilewati tadi. Saya diajak teman saya melihat wisata goa Tetes. Saya mengiyakan saja. Kami mulai menelusuri jalan bebatuan licin, terjal, dan menyeberangi sungai lagi. Napas sampai hanya tinggal Senin-Kamis. Kami sering berhenti untuk menyambung napas dan mengumpulkan energi. 

Sesampainya di wisata goa Tetes malah tidak ada dari kami yang mau naik karena sudah hampir kehabisan tenaga. Kami pun hanya duduk di tempat biasanya penduduk membuka warung. Karena jalur trekking masih ditutup, para pedagang tidak ada yang membuka warungnya. Kami duduk menikmati harmoni alam. Gemericik air yang merdu, suara monyet yang sedang mengayun-ayun di dahan.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Air mengalir jernih yang menimbulkan keinginan untuk meminumnya.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Kami bertemu beberapa remaja yang beristirahat setelah dari wisata goa Tetes. Saya tidak melihat mereka saat di lembah Tumpak Sewu. Mereka sepertinya khusus menikmati wisata goa Tetes. Salah satu dari mereka ada yang kakinya berdarah terkena bebatuan, untunglah saya sedia plester pembalut luka waktu itu.

Trekking pulang ternyata lebih jauh dari saat berangkat tadi. Kaki sudah berdenyut, tubuh terasa berat, napas tinggal satu-dua, namun saya harus tetap konsentrasi agar tidak terpeleset. Beberapa kali kami beristirahat, sekedar duduk untuk mengumpulkan puingan napas yang hampir habis. Saya pasang koyo di kedua kaki. Gerimis mulai jatuh dan kami harus bergegas kembali ke atas.

Akhirnya, sayup-sayup suara deru kendaraan membuat saya bersemangat karena berarti tempat parkir sudah semakin dekat. Saya bertemu dengan penduduk lokal yang menawarkan buah salak secara cuma-cuma. Yah, penduduk lokal banyak yang menanam buah salak, sehingga salak melimpah dan harganya sangat murah.

Sampailah saya di tempat parkir dengan keringat bercucuran dan napas yang mulai teratur kembali. Tukang parkir seperti keheranan menatap kami. "Bukannya tadi hanya diijinkan sampai pos Panorama, kenapa lama sekali dan kembali dengan keadaan penuh peluh?" Barangkali itu yang sedang dipikirnya.

"Kami ke lembah Tumpak Sewu dan pulang melalui jalur goa Tetes." batin saya. Hahaha...

Oh, ya. Kalau kalian berkeinginan menyambangi air terjun ini pastikan barang berharga aman dan tidak basah. Sebelum trekking, bungkus semua barang berharga dengan plastik atau apa saja yang bisa menjaganya tetap kering. 

Jangan lupa pakai sunblock, sandal atau sepatu gunung yang nyaman dan tidak licin, baju ganti juga perlu. Makanan kecil dan minuman, serta obat-obatan pribadi untuk pertolongan pertama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun