Mohon tunggu...
Nok Asna
Nok Asna Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Senja dan Sastra.

Penikmat Senja dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Eksistensi Wam dalam Kehidupan Masyarakat Suku Lanny

5 Juni 2017   14:07 Diperbarui: 8 Mei 2019   13:21 1488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wam atau babi merupakan hewan yang sangat berharga di mata suku Lanny di Kabupaten Lanny Jaya. Hampir semua masyarakat yang tinggal di Kabupaten Lanny Jaya memelihara wam. Sejak jaman dahulu suku Lanny telah menjadikan wam sebagai harta yang paling berharga. Mereka beranggapan bahwa wam layaknya emas yang bagi orang Jawa sangat berharga. Kenapa wam? Menurut mereka hidup di Pegunungan sangat terbatas akan sumber daya. Hanya wam yang mereka miliki sehingga mereka menjadikan wam sebagai harta yang paling berharga. Tidak heran jika harga seekor wam di Lanny Jaya bisa mencapai Rp 60 juta.

Suku Lanny memberi perlakuan yang istimewa kepada wam peliharaannya. Tinggal satu Honai (rumah adat Papua) dengan wam merupakan cara melindungi wam mereka dari maling atau supaya terlindung dari hawa dingin, mengingat suhu udara di Lanny Jaya berkisar 11-9 °C. Beberapa masyarakat yang tinggal di Ibu Kota Kabupaten sudah jarang yang tidur dalam satu Honai bersama wam. Namun, masih banyak ditemui kandang wam dan dapur berada dalam satu Honai yang sama.

Apabila induk wam meninggal, wanita pemilik wam akan menyusui anak-anak wam yang ditinggal induknya tersebut. Salah satu informan kami menceritakan bahwasanya dulu ibunya memperlakukan anak wam layaknya anak sendiri. Selain disusui, anak wam yang kehilangan induk tersebut juga digendong saat bepergian ke mana pun. Informan yang saat itu masih anak-anak ingat betul jika ibunya membiarkan dia jalan kaki sendiri dan memilih menggendong anak wam daripada dirinya.

Kedekatan hubungan wam dan masyarakat suku Lanny bukan tanpa sebab. Masyarakat suku Lanny percaya bahwa wam merupakan jelmaan manusia yang rela berkorban demi saudaranya. Terdapat legenda asal-usul wam yang dipercaya sejak zaman dahulu. Legenda asal-usul wam ini kami dapatkan dari salah satu pengajar sekolah agama Kristen di Lanny Jaya.

Musan, seorang wanita yang dipercaya telah menjelma menjadi wam demi ketiga saudara laki-lakinya yang hidup sangat miskin. Suatu hari Musan berpikir ingin melakukan sesuatu untuk menolong keluarga mereka dari jeratan kemiskinan. Keesokan harinya Musan mengumpulkan ketiga saudara laki-lakinya dan berjanji akan memberikan sesuatu kepada mereka yang berharga. Musan berharap ketiga saudara laki-lakinya bisa memanfaatkan sesuatu tersebut untuk makan jika lapar, sebagai maskawin jika hendak menikah, dan jika ada keperluan lainnya bisa dijual untuk mendapatkan uang.

Demi menepati janjinya, Musan pergi ke suatu tempat dan berpesan kepada ketiga saudara laki-lakinya untuk bertemu 3 hari kemudian di tempat yang telah disebutkan. Menurut cerita keluarga ini tinggal di Kurima (salah satu desa yang dekat dengan Yahukimo). Waktu yang dijanjikan telah tiba, ketiga saudara laki-laki tersebut sangat terkejut karena menjumpai seekor wam betina dengan 4 ekor anak wam jantan dan betina di tempat yang telah dijanjikan oleh Musan. Ketiga saudara laki-laki tersebut teringat janji kepada saudari perempuannya agar menjaga dan memelihara harta yang telah dipersembahkan saudarinya untuk menyelamatkan mereka dari kemiskinan.

Rupanya ketiga saudara laki-laki tersebut menepati janji mereka sehingga seiring waktu wam berkembang biak dan bahkan jumlahnya diperkirakan melebihi populasi manusia pada saat itu. Sehingga timbul sebuah gagasan untuk memasak wam dalam jumlah yang besar agar bisa dinikmati semua orang. Gagasan inilah yang dipercaya menjadi asal mula diadakannya upacara Barapen atau Bakar Batu.

Sampai saat ini masyarakat yang memelihara wam memberinya makan dengan ubi yang diberi nama Musan sebagai salah satu cara untuk mengingat pengorbanan Musan demi saudara-saudaranya. Legenda asal-usul wam ini muncul dan menjadi salah satu penyebab eratnya hubungan yang terjalin antara wam dan masyarakat suku Lanny.

Sebagai harta bagi masyarakat suku Lanny, wam merupakan salah satu unsur penting untuk upacara adat atau keperluan sebagai berikut:

1. Upacara Perdamaian

Ketika pemimpin perang berniat menghentikan peperangan dengan suku lain, jalan damai akan ditempuh. Pemimpin perang meminta warganya untuk menghitung jumlah wam yang ada di desa tempat tinggalnya. Perhitungan tersebut untuk melihat kecukupan jumah wam untuk membayar sejumlah nyawa yang hilang dari pihak musuh selama terjadi perang. Biasanya setiap kepala harus dibayar dengan sekitar 80-100 ekor wam. Setelah penyerahan wam kepada pihak lawan, pemimpin perang akan mematahkan atau mengikat busur panah sebagai tanda berakhirnya perang. Selanjutnya kedua belah pihak menggunakan wam yang terkumpul sebagai pengganti nyawa tersebut untuk makan bersama.

2. Upacara Barapen (Bakar Batu)

Upacara bakar batu biasanya dilakukan untuk mengucapkan syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan. Sehingga dalam upacara tersebut harus mempersembahkan sesuatu yang paling berharga yang dimiliki oleh suku Lanny, ialah wam. Seseorang yang mempersembahkan seekor anak wam untuk upacara bakar batu akan lebih mendapatkan penghargaan daripada orang yang menyumbangkan uang puluhan juta rupiah.

3. Maskawin

Sebelum bisa menikahi seorang wanita suku Lanny, pihak laki-laki harus mempersembahkan beberapa ekor wam sebagai syarat mutlak. Jumlah wam untuk maskawin disesuaikan dengan kemampuan dari pihak laki-laki. Jika seorang laki-laki memberikan 5 ekor wam kepada keluarga pihak wanita, seekor wam harus diberikan ke gereja sebagai persembahan. Mereka yang mempunyai banyak peliharaan wam bisa menikahi beberapa wanita. Namun, sejak Injil datang, praktek poligami mulai berkurang. Poligami dilakukan jika ada permasalahan yang timbul di keluarga seperti misalnya istri pertama tidak bisa memberi keturunan.

4. Upacara Membuka Kebun Baru

Istilah upacara membuka kebun baru oleh suku Lanny disebut Yerobo. Selain beternak, suku Lanny juga berladang sebagai mata pencaharian mereka. Upacara pembukaan kebun baru dilaksanakan dengan menggunakan darah wam untuk diteteskan di kebun mereka. Tetesan darah wam dipercaya akan membantu menjaga kesuburan kebun.

5. Upacara Kematian

Wam digunakan dalam tiga rangkaian proses upacara peringatan kematian. Pertama, saat ada orang yang meninggal, minimal dua ekor wam disiapkan. Seekor untuk makan bersama dan seekor yang lain untuk diberikan kepada pihak yang pantas menerima, seperti paman dari orang yang meninggal. Status sosial turut berpengaruh terhadap jumlah wam yang diberikan. Kedua, selama berduka keluarga dari orang yang meninggal tidak akan bekerja selama 2-3 bulan. Setelah kurun waktu tersebut diadakan pelepasan duka dengan menggunakan wam sehingga keluarga yang berduka bisa kembali bekerja. Ketiga, sekitar 10 bulan setelah kematian, wam diberikan kepada orang yang dianggap berkorban saat kedukaan sebagai ucapan terima kasih. Orang tersebut misalnya yang memotong jari atau telinga sebagai tanda duka.

6. Upacara Kelahiran

Keluarga dari seorang perempuan yang baru melahirkan akan menyembelih wam dengan jumlah tertentu untuk dibagikan kepada masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesuburan perempuan tersebut. Jika ada keluarga yang tidak menjalankan upacara kelahiran, masyarakat percaya bahwa perempuan tersebut tidak akan bisa melahirkan anak lagi.

7. Pengobatan tradisional

Pengobatan tradisional yang dikenal masyarakat suku Lanny salah satunya adalah menggunakan media hewan berupa wam. Ketika ada yang sakit, cukup mengambil wam peliharaan kemudian ditenggelamkan dalam bak atau kolam berisi air hingga wam tersebut mati. Proses ini dilakukan sambil memohon kepada nenek moyang agar si sakit diberikan kesembuhan. Wam yang akan digunakan untuk pengobatan tidak boleh dipotong atau dipanah. Kaki dan tangan wam dipegang dan bagian muka ditenggelamkan ke dalam air. Wam jantan diperuntukkan jika yang sakit laki-laki, dan wam betina untuk yang sakit perempuan. Syarat lain dalam pengobatan ini adalah wam yang digunakan harus merupakan peliharaan sendiri.

Setelah wam mati, bulunya dibersihkan dengan cara dibakar dan digosok sampai bersih. Setelah bersih wam dibelah untuk kemudian dicari bagian yang sakit atau luka. Bagian tubuh wam yang tampak luka kemudian diguyur dengan air mengalir dan diremas pelan (bisa menggunakan kantong bekas beras). Setelah digunakan untuk serangkaian proses pengobatan, daging wam bisa dimakan bersama keluarga.

Salah satu informan yang kami temui pernah melakukan pengobatan tradisional dengan belah wam sekitar tahun 2011 ketika cidera punggungnya kambuh. Informan mengaku pernah mengalami cidera punggung pada tahun 1977 akibat melarikan diri dari sebuah peristiwa penembakan dan kemudian terjatuh. Setelah berobat secara medis ternyata cidera punggungnya tidak kunjung sembuh, hingga akhirnya dia mengaku sembuh setelah melakukan pengobatan tradisional ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun