Dengan kata lain isolasi ini akan sangat mudah membuat ideologi radikal tumbuh dan berkembang dengan sangat cepat.Â
Peristiwa seperti ini sudah banyak terjadi dimasyarakat. Apalagi banyak yang merasa dirinya penyebar agama 'ustad' yang secara akademis merasa ahli tafsir dan hadis, mencoba untuk menelaah politik internasional di timur tengah tanpa bekal teori dan ilmu politik internasional yang cukup.Â
Sehingga mereka terjebak dengan konsep abu-abu antara bela agama atau bela sistem politik.Â
Contoh sederhana adalah seruan untuk ikut berperang dan berjihad di Suriah. Dalam hal ini, tidak jelas siapa yang harus dilawan, apakah pemerintah Bashar al-assad karena dia diduga Syiah, atau negara-negara lain yang ikut ambil bagian di konflik tersebut, Hizbollah, ISIL atau FSA.Â
Mengingat begitu banyaknya aktor luar dan dalam yang terlibat dalam perang tersebut. Sehingga sangat tidak bijak menganjurkan ikut berperang/berjihad di Suriah tanpa melihat konteks konflik itu sendiri. Terlebih lagi referensi politik dan peta konflik yang dijadikan acuan tidak jelas dari mana, penelitinya siapa dan apakah penerbitnya itu terverifikasi atau tidak.Â
Apalagi sudah sering kita dapati di sosial media, bagaimana ulama yang nyata-nyata cemerlang secara akademis dengan publikasi yang begitu banyak seperti Quraish Shihab, ketika memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep jilbab, dengan mudahkahnya ditahdzirkan oleh beberapa ustad sebagai orang yang sesat. Padahal seharusnya ada cara yang lebih elok untuk mengkritik pandangan seseorang secara akademis.Â
Peristiwa seperti ini saling kait mengait dan berdampak pada pertumbuhan Islam radikal di Indonesia. Apatah lagi ketika agama sudah jadi dagangan politik yang sangat jelas kita lihat di pemilihan Gubernur Jakarta kemarin.Â
Kita tidak bisa menafikkan bahwa unsur agama sudah menjadi komoditas politik yang bisa membawa pada perpecahan. Oleh karena itu negara seharusnya tidak abai dan tidak menutup kenyataan bahwa peristiwa terorisme di Indonesia dipicu oleh menyebarnya paham Islam radikal yang dilakukan oleh orang yang beragama Islam.Â
Dan patut dicatat bahwa, banyak orang yang tidak beragama (atheis/agnostic) dinegara-negara maju bebas dari perilaku terorisme berbau agama seperti di Jepang, Korea Selatan, dan Negara-negara Skandinavia. Sehingga sangat tidak bijak untuk sengaja mengingkari fakta bahwa agama bukan faktor utama pelaku terorisme di Indonesia.
Hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab negara sebagai institusi politik dan ulama sebagai pemuka agama. Karena tindakan terorisme tidak lepas dari pencapaian tujuan dan ideologi politik yang ingin membentuk negara dengan sistem pemerintahan Islam. Kalau kita terus menutup diri dari fakta ini maka akar permasalahan dari aksi terorisme ini tidak akan pernah bisa diselesaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H