Mohon tunggu...
Asmiati Malik
Asmiati Malik Mohon Tunggu... Ilmuwan - Political Economic Analist

Political Economist|Fascinated with Science and Physics |Twitter: AsmiatiMalik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menimbang Kembali Rencana Pemerintah untuk Impor Dosen

21 April 2018   21:46 Diperbarui: 22 April 2018   19:49 3613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: stu.hyksu.edu

Pemerintah lewat Kemenristekdikti sudah menganggarkan dana Rp 300 miliar untuk dosen asing yang akan masuk di Indonesia. Dari dana itu rata-rata kisaran gajinya mencapai US$ 4000 atau setara dengan Rp 55,5 juta. Dari wacana ini muncul perdebatan yang dikalangan dosen nasional sendiri, ada yang mendukung ada yang juga yang miris milihatnya.

Untuk sejenak, mari kita milihat permasahalan ini secara berimbang:

Pertama adalah, suka tidak suka, kita sangat membutuhkan transfer pengetahuan dari para pakar dan peneliti yang ahli di bidang teknologi terapan.

Coba lihat fakta yang ada di lapangan, betapa terbelakangnya kita di bidang pembangunan teknologi, bahkan hampir di semua bidang.

Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan universitas untuk membentuk generasi dengan prinsip entrepreneur, sehingga ketika mereka lulus yang menjadi tujuan utama adalah mencari pekerjaan, di manapun dan apapun pekerjaan tersebut meski tidak sesuai bidangnya.

Liatlah banyaknya lulusan atau sarjana teknik yang beralih jadi ekonom, berkerja di bank atau sektor manajemen. Jelas, tidak sesuai dengan bidang ilmunya.

Faktor lain yang menyebabkan hal tersebut adalah kurangnya lapangan perkerjaan yang mendukung terapan ilmu mereka. Sehingga, mau tidak mau, mereka tidak memiliki pilihan harus bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan passion atau minat mereka.

Apatah lagi kalau sudah memasuki yang berkaitan dengan birokrasi, maka kemungkinan mereka sudah memasuki comfort zone atau istilah pasarannya: "Hidup gue udah kayak gini, mau apa lagi".

Sistem kepangkatan dan senioritas di lembaga pemerintahan juga menyebabkan banyak lulusan dari universitas top --bahkan banyak yang lulusan S3 ketika memasuki dunia kerja-- tidak bisa menerapkan ilmunya.

Hal itu disebabkan karena inovasi dalam birokrasi Indonesia susah dan ribet. Dalam artian, kalaupun Anda melalukan terobosan, tidak akan sesuai dengan usaha dan imbalan atau penghargaan yang didapat.

Hal kedua yang harus dipertimbangkan adalah kesejahtraan dosen dalam negeri itu sendiri. Kesejahteraan ini harus mencakup rasa keadilan dan keterlepasan dari tekanan kerja yang tidak berimbang.

Terlalu persoalan dosen yang diberikan beban mengajar di luar kewajaran, mereka dituntut untuk memenuhi komponen pengabdian kepada masyarakat dan melakukan penelitian. Belum lagi masuk koreksi esai dan tugas mahasiswa, bimbingan, dsb. 

Beban yang sangat besar ini sangat tidak sesuai dengan kemampuan mereka, sebagaimana diketahui, Dosen harus dituntut selalu up-to-date dengan materi ajar mereka.

Untuk menyiapkan materi tentunya membutuhkan banyak waktu (di luar negeri biasanya mereka hanya mengajar satu-dua mata kuliah) sehingga mereka benar-benar memiliki waktu untuk mempersiapkan materi pengajaran.

Belum lagi mereka diberikan masa cuti belajar bisa sampai tiga bulan dalam setahun dan tidak mewajibkan mereka untuk ke kantor sehingga bisa benar-benar fokus pada penelitian.

Hal seperti ini yang belum terlihat di Indonesia. Yang ada, justri dosen-dosen kita lebih banyak bekerja seperti buruh. Miris. Mereka dituntut sekolah tinggi-tinggi, walaupun begitu kenaikan gaji setelah mereka lulus S3 --sekalipun lulusan dari luar negeri-- gajinya masih sama dengan karyawan kantor umumnya. Kalau sudah begini apa yang bisa kita harapkan?

Esensinya mereka juga manusia,  dalam kondisi seperti ini jangan mengharapkan inovasi atau terobosan karena memang situasi dan prasarana tidak mendukung mereka untuk mengembangkan ilmu mereka.

Terlebih lagi kalau mereka bertugas di universitas yang, untuk biaya buku dan akses jurnal saja, mereka harus merogoh kantong sendiri.

Itu jugalah yang menyebabkan ada banyak lulusan Doktor dari luar negeri enggan kembali ke Indonesia. Selain mereka juga harus memikirkan kehidupan keluarga, mereka tidak mau ilmu yang diberikan akan mati begitu saja tanpa ada perkembangan.

Kalau sudah begini, apakah pemerintah mampu memberikan rasa keadilan yang sama dengan dosen luar yang akan diundang tersebut?

Sebagai contoh, saya pernah melihat dosen dengan predikat Doktor lulusan luar mengajar di Indonesia,  tapi gajinya jauh lebih rendah dari ahli Bahasa dari Inggris yang notabene lulusan D3.

Belum lagi banyaknya sarjana dan ilmuan Indonesia yang kurang dihargai dan tidak mendapatkan tempat di Negerinya sendiri, seperti, misalnya, dokter Terawan Agus Putranto, atau David mahasiswa asal Indonesia yang diduga dibunuh karena hasil penelitiannya terkait dengan penelitianya karena memiliki nilai ekonomis sangat besar. Hal-hal seperti inilah yang harus diperhatikan dengan baik.

Hal terakhir yang harus dipertimbangkan adalah akan sangat tidak mudah mengundang pakar, peneliti dan ahli dari universitas terkenal di dunia untuk masuk dan berkerja di Indonesia.

Fasilitas yang mereka dapatkan di universitas asal negara mereka, jauh lebih baik, apalagi fasilitas dan sarana infrastruktur laboratorium, perpustakaan, kantor, dll., jauh lebih baik sekalipun dari universitas terbaik di Indonesia. 

Gaji yang ditawarkan pemerintah dengan nilai Rp 55,5 juta pun terbilang sangat sedikit untuk golongan gaji Prof. dari 100 universitas terbaik di dunia, yang mana gaji mereka berada di sekitaran 150 juta per bulan. Itu belum ditambah dengan fasilitas dan tunjangan.

Apa iya mereka mau meninggalkan fasilitas tersebut? Apalagi kalau mereka memiliki keluarga (anak) yang mereka juga harus memikirkan kualitas pendidikannya. Apakah sarana di Indonesia sudah cukup untuk itu? 

Jangan sampai yang di undang masuk jadi dosen di Indonesia adalah dosen-dosen yang tidak kredibel bukan dari universitas top, dan bahkan tidak memiliki pengalaman.

Faktor perimbangan tersebut di atas harusnya dicermati dengan baik oleh banyak pihak. Di samping itu kebijakan ini harusnya melibatkan diskusi dengan semua shareholders termasuk  dosen nasional sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun