Mohon tunggu...
Asmari Rahman
Asmari Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Bagansiapi-api 8 Okt 1961

MEMBACA sebanyak mungkin, MENULIS seperlunya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penantian

22 Juni 2017   13:36 Diperbarui: 22 Juni 2017   13:38 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Oh tidak." Selanya.

"Kenapa tidak ?"

"Dia tidak pernah memberi kabar akan pulang," katanya dengan nada lirih.

"Lalu ...........,"

"Saat Ramadlan sudah dipenghujung, kami yang sudah tua ini mengharapkan anak kami pulang kampung. Berharap dapat kumpul bersama merayakan hari nan fitri, bercerita dan bersenda gurau bersama, berbagi rezeki dan berbagi suka duka kehidupan." Ujarnya, dia berhenti sejenak dan seteleah menyeruput Kopi bekalnya dia lanjutkan lagi.

"Dulu, ........ aku yang keras menyuruhnya pergi merantau, sebab kalau dia tidak keluar dari sini, dia tidak akan jadi apa-apa, dia akan menjadi lelaki pengecut. Apa yang bisa dilakukannya disini, jadi bertani tak kuat berpanas, mau jadi nelayan tak pandai berenang, paling banter dia hanya bisa menjadi kuli digalangan kapal milik Hong Kim, atau menjadi centeng didepan bioskop Riau sana, atau mungkin juga jadi pesuruh jemput antar Candu dari dan ke Pulau Halang sana, jawabnya sambil menunjuk kesebuah pulau diseberang pelabuhan itu. Karena itulah aku menyuruhnya pergi merantau dan dari pelabuhan inilah dia berangkat," sambungnya menjelaskan.

"Apakah anak bapak sekarang sudah menjadi lelaki pemberani yang sukses dirantau ?" tanyaku.

"Awal kepergiannya dulu dia pernah mengirimkan surat kepadaku, bercerita tentang banyak hal, dan aku merasa iba membaca suratnya, waktu itu rasanya ingin kukirimkan uang dan menyuruhnya pulang, tapi itu tak kulakukan." Ujarnya sambil mendongakkan kepalanya keatas sebagai upaya agar air matanya tak tumpah.

"Setelah itu ?"

"Setelah itu, aku membalas suratnya sambil memberikan ungkapan penyemangat, bahwa tidak akan berubah nasib seseorang jika dia sendiri tidak berusaha merubahnya, lalu dia menjawabnya dalam surat yang berikut bahwa hidup dikota ini sangat penuh tantangan, lalu kujelaskan padanya bahwa hidup ini adalah perjuangan, takut berjuang tidak berhak untuk hidup. Setelah itu dia tak pernah lagi berkirim kabar kepadaku, dan komunikasi kami jadi terputus,"  jawabnya.

Hening sejenak, orang tua itu menyalakan kreteknya, pipinya yang keriput terlihat cekung saat menyedot pangkal rokok dan beberapa saat kemudian terlihat asap mengepul dari bibirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun