Kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi terlalu fokus pada pengembangan ekonomi makro menekankan pada belanja pemerintah pada sektor infrastruktur. Tetapi terkesan mengabaikan faktor ekonomi mikro yang seharusnya dibutuhkan untuk membangun landasan kinerja ekonomi makro Indonesia.
Tentu prioritas pemerintah pada sektor infrastruktur sangat bagus untuk jangka panjang. Akan tetapi hal itu tidak terlihat pada besaran serapan tenaga kerja. Bahkan jumlah pengangguran malah meningkat dari 7.3 Juta di tahun  2016 menjadi 7,4 juta pada bulan Agustus 2017.
Hal ini karena pembangunan infrastruktur tidak tersinkonisasi dengan baik dengan kinerja sektor industri. Dan proyek pemerintah yang ada lebih banyak menyerap tenaga kerja yang memiliki  keterampilan yang tinggi.
Di samping itu, Jokowi juga melepaskan harga BBM mengikuti harga pasar, tapi hal ini tidak diikuti dengan peningkatan gaji mereka.
Contoh sederhana harga bubur ayam di kawasan kuningan, Jakarta Selatan pada pertengahan tahun 2014 hanya Rp.5000 Rupiah, sedangkan sekarang sudah naik sebesar Rp 9000. Hal ini menunjukkan kenaikan hampir 90% hanya dalam 3 tahun. Kenaikan ini belum tentu sesuai dengan peningkatan gaji masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.
Oleh karena itu kunci stabilisasi daya beli masyarakat bergantung pada stabilitas harga di mana pemerintah harus menghindari anomali yang bisa memicu kenaikan harga barang dan jasa. Jika tidak, ini akan merugikan pasar dan masyarakat itu sendiri. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H