Pernah mendengar ungkapan generasi penunduk? Mungkin itu adalah sebuah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan situasi sekarang. Bisa kita temui disepanjang jalan, area pertokoan, mall, sekolah, tempat makan, transportasi umum, hampir semua orang menundukan kepalanya, asik dengan handphone yang dipegang, tampak terlihat tidak mempedulikan lagi keadaan disekitar lingkungannya. Sungguh pemandangan yang sangat menyesakkan mata dan perasaan.Â
Namun kita tidak bisa serta merta menyalahkan hal tersebut, kencangnya arus globalisasi didunia memaksa orang-orang untuk selalu mengikuti perkembangan zaman. Mau tidak mau, suka tidak suka kita harus dapat beradaptasi, melihat dan memanfaatkan peluang yang ada di platform digital. Begitu pula saya, saya sendiri harus selalu melek dan update dengan teknologi zaman sekarang.Â
Saya banyak mendapatkan kemudahan dengan memanfaatkan platform digital ini, mulai dari membagikan pengalaman-pengalaman saya melalui sebuah foto yang saya unggah ke media sosial, terkadang itu menjadi kesenangan tersendiri ketika kita bisa membagikan nya kepada orang-orang terdekat kita, lalu melalui media sosial juga saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti beberapa kegiatan seperti magang, pekerjaan sampingan, dan ikut serta dalam mengurus event-event besar yang ada di kota Yogyakarta, tempat saya mengenyam pendidikan.Â
Sebagai seseorang yang tertarik dengan dunia jurnalistik, saya pun melihat adanya peluang yang sangat besar untuk dapat belajar dan mendapat kesempatan berkecimpung didunia jurnalistik.Â
Saya sering mendapat ilmu gratis tentang kepenulisan, tidak perlu membayar biaya kursus yang mahal, jika kita mampu memanfaatkan media sosial dengan baik, kita bisa mendapatkan apapun dari sini. Lalu saya sering mengunggah tulisan-tulisan saya dimedia sosial, dari pengalaman pribadi, opini, dan artikel.Â
Tidak hanya saya, banyak jutaan mahasiswa di Indonesia melakukan hal yang sama dengan saya, bisa menghasilkan karya jurnalistik sendiri dengan mudah dan praktis.Â
Bisa dilihat dari sini, semua orang dapat membuat dan membagikan informasi untuk diunggah ke publik, Media sosial sekarang sangatlah bebas, siapapun bisa memberikan informasi, tidak ada batasan, tidak ada aturan. Â
Jika orang tersebut paham akan etika dalam kepenulisan mungkin bisa terbilang aman dan tidak terlalu mengkhawatirkan, namun sekarang ini banyak sekali berita hoaks bertebaran dimasyarakat, artinya masih banyak orang-orang yang tidak paham aturan dan etika dalam menulis sebuah informasi atau berita.Â
Situasi Ini membuat keadaan media informasi kelebihan banyak muatan, dan banjir informasi, kita sulit untuk membedakan berita yang terbukti kebenarannya dengan berita hoaks, setiap hari muncul kontroversi baru yang panas, kondisi media informasi sekarang tidak terlihat sehat. Informasi hoaks yang tersebar ditengah masyarakat meningkatkan tingkat kecemasan masyarakat, dan dapat berdampak buruk pada kesehatan mental seseorang.Â
Dalam sebuah studi, psikolog mengatakan bahwa orang yang terpapar berita hoaks akan mengalami stress, kesepian dan kecemasan, karena berita hoaks sendiri dibuat untuk memanipulasi masyarakat agar percaya pada berita tersebut, dan menghadirkan rasa takut. Rasa takut dari masyarakat itulah yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum pembuat berita hoaks ini untuk kepentingan pribadinya.
Tercatat dalam data Kementerian Komunikasi dan Informasi menyebutkan bahwa ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Angka ini menunjukan bahwa masih banyak oknum-oknum yang memanfaatkan konten-konten negatif demi mendapatkan keuntungan pribadi, tanpa melihat resiko yang akan didapatkan jika berita hoaks itu dibagikan terus menerus. Konten hoaks berupa ujaran kebencian sekarang ini malah menjadi lahan bisnis untuk oknum-oknum nakal, pendapatan dari menjual konten tersebut sangat instan dan tidak sedikit jumlahnya, wajar saja oknum-oknum nakal ini mudah tergiur.
Pada 3 November 2016, dua situs web informasi pernah sempat diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika yaitu Posmetro dan Nusanews. Dua situs web ini berasal dari Sumatera dan dikelola oleh mahasiswa, mereka mendulang keuntungan yang sangat besar sekitar Rp 600 – 700 juta, dengan menyebarkan berita palsu di Internet.
Melihat hal ini sudah seharusnya sistem dari media informasi di Indonesia ini diperbaiki, agar dapat terfilter lagi informasi yang tersebar di masyarakat. Pemerintah harus lebih tegas lagi dan lebih tanggap dalam melawan berita palsu. Selain itu kita sebagai pengguna aktif media sosial juga harus mewaspadai segala bentuk kejahatan di dunia digital, dengan cara lebih memilih berita mana yang seharusnya dibaca, biasanya berita yang bersifat hoaks ini menggunakan judul sensasional yang provokatif, untuk menghindari ini akan lebih baik jika kita membaca berita disitus berita online yang resmi seperti Kompas, CNN dan masih banyak lagi.Â
Memeriksa fakta berita juga sangat penting, kita bisa mebandingkan berita satu dengan berita lainnya, apakah terdapat sesuatu yang mencurigakan atau tidak, lalu mencari sumber dan asal berita tersebut, kita perlu tahu berita tersebut dibuat berdasarkan fakta atau hanya sekedar opini saja. Jika menemukan konten hoaks kalian dapat mengadukan konten negatif tersebut ke Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kominfo menerima aduan melalui email ke alamat aduankonten@mail.kominfo.go.id.Â
Tidak perlu takut untuk mengadukan, karena hal tersebut merupakan bukti bahwa anda turut aktif memerangi konten-konten negative yang ada ditengah masyarakat. Ini tidak hanya menjadi tugas pemerintah, kita juga harus memberantas berita-berita palsu ini, dengan begitu media informasi di Indonesia bisa tenang dan damai, bisa sehat kembali, memberikan manfaat positif untuk masyarakat. Karena sayang sekali jika media informasi yang seharusnya memudahkan kita, namun menjadi sebuah boomerang untuk kita karena oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H