Perdebatan dan perbedaan pendapat adalah hal yang biasa dalam ilmu pengetahuan. Perbedaan itu disebabkan perbedaan latar belakang ilmu, tingkat pemikiran, pengetahuan serta dasar logika dari pemikiran masing-masing individu. Suatu hal yang fiksi bisa menjadi ilmiah untuk orang lain, begitupun sebaliknya.
Fiksi sendiri dalam etymology dapat diartikan sebagai sesuatu yang ada dibayangan, dibuat-buat dan tidak benar.
Kalau mengacu pada definisi itu artinya ada subjek yang menjadi pelaku yang membayangkan, membuat sesuatu 'ide' atau 'pemikiran' yang menurutnya benar akan tetapi kebenaran itu subjektif dan berkondisi untuk orang lain. Atau dengan kata lain, kebenaran itu bisa jadi bukan kebenaran untuk orang lain.
Permasalahannya adalah jika kebenaran itu dipaksakan secara mentah-mentah tanpa diberikan alasan ilmiah bahwa 'ide' dan 'pemikirannya' itu benar.
Di setiap bidang ilmu pengetahuan, apapun itu, tidak ada kebenaran yang mutlak, yang ada adalah perbaikan dan revisi dari ilmu pengetahuan (teori) yang ditemukan oleh penemu dan pemikir-pemikir sebelumnya.
Teori mereka kemudian disempurnakan oleh generasi selanjutnya atau bisa saja teori tersebut dibantah dan dibentuk teori baru. Pada prosesnya yang salah adalah menolak teori tersebut tanpa dasar ilmiah, atau hanya didasari oleh emosi semata.
Ini juga berlaku pada konsep teori kebenaran. Kebenaran dalam bahasa adalah suatu yang sesuai dengan kenyataan atau fakta, atau kepercayaan yang diterima sebagai suatu kebenaran.
Artinya kebenaran sendiri bersifat relatif, tergantung dari dasar logika dari individu tersebut. Karena prinsip relativitas tersebut, tidak boleh satu individupun memiliki hak untuk memaksakan 'kebenaran' atau pemikirannya kepada orang lain, tetapi ia memiliki hak untuk menjelaskan pemikiran tersebut.
Fiksi adalah dasar pengetahuan
Esensinya, semua pengetahuan berasal dari proses pemikiran, revisi, perubahan, percobaan yang pada awalnya berasal dari hasil imajinasi dari pemikiran seseorang. Tidak ada yang salah dengan konsep fiksi atau non-fiksi. Karena fiksi adalah sesuatu yang belum terjangkau pembuktiannya oleh manusia.
Sekali lagi saya katakan belum, artinya ada kemungkinan bahwa dimasa yang akan datang hal itu bisa dibuktikan secara ilmiah.
Contohnya, penemuan telepon oleh Antonio Meucci yang mengembangkan prinsip elektromagnetik dalam bentuk alat transmisi yang dikenal dengan telegram ditahun 1849.
Pemikirannya tersebut merupakan dasar teknologi komunikasi modern zaman sekarang. Tapi pemikiran Antonio tidak akan ada, tanpa penemuan elektromagnetik terlebih dahulu oleh Heinrich Hertz ditahun 1825.
Bayangkan sebelum munculnya penemuan tersebut, berbicara dari jarak jauh dengan orang lain adalah sesuatu yang bersifat fiksi (khayalan). Ini bukan karena hal tersebut tidak benar akan tetapi karena pemikiran/pengetahuan manusia belum mencapai taraf rasionalitasnya untuk mendukung khayalannya dengan fakta.
Coba bayangkan apabila persepsi ini diasosiasikan dengan perjalanan Israj Miraj, Nabi Muhammad SAW, Â yang menggunakan Buraq selama sehari semalam. Bagaimana seandainya kisah yang kedengaran fiksi ini, dirasionaliskan dengan ilmu pengetahuan sekarang ini.
Kalau Nabi  menempuh perjalanan dari Bumi ke lagit ke 7 (hipotesisnya galaxy lain) selama sehari-semalam (24 Jam), maka bisa diduga kecepatan tempuhnya harus melebihi kecepatan cahaya.
Sebagai perumpamaan, jarak dari bumi ke galaxy lainya adalah 12.6 millar kecepatan cahaya, artinya untuk bisa sampai kesana dibutuhkan waktu 25000 tahun.
Nah masalahnya adalah bagaimana cara kita merasionalkan perjalanan (sehari-semalam) tersebut.Â
Sebagai perbandingan, jarak dari Bumi ke Bulan 384,400 km, dibutuhkan waktu selama 8 jam 35 menit dengan kecepatan 58,536 km/jam untuk mencapai Bulan, atau untuk ke Mars dibutuhkan waktu 39 hari. Itu berarti untuk bisa merasionalkan perjalan (sehari-semalam) tersebut dibutuhkan teknologi yang lebih cepat dari kecepatan cahaya.
Seandainya manusia mampu menemukan teknologi transportasi yang bisa secepat dengan kecepatan cahaya yaitu: 186,000 miles/detik, artinya jarak tempuh dari Bumi ke Bulan yang sebelumnya 8.35 jam menjadi 1.3 detik saja.Â
Sebelumnya kecepatan cahaya dianggap merupakan jarak tempuh paling cepat, bahkan lebih cepat dari kecepatan suara. Tapi baru-baru ini, ilmuan Prof Robert Ehrlich dari George Mason University menemukan materi yang bisa lebih cepat dari cahaya yang disebut dengan Neutrino.
Neutrino sendiri adalah versi sonic boom dari cahaya, jadi bisa dibayangkan bagaimana kecepatannya. Itu berarti  waktu itu relatif dan tidak terbatas, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Itu juga berarti perjalanan (sehari-semalam) tersebut bukan hal yang mustahil.
Cuma saja, ilmu pengetahuan kita sebagai manusia, belum mampu menjangkau ke taraf pengembangan teori tersebut, dalam bentuk teknologi yang nyata. Tapi dasar atau fundamen ilmunya sudah ada.Â
Kalau kita menerapkan konsep ilmu pengetahuan (Scientific Science), maka tidak ada satupun yang mustahil, bahkan perjalan Israj Miraj (Sehari-semalam) Nabi, bisa saja dirasionalkan secara ilmiah.
Jumlah galaksi yang tidak terhingga (infinite) sangat membuka kemungkinan bahwa ada kehidupan lain di luar sana yang bisa saja memiliki kemampuan teknologi jauh lebih canggih dari yang ada di Bumi. Cuma saja, ilmu pengetahuan sekarang belum sampai kepada taraf tersebut.
Pendeknya, semua hal menjadi fiksi, ketika manusia enggan untuk menjadikannya hal yang ilmiah. Bayangkan kalau para manusia (ilmuan) tersebut tidak pernah berhayal, maka tidak mungkin ada ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini. Sebagaimana ungkapan Albert Einsten:
"Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited, whereas imagination embraces the entire world, stimulating progress, giving birth to evolution"
Oleh karena itu, seharusnya Agama menjadi fondamen dasar etika ilmu pengetahuan, bukan menjadi dasar untuk membelenggu manusia dari pengetahuan tersebut dan bukan juga alat untuk menutup mulut manusia yang lain untuk mencari konsep kebenaran yang dia yakini.Â
Sayangnya banyakan dari penyebar 'agama' tersebut tidak dibekali dan membekali dirinya dengan dasar ilmu pengetahuan ilmiah, sehingga seolah-olah agama dan ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang saling bertolak belakang. Padahal kalau ingin dicerna dengan baik, Agama dan Ilmu Pengetahuan  saling beriringan dan bahkan  menjadi petunjuk untuk meraih ilmu pengetahuan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H