Cuma saja, ilmu pengetahuan kita sebagai manusia, belum mampu menjangkau ke taraf pengembangan teori tersebut, dalam bentuk teknologi yang nyata. Tapi dasar atau fundamen ilmunya sudah ada.Â
Kalau kita menerapkan konsep ilmu pengetahuan (Scientific Science), maka tidak ada satupun yang mustahil, bahkan perjalan Israj Miraj (Sehari-semalam) Nabi, bisa saja dirasionalkan secara ilmiah.
Jumlah galaksi yang tidak terhingga (infinite) sangat membuka kemungkinan bahwa ada kehidupan lain di luar sana yang bisa saja memiliki kemampuan teknologi jauh lebih canggih dari yang ada di Bumi. Cuma saja, ilmu pengetahuan sekarang belum sampai kepada taraf tersebut.
Pendeknya, semua hal menjadi fiksi, ketika manusia enggan untuk menjadikannya hal yang ilmiah. Bayangkan kalau para manusia (ilmuan) tersebut tidak pernah berhayal, maka tidak mungkin ada ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini. Sebagaimana ungkapan Albert Einsten:
"Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited, whereas imagination embraces the entire world, stimulating progress, giving birth to evolution"
Oleh karena itu, seharusnya Agama menjadi fondamen dasar etika ilmu pengetahuan, bukan menjadi dasar untuk membelenggu manusia dari pengetahuan tersebut dan bukan juga alat untuk menutup mulut manusia yang lain untuk mencari konsep kebenaran yang dia yakini.Â
Sayangnya banyakan dari penyebar 'agama' tersebut tidak dibekali dan membekali dirinya dengan dasar ilmu pengetahuan ilmiah, sehingga seolah-olah agama dan ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang saling bertolak belakang. Padahal kalau ingin dicerna dengan baik, Agama dan Ilmu Pengetahuan  saling beriringan dan bahkan  menjadi petunjuk untuk meraih ilmu pengetahuan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H