Bukan ada rencana untuk menjadi kuning. Memang kuning.Â
   Merah. Ya,  memang terkadang jagung tua terlihat merah.Â
   Di sudut perempatan, di dalam pasar, kota Mojokerto. Ada penjual nasi jagung. Mak Ton, biasa pelanggan memanggil.
   "Nasinya mana Mak? Tanya Bill Bejo bin Bejo, yang mencoba ingin mencicipi nasi jagung.
   "Tidak ada, Pak", jawab Mak Ton, "nasi jagung ya dari jagung".
   Rupanya Bejo baru tahu, kalau yang namanya nasi jagung, hanyalah jagung yang dihaluskan. Dimasak bagaikan nasi. Tidak ada nasinya.
   " Kok warnanya "KUNING"? Tanya Bejo lagi. Entah memang ia tidak tahu atau pura-pura.
   "Sejak dulu, memang warnanya kuning," jawab Mak Ton dengan sabar.
   "Kok yang tua warnanya "MERAH?" Tanya Bejo lagi.Â
   Sebentar melihat Bejo, tanpa menjawab, sambil terus membungkuskan pesanan Bejo.Â
   "Ini Pak, nasi jagungnya". Mak Ton menyodorkan sebungkus nasi jagung.
   "Berapa?"
   " Sepuluh ribu". Jawab Mak Ton.
   Sambil menberikan selembar uang sepuluh ribu rupiah, Bill Bejo bin Bejo mengucap, " terimakasih!"Â
Tapi ia tidak bergegas meninggalkan gerobak Mak Ton. Dalam hatinya, kok murah ya?
Akhirnya ia pun memberanikan diri untuk bertannya, " kok murah Mak?"
   "Ya memang segitu."
  "Tapi kok jagung yang tua, yang merah kok mahal Mak?" Tanya Bejo lagi.
   Mak Ton hanya menoleh diam, tak menjawab.
   Bill Bejo bin Bejo pun meninggalkan  Mak Ton, rombong Mak Ton, penjual nasi jagung. Sambil berucap pelan, "yang kuning kok murah ya?"
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H