Majunya Prabowo Subianto menjadi kandidat calon presiden dari Partai Gerindra membuat peta politik di Pilpres 2019 menjadi semakin jelas. Walaupun, munculnya calon alternatif ke-3, seperti Gatot dan AHY, masih mungkin terjadi.
Bila kontestasi pilpres ini hanya diikuti oleh dua orang calon saja yaitu Jokowi dan Prabowo, maka bisa dipastikan bahwa yang akan menjadi kunci pergerakan suara pemilih ada pada kandidat wakil presiden.
Suara dari wakil presiden inilah yang akan secara signifikan mampu mengubah arah suara pemilih. Sebab suara Jokowi dan Prabowo kemungkinan tidak akan mengalami perubahan secara signifikan.
Pemillih Rasional versus Pemilih EmosionalÂ
Untuk sementara, bisa diinterpretasikan bahwa kemungkinan Jokowi akan memenangkan pertandingan karena faktor petahana. Ia dengan mudah bisa menjadikan capaian program yang telah dilakukannya menjadi bahan materi kampanye politik.
Akan tetapi, patut dicatat bahwa dalam politik, pemilih itu cenderung emosional dan tidak rasional. Hal ini bisa diliat dari pemilihan Gubernur Jakarta yang menyebabkan kalahnya Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Sosok dengan prestasi cemerlang itu kalah karena faktor emosional pemilih.
Perlu diingat juga ini adalah pemilihan presiden, bukan pemilihan pemimpin perusahaan yang mengedapankan performance dan kualitas. Di realitas politik sering sekali kandidat yang pantas belum tentu menjadi kandidat yang dipilih, karena besarnya faktor pengaruh emosional.
Pendeknya, anggapan yang menyatakan peluang Prabowo untuk menang melawan Jokowi sangat kecil belum tentu tepat.
Kita bisa belajar dari kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat dan Brexit di Inggris. Dalam kedua kejadian itu, pemilih yang dianggap ‘rasional’ menganggap pemilih yang lain juga demikian.
Alhasil, mereka tidak menyumbangkan suaranya di kotak suara, karena merasa sudah terwakili suaranya dengan pemilih yang lain. Â
Hal ini kemudian menjadikan kandidat yang memiliki potensi kemenangan lebih besar jadi menganggap remeh lawannya. Lihat sajaterkejutnya mayoritas warga negara Amerika Serikat. Bahkan, Hillary Clinton sendiri menyatakan bahwa kekalahannya adalah hal yang mengejutkan.
Ia pun menyesali kelengahannya karena menganggap enteng Trump, yang pada saat itu banyak dicerca lantaran percakapannya dengan Billy Bush yang berbau seksual. Karena muncul isu tersebut, pihak pemenangan Hillary merasa di atas angin dan lengah.
Bahkan Obama sendiri dalam wawancaranya dengan CBS mengatakan bahwa Trump menang karena dia dianggap remeh dan enteng oleh lawan politiknya.
Perubahan Strategi Politik
Pertandingan di arena politik itu bersifat maraton: dinamis dan tidak ada kemenangan yang pasti. Yang paling penting sebenarnya orang yang berada di balik kemenangan tersebut mampu mengolah imej dari kandidat, dan merebut preferensi emosional dari pemilih.
Yang dimaksud dengan preferensi emosional adalah hal-hal yang mampu melekat di alam bawah sadar pemilih tanpa mereka sadari. Hal itu berkaitan dengan nilai budaya dan agama, apabila ingin dikonotasikan dengan kondisi pemilih di Indonesia.
Sebenarnya isu-isu tersebut sudah sering dilemparkan. Misalnya saat munculnya isu penistaan agama di pemilihan Gubernur Jakarta terdahulu, isu PKI, sampai pada isu pribumi vs nonpribumi. Semua isu yang dilemparkan ini sangat berbau identitas dan menyerang emosi.
Isu-isu tersebut masih akan sangat kental di Pilpres ke depan. Sehingga kemungkinan besar masing-masing dari calon presiden akan mencari wakil yang memiliki kaitan emosional dengan organisasi agama, ataupun tokoh agama yang memiliki pengaruh.
Cuma saja, saya melihat bahwa strategi tersebut tidak akan cukup membawa perolehan suara yang signifikan kecuali orang-orang yang sering ‘berbicara’ atas nama Prabowo juga mengubah imejnya.
Tujuannya adalah agar terbentuk pencitraan yang baru. Sebab, sudah terbukti strategi yang dilancarkan oleh konsultan politik Prabowo di pilpres sebelumnya tidaklah berhasil.
Strategi tersebut identik dengan hardball politic. Dalam strategi ini pihak kandidat akan terus mengeluarkan pernyataan kontroversial yang memiliki daya lempar kuat ke pemilih.
Strategi ini bagus untuk membangun perhatian dari pemilih, tapi buruk untuk membangun citra apalagi loyalitas emosional dari pemilih.
Contoh kecilnya adalah pernyataan Prabowo yang mengatakan Indonesia mungkin akan bubar di 2030. Strategi politik seperti ini sangat buruk, karena membangun kesan negatif (attack) di alam bawah sadar, sehingga reaksi yang akan muncul adalah defensive.
Orang akan lebih peka bila komentar atau pernyataan memiliki persepsi positif untuk hidup mereka.
Strategi politik SBY dulu, yang lebih ke arah pencitraan, terbukti lebih memberikan kesan positif secara emosional ke pemilih.
Oleh karena itu, sebaiknya strategi politik pemenangan Prabowo diubah dari hardball menjadi softball politic, meski berdaya lontar lemah tapi memiliki daya serap yang tinggi.
Ini bisa dimulai dengan mengubah pola komunikasi publik Prabowo dengan media dan publik sendiri, serta mencari kandidat yang bisa membentuk imej baru bagi Prabowo.
Orang-orang yang ada di sekitar Prabowo juga harus mengubah pola komunikasinya dengan media dan publik, karena secara lansung juga membentuk imej dan  equity dari Prabowo sendiri.
Dan yang paling penting, materi kampanye harus diolah secara profesional dan terukur, sehingga lebih mengena dengan konteks ekonomi dan sosial masyakat Indonesia sekarang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H