“Like all great travelers, I have seen more than I remember, and remember more than I have seen….”
(Benjamin Disraeli)
Proses Upacara Barapen (Bakar Batu)
Hari ketiga tinggal di Ibu Kota Kabupaten Lanny Jaya, Tiom, saya berkesempatan untuk menyaksikan secara langsung upacara Bakar Batu atau yang oleh masyarakat Papua disebut Barapen. Pagi hari sekitar pukul 10.00 WIT, bergegas saya menuju lokasi Barapen yang waktu itu dilaksanakan di Desa Dugom, Distrik Tiom. Upacara Barapen kali ini dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas didirikannya gereja di desa tersebut. Selain untuk peresmian gereja, upacara Barapen umumnya dilaksanakan saat pesta pernikahan, pesta ulang tahun, peringatan paskah dan natal, serta syukuran kelahiran anak.
Betapa excited-nya saya untuk menyaksikan serangkain proses dalam upacara Barapen. Barangkali karena saya baru pertama kali menyaksikan secara langsung upacara Barapen setelah hanya menonton di sebuah acara televisi.
Setibanya di lokasi, nampak asap membumbung tinggi di udara berasal dari pembakaran batu yang akan digunakan untuk memasak. Menurut penuturan salah seorang informan, batu yang digunakan untuk upacara ini diambil dari sungai oleh masyarakat. Kemudian dibakar menggunakan kayu kasuari dengan tanpa bensin atau minyak tanah. Jumlah batu yang dibakar hanya menurut perkiraan saja, tidak ada standar baku untuk jumlahnya. Proses pembakaran batu sendiri memerlukan waktu kurang lebih 2-3 jam. Sembari menunggu batu dibakar dan panas, bahan makanan yang akan dimasak pun dipersiapkan.
Barapen merupakan tradisi yang ada sejak dahulu kala. Konon menurut informan, upacara ini pertama kali dilakukan untuk mengurangi populasi babi yang meningkat tajam melebihi jumlah populasi manusia. Sehingga diadakanlah upacara masak babi secara besar-besaran dan melibatkan masyarakat dari beberapa daerah. Sedangkan untuk penggunaan batu sendiri sebagai alat masak bukanlah karena semata-mata suku Lanny pernah mengkuduskan batu besar sebagai tempat hidupnya arwah yang telah mati. Kepercayaan terhadap arwah yang bersemayam di dalam batu perlahan mulai hilang setelah para Misionaris datang membawa injil. Kembali kepada penggunaan batu, adalah alat untuk memasak karena menurut mereka batu yang panas akan lebih efektif digunakan memasak dari pada menggunakan air panas. Batu bisa menyimpan panas lebih lama dari air panas, sehingga jika digunakan untuk memasak, maka makanan akan matang dengan baik.
Masyarakat yang mengikuti upacara Barapen tidak hanya dari Distrik Tiom, melainkan juga dari Distrik di Luar Tiom. Termasuk dari luar Kabupetan Lanny Jaya, seperti dari Tolikara, Puncak Jaya, dan Jaya Wijaya. Mereka berkumpul per keluarga untuk menyiapkan babi dan bahan makanan lain seperti sayur bingga (daun umbi), ipere (umbi) jagung, labu dan lainnya. Setiap keluarga biasanya menyumbang 5-6 ekor babi untuk upacara Barapen. Harga seekor babi di Lanny Jaya bisa mencapai 60 juta rupiah. Menurut informan, dalam upacara Barapen kali ini kurang lebih ada 398 ekor babi yang dimasak. Sungguh nilai yang cukup fantastis jika mengingat tingginya harga babi di Lanny Jaya bukan?
Upacara Barapen melibatkan sanak saudara dari distrik lain. Hal ini merupakan perwujudan dari rasa kebersamaan, senasib dan sepenanggungan. Jika ada keluarga yang tidak mampu memberi persembahan babi untuk upacara Barapen, maka keluarga lain akan membantu menyumbangkan babi miliknya. Prinsip gotong royong dan kebersamaan begitu melekat pada jiwa suku Lanny.
Suara nyanyian menguar di udara. Yel-yel pembangkit semangat pun teralun dari pita suara mereka.” Hoyaaa….hoyaa….hoyaa….” adalah sarana pembakar semangat pada upacara Barapen. Jika digambarkan, menurut salah seorang informan, seperti semangat ketika seorang laki-laki bertemu dengan seorang wanita dalam sebuah acara.
Para peserta menjalankan tugas sesuai dengan jobdes-nya masing-masing. Kesibukan mulai nampak di tempat pelaksanaan upacara Barapen. Panitia dengan toa ditangannya memberikan instruksi pelaksanaan upacara. Sesekali terucap kata “waa…waa…kinaonak…!” yang berarti ucapan terima kasih atas kerja sama dan terselenggaranya upacara ini. Butuh waktu sekitar satu bulan untuk mempersiapkan upacara Barapen kali ini.
Sekelompok laki-laki sibuk mambawa perlengkapan seperti ranting pohon kasuari, dedaunan dan rerumputan, serta tongkat kayu yang sudah dibelah dibagian ujungnya untuk mengambil batu panas. Sedangkan para mama nampak sibuk menyiapkan sayur bingga dan ipere yang telah mereka bawa dengan noken di kepalanya.
Para peserta barapen membentuk kelompok yang terdiri dari 5-6 orang untuk mempermudah pembagian makanan. Sayur dan ubi lebih dahulu dibagikan, disusul kemudian daging babi. Mereka yang sudah membentuk kelompok dengan sabar menunggu makanan. Para pembagi makanan berlari-lari menuju kelompok-kelompok yang sudah siap menerima makanan dengan alas daun yang mereka tata di depan mereka. Tidak ada piring atau sebangsanya kecuali untuk tamu undangan.
Upacara Barapen dan Kaitannya dengan Kesehatan
Daging babi yang dimasak saat upacara Barapen ketika itu nampak kurang matang. Sedangkan mengkonsumsi daging babi yang kurang matang merupakan faktor risiko penyakit sistiserkosis dan taeniasis. Sepulangnya dari Tiom saya kemudian berdiskusi dengan salah satu dosen Epidemiologi dari FKM Unair mengenai cacing pita pada babi.
Menurut beliau yang juga berprofesi sebagai dokter umum, menjelaskan bahwa ketika manusia memakan daging babi yang kurang matang, maka akan mengalami dua kemungkinan, yaitu sistiserkosis atau taeniasis. Pertama, babi yang kurang matang kemungkinan mengandung kista atau sistiserkus aktif yang jika tertelan dan keluar dari organ pencernaan akan menginfeksi organ tubuh seperti otak, paru, dan organ lainnya. Apabila otak terinfeksi sistiserkus maka akan menyebabkan kerusakan pada otak yang dikenal dengan isitilah neuro sistiserkosis. Penderita akan mengalami kejang atau epilepsi yang dapat berujung pada kematian. Selanjutnya, kemungkinan kedua adalah jika kista termakan dan tetap di saluran pencernaan maka kista akan tumbuh menjadi cacing pita dewasa (taeniasis). Cacing pita atau Taenia solium akan menyerap nutrisi makanan penderita sehingga dapat menyebabkan malnutrisi jika tidak segera diobati.
Barapen merupakan kebudayaan masyarakat di Pegunungan tengah Papua dan salah satunya adalah Kabupaten Lanny Jaya. Upacara ini seringkali dilaksanakan untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan. Sehingga menurut masyarakat, mereka harus mempersembahkan sesuatu paling berharga yang mereka miliki, dan itu adalah babi. Ketika upacara Barapen mereka mempersembahkan babi peliharaan sendiri, akan tetapi jika kebutuhan akan babi begitu banyak, terkadang mereka membeli babi dari luar kabupaten.
Wam atau babi ibarat emas bagi masyarakat suku Lanny. Oleh karena itu, hampir 98% masyarakat memelihara babi di rumah mereka. Pemeliharaan babi ada yang di kandang dan diberi makan oleh pemiliknya, namun sebagian besar masyarakat melepas begitu saja babi peliharaan mereka. Sehingga babi-babi tersebut mencari makan sendiri. Hal ini menyebabkan babi makan segala sesuatu yang ada di depan matanya termasuk tinja manusia. Apalagi masyarakat di Tiom masih suka buang hajat di sembarang tempat.
Taeniasis merupakan Neglected Tropical Disease (NTD) atau penyakit tropis yang seringkali masih terabaikan. Selama di Tiom saya sempat menemui seorang pasien taeniasis. Pasien ini berusia kurang lebih 17 tahun dan sudah sekolah di bangku SMA. Sejak 8 bulan yang lalu dia dan saat saya temui (Juni 2016) tubuhnya kejang-kejang. Bahkan jika kita duduk sebangku di sampingnya, maka kita akan merasakan getaran akibat kejangnya. Penyakit yang dideritanya membuat dia harus off untuk sementara dari sekolah. Makan selalu disuapi oleh ibunya, untuk berjalan tertatih-tatih dan harus dibantu. Bahkan air liur yang selalu menetes harus dibantu dibersihkan juga oleh ibunya.
Dia pernah dirawat di RSUD Tiom dan sempat tidak sadarkan diri. Waktu itu kedua orang tuanya sudah pasrah dengan kondisi anaknya. Sebelumnya pernah dibawa ke Puskesmas dengan keluhan sakit perut, muntah dan sakit kepala. Kemudian tenaga medis yang memeriksanya memberikan obat maag dan paracetamol, serta CTM karena pasien juga mengeluh tidak bisa tidur. Pasien juga sempat di tes darahnya dan hasilnya menunjukkan tidak ada kelainan.
Sudah berganti-ganti dokter dan obat, pasien tak kunjung membaik, malah keadaanya semakin memburuk yakni kejang-kejang. Hingga muncul kecurigaan petugas Puskesmas jika dia menderita kecacingan. Saya berpikir jika dia positif menderita kecacingan, maka kemungkinan masyarakat ada juga yang menderita penyakit serupa mengingat faktor risiko yang tinggi. Sehingga diharapkan pemerintah mampu membuat program untuk menyelesaikan masalah kecacingan di Kabupaten Lanny Jaya.
Akhirnya, saya dan seorang petugas analis medis Puskesmas membujuk kedua orang tua pasien agar membawa tinja pasien untuk diperiksa di lab Puskesmas. Saat itu listrik di Tiom sudah hampir 4 minggu tidak menyala, sehingga kami mengandalkan senter HP sebagai penerangan mikroskop. Setelah diperiksa, tinja pasien positif mengandung telur cacing ascaris yang sudah menetas. Rupanya dugaan pasien terinfeksi cacing pita babi belum terbukti.
Kami langsung meminta pasien untuk minum obat cacing berupa pirantel pamoat dan berpesan untuk memanggil kami ketika pasien berak. Keesokan harinya ayah pasien memberitahu kami bahwa pasien berak mengeluarkan cacing. Setelah kita amati tinja pasien nampak ada segmen cacing yang putus. Kami bertanya-tanya cacing apakah yang menginfeksi pasien? Jika ascaris, morfologinya tidak seperti ascaris.
Setelah berdiskusi, saya diminta petugas analis medis untuk mengantarkan albendazol ke rumah pasien. Keesokan harinya pasien berak cacing sepanjang kurang lebih 2 meter dan dilihat secara morfologi itu adalah cacing Taenia solium. Ibu pasien harus menarik cacing itu melalui anus karena cacing tidak kunjung keluar sangking panjangnya. Cacing tersebut dalam keadaan mati dan ditaruh di atas daun pisang oleh ibu pasien untuk ditunjukkan kepada kami. Seumur hidup saya baru pertama kali melihat cacing sepanjang itu keluar dari tubuh manusia. Maklumlah jika saya mengambil gambar cacing tersebut dengan gemetaran.
Sejak saat itu kondisi pasien mulai membaik. Saya mendapat kabar teman yang tinggal di Tiom bahwa dia sudah bisa berjalan, bermain bersama teman-temannya dan kembali bersekolah. Saya jadi ingat, sejak saya diminta membawa obat albendazol untuk pasien, kedua orang tua pasien memanggil saya dengan sebutan dokter. Saya ingin menjelaskan kalau saya bukan dokter, tapi, ya sudahlah! “Terimakasih, bu dokter! Tuhan memberkati,” kata mereka. Hingga saat ini, raut wajah bahagia kedua orang tua pasien masih teringat di benak saya.
Barangkali kasus tersebut merupakan salah satu yang berhasil saya temui diantara beberapa kasus yang belum ditemukan. Harapannya jika ada pasien serupa, maka segera ditemukan dan mendapat pengobatan. Terlebih jika pasien terinfeksi taeniasis dari kesertaannya dalam upacara barapen.
Apabila daging babi yang dimasak saat upacara Barapen matang secara sempurna, maka daging tersebut aman untuk dikonsumsi. Suhu sangat mempengaruhi tingkat kematangan daging selain tebal atau tipisnya irisan daging babi ketika dimasak. Mungkin perlu adanya penelitian tentang suhu dan jumlah batu pada saat upacara barapen sehingga daging babi bisa matang sempurna. Juga perlu adanya regulasi dan sosialisasi bagi masyarakat mengenai tata cara pemeliharaan babi yang baik dan benar. Pemberian obat cacing secara rutin kepada masyarakat merupakan jalan akhir untuk membasmi penyakit akibat cacing pita babi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H