Mohon tunggu...
Asmi Zahira
Asmi Zahira Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar MTs

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Serangkai Bunga Untuk Ibu

1 Juli 2024   20:39 Diperbarui: 1 Juli 2024   20:40 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bigflowerposts.tumblir.com/Pinterest 

Sejuk angin berhembus, melewati dedaunan pohon. Entah pohon dari jenis apa, namun di antara pohon-pohon lainnya pohon ini paling teduh dan nyaman. Mungkin karena daunnya yang sangat lebat. 

Aku pun beristirahat di bawahnya, setelah cukup  lama mengumpulkan bunga-bunga. Sesekali aku bersenandung lagu yang kusukai, sambil merangkai satu per satu bunga yang kudapat, membentuknya seindah mungkin.

Saat karangan bunga ini baru setengah jadi, tiba-tiba aku merasa ada firasat buruk akan terjadi.

"Ya, Tuhan. Lindungilah keluargaku," pintaku lirih.

Tiba-tiba ponselku membunyikan nada pesan masuk

Aku membaca pesan di sana. 

Berhenti menjual bunga, atau akan  terjadi sesuatu pada keluargamu!!

Sebuah ancaman. 

Siapa orang ini, dan mengapa dia berkata begitu? Apakah ada kesalahan yang ku perbuat hingga menyinggung seseorang tanpa kusadari? Tapi siapa?

Pikiran buruk mulai berkecamuk dalam kepalaku. Namun aku berusaha menghilangkan. Aku meminta perlindungan-Nya agar di jauhkan dari gangguan orang-orang jahat. 

*

Setelah selesai merangkai bunga, segera aku beranjak menutup toko tempatku menjajakan bunga. Tak lupa terus berdoa semoga  tak terjadi apa apa pada keluargaku.

Namun bak geledek menyambar ku di tengah hari, kabar duka bahwa ibunda tercinta telah berpulang ke pangkuan-Nya membuat aku lemas seketika.

Oh, bunda mengapa begitu cepat engkau pergi ? Baru tadi pagi kulihat wajahmu yang cantik, masih sehat dan tersenyum.

Kau tak pernah mengeluh sakit. Tapi mengapa engkau lebih dulu meninggalkan kami? Bukankah ayah yang terkena kanker paru?

Sebenarnya apa yang bunda sembunyikan dari kami semua? Bunda tak pernah berkeluh kesah bila mengalami gejala penyakit.

*

Ku pandangi sebongkah batu bertuliskan nama mu

Belum sempat aku mengajak ibu melihat toko bunga yang baru akan opening besok. Sebenarnya aku mempersiapkan ini sebagai kejutan. 

Aku juga belum banyak berbakti kepada ibu yang melahirkanku. Padahal aku sangat ingin mendapatkan ridho ibu.

Air mataku berdesak-desakan keluar membanjiri pipiku. Aku sangat kehilangan Bunda, wanita yang ku cintai seumur hidupku.

Sambil terus terisak, ku letakkan serangkai bunga mawar merah, bunga kesukaan bunda. Kupeluk dan kucium nisan bunda dengan rasa duka yang mendalam. 

Tidak, aku harus tegar dan ikhlas melepaskan kepergian bundaku.

 "Mungkin Tuhan lebih menyayangi bunda," batinku berusaha menenangkan diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun